KESUKSESAN DAN EMPATI
Mudik, muara dari tumpukan rindu. Titik temu kebahagiaan. Hangatnya dekapan orangtua, anak, saudara, dan keluarga besar.Â
Tempat dan waktunya semua saling berbagi cerita dan pengalaman. Namun jangan sampai kesempatan yang langka ini ajang berbagi cerita malah menjadi ajang saling meninggikan diri, angkuh/sombong  dengan kesuksesan.Â
Lebih indah jika berbagi cerita low profile tanpa niat pamer. Gegara pamer, bisa jadi pertemuan ini malah menjadi ajang persaingan yang bikin tidak nyaman.Â
Malah mungkin berlanjut saling menyindir, saling merendahkan, dan membangga-banggakan diri/anak/karier, betapa pun dibalut sindiran atau candaan.
Kebersamaan yang indah bukan dengan suasana saling memamerkan, tapi kehangatan obrolan yang tidak sensitif. Karena bisa jadi apa yang kita pamerkan menjadi sesuatu yang mengusik suasana. Kuatir kebersamaan yang indah terganggu.
Contoh sederhananya, saat kita berpakaian mewah, makan enak dan mahal di sebuah restoran mahal. Sementara seorang gelandangan yang tengah lapar hanya bisa mengintip dari balik kaca restoran. Terbayangkan, betapa tidak manusiawinya. Ini masalah kemanusiaan yang bisa berujung pada kecemburuan sosial.
Jujur, saya pribadi cenderung tak ingin bertanya-tanya banyak jika seseorang tak bercerita duluan tentang masalahnya ataupun kesuksesannya. Bisa jadi juga yang bercerita hanya ingin didengar dan tak ingin dikomentari. Beberapa yang lain ada yang berharap mendapat komentar sanjungan.
Ada juga yang malah ingin ditanya-tanya, agar ia bisa menceritakan betapa sukses dirinya. Bahasa tubuh dan kata-kata seseorang bisa menyiratkannya. Dalam hal ini, kemampuan empati kita berperan penting.
Kesuksesan bukan hanya kekayaan materi dan status serta jabatan yang tinggi, bukan untuk menyombongkan. Sukses sejati selalu dibarengi kedewasaan.Â