Mohon tunggu...
masrierie
masrierie Mohon Tunggu... Freelancer - sekedar berbagi cerita

menulis dalam ruang dan waktu, - IG@sriita1997 - https://berbagigagasan.blogspot.com, - YouTube @massrieNostalgiaDanLainnya (mas srie)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Bandung Tempo Dulu (8) , Potret Tua, Kenangan Asrama Mahasiswa Sumsel, Masa Silam di Jalan Purnawarman Bandung

7 Januari 2016   09:25 Diperbarui: 10 Desember 2021   09:28 1085
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan Purnawarman Bandung, tahun 1957 , foto: koleksi pribadi Masrierie.

Celoteh  mahasiswa berbahasa logat Palembang  setiap pagi buta. Mereka berjalan kaki menuju kampus yang tak jauh sari sana. Umumnya kuliah di Technischee Hoogeschool (sekarang ITB). Ada juga yang naik sepeda ontel.


angkatan pertama penghuni asrama Mahasiswa Sumsel, di Jalan Purnawarman, Bandung 1956. Sehabis bertanding catur dengan mahasiswa Kalimanta.
angkatan pertama penghuni asrama Mahasiswa Sumsel, di Jalan Purnawarman, Bandung 1956. Sehabis bertanding catur dengan mahasiswa Kalimanta.
Jika berjalan kaki, mereka kerap menyusuri jalan Tamansari yang masih memiliki lembah-lembah  berselimut umpak-umpak sawah dan  dibelah oleh beningnya sungai Cikapundung. Riak sungai  itu masih  menghidupi segala jenis ikan air tawar. Kebun-kebun jagung dan sayur, aneka bunga-bunga  berselang seling dengan rumah-rumah megah bertaman luas.

Berjalan kaki atau mengayuh sepeda, tidak ada rasa lelah. Malahan terasa badan kian bugar. Suasana yang sangat mendukung untuk menuntut ilmu . Berbeda dengan kota asal mereka, Palembang yang  hawanya lumayan gerah alias  bertemperatur tinggi.  Udara Bandung memang  bikin semangat, kalau belajar konsentrasi berlipat ganda,  dan  kehijauannya yang damai menenteramkan bikin  warganya banyak ide dan kreatifitas.


Mahasiswa jadul, penghuni asrama putra Sumsel , jalan Purnawarman Bandung 1956, mahasiswa Kalimantan sehabis bertanding catur dengan penghuni asrama .
Mahasiswa jadul, penghuni asrama putra Sumsel , jalan Purnawarman Bandung 1956, mahasiswa Kalimantan sehabis bertanding catur dengan penghuni asrama .
Asrama Mahasiswa Sumatera Selatan Bandung

Di depan  bangunan  peninggalan Belanda itu tertulis  plang,” Asrama Batang Hari Sembilan”. Di seberangnya tak jauh dari sana, ada Hotel bernama Jutimto. Lokasinya berseberangan tak jauh dari  rumah makan terkenal di masa silam, Mirasa.

Asrama yang kini sudah tidak ada lagi di kawasan tersebut , menyimpan ribuan lembar sejarah manis. Jika dituliskan semua. Saksi denyut kesibukan mahasiswa Sumsel perantauan  yang menghuni kamar-kamar  yang memiliki ‘ruh’ ketekunan  itu. 

Di depan asrama,mahasiswa perantauan Sumsel yang kuliah di Bandung berpose, tahun 1956
Di depan asrama,mahasiswa perantauan Sumsel yang kuliah di Bandung berpose, tahun 1956
 Pernah saat lebaran, di antara mereka ada yang tidak bisa mudik. Tahu sendirilah,  perjalanan mudik di masa silam bukan perkara mudah. Naik kereta api sampai Merak. Lalu naik kapal laut.  Berkesinambungan  naik kereta api lagi. Untuk anak perantauan   ongkos dan waktunya lumayan berat.

Berdasarkan cerita dari penghuni pertama asrama , makan daging ayam adalah barang mahal mewah waktu itu. Karena ia datang dari pelosok kampung di pedalaman Sumsel, ia terpesona oleh pemandangan indah dan hawa sejuk  segar Kota Bandung.


Bangunan heritage asrama putra mahasiswa Sumsel di Bandung, Jalan Purnawarman, 1956
Bangunan heritage asrama putra mahasiswa Sumsel di Bandung, Jalan Purnawarman, 1956
Waktu itu sumber cerita saya ini (kini sudah almarhum) kuliah di Technischee Hoogeschool  (ITB)  tidak mahal  seperti sekarang. Tidak perlu mengeluarkan biaya, sebaliknya malah mendapat beasiswa . Malah ada uang saku segala. 

Suasana Bandung yang damai sejuk dan hening membuat suasana belajar sangat optimal.  Kota yang kaya oksigen dan selalu berkabut  di pagi hari ini mendatangkan banyak inspirasi saat menuntut ilmu. Kebersahajaan para mahasiswa perantauan angkatan pertama penghuni asrama Sumsel ini  tetap terasa indah karena ikatan ‘persaudaraan’ antara mereka.

Beliau, nara sumber saya ini,  semasa hidupnya pernah kedatangan Pak Zaini Muhibat, yang waktu itu petinggi di Pusri Palembang. Mereka berkangen-kangenan serta bincang nostalgia semasa menghuni asrama tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun