Celoteh mahasiswa berbahasa logat Palembang setiap pagi buta. Mereka berjalan kaki menuju kampus yang tak jauh sari sana. Umumnya kuliah di Technischee Hoogeschool (sekarang ITB). Ada juga yang naik sepeda ontel.
Berjalan kaki atau mengayuh sepeda, tidak ada rasa lelah. Malahan terasa badan kian bugar. Suasana yang sangat mendukung untuk menuntut ilmu . Berbeda dengan kota asal mereka, Palembang yang hawanya lumayan gerah alias bertemperatur tinggi. Udara Bandung memang bikin semangat, kalau belajar konsentrasi berlipat ganda, dan kehijauannya yang damai menenteramkan bikin warganya banyak ide dan kreatifitas.
Di depan bangunan peninggalan Belanda itu tertulis plang,” Asrama Batang Hari Sembilan”. Di seberangnya tak jauh dari sana, ada Hotel bernama Jutimto. Lokasinya berseberangan tak jauh dari rumah makan terkenal di masa silam, Mirasa.
Asrama yang kini sudah tidak ada lagi di kawasan tersebut , menyimpan ribuan lembar sejarah manis. Jika dituliskan semua. Saksi denyut kesibukan mahasiswa Sumsel perantauan yang menghuni kamar-kamar yang memiliki ‘ruh’ ketekunan itu.
Berdasarkan cerita dari penghuni pertama asrama , makan daging ayam adalah barang mahal mewah waktu itu. Karena ia datang dari pelosok kampung di pedalaman Sumsel, ia terpesona oleh pemandangan indah dan hawa sejuk segar Kota Bandung.
Suasana Bandung yang damai sejuk dan hening membuat suasana belajar sangat optimal. Kota yang kaya oksigen dan selalu berkabut di pagi hari ini mendatangkan banyak inspirasi saat menuntut ilmu. Kebersahajaan para mahasiswa perantauan angkatan pertama penghuni asrama Sumsel ini tetap terasa indah karena ikatan ‘persaudaraan’ antara mereka.
Beliau, nara sumber saya ini, semasa hidupnya pernah kedatangan Pak Zaini Muhibat, yang waktu itu petinggi di Pusri Palembang. Mereka berkangen-kangenan serta bincang nostalgia semasa menghuni asrama tersebut.