Puluhan tahun silam, saat  duduk di SD swasta di Kota Bandung , biasanya kalau mengambil rapot sendiri saja . Hanya siswa yang bermasalah  rapotnya harus diambil orang tua. Tidak ada istilah urunan uang ini uang itu  ,untuk beli kado buat guru. Tidak juga orang tua teman-teman mengirim kado usai bagi rapot.
Maka ketika tahun 1997 putra pertama masuk TK, saya tak pernah memberi kado untuk guru. Berdasarkan pengalaman  masa sekolah, tidak ada  kebiasaan itu.
Karena sibuk mengurusi si bungsu yang masih bayi (tanpa nanny dan asisten rumah tangga), saya jarang ke sekolah. Antar jemput si sulung cukup mengandalkan abang becak langganan. Atau kadang putra saya pulang sendiri berjalan kaki.
Ketika  anak sulung masuk SD pun saya jarang ke sekolah. Karena sudh ada mobil antar jemput langganan. Jadi banyak ketinggalan informasi.
Beberapa kali ambil  rapot saya pernah minta bantuan tetangga, karena anak bayi sedang kurang sehat. Belum ada Ponsel, telepon rumah juga tak semua orang punya. Komunikasi serba terbatas.Â
Sampai satu waktu  akhirnya saya datang juga ke sekolah untuk mengambil rapot. Seorang ibu mengendap-endap, berbisik, apakah saya berkenan ikut urunan uang ?Tampak sebuah lembaran kertas berisi catatan nama-nama donatur.
Ternyata ibu-ibu yang lain sudah sejak lama urunan uang untuk hadiah akhir kwartal ibu guru. Menjelang liburan. Memang bukan permintaan guru, tapi orang  tua murid memang berinisiatif sendiri dan  tentunya ikhlas untuk berbagi. Saya kurang tahu persis, apakah hadiahnya dalam bentuk uang atau dibelikan barang.
Jujur karena tak bawa uang , kecuali ongkos yang pas-pasan, maka saya mohon maaf . Saya katakan, untuk acara pembagian rapot berikutnya saja saya ikutan.
Sejumlah orang tua berinisitaif  dengan alasan yang dapat diterima saat itu, gaji guru sekolah negeri sangatlah kecil.
Namun satu pertanyaan, Â ketika mencantumkan nama-nama orang tua siswa yang menyumbang, apakah guru bisa tetap objektif kepada siswa?