Menjelang Ramadhan , saya mendapat undangan Munggahan lebih dari satu. Baik dari keluarga, atau dari sekitar kita. Saya gembira bisa ketemuan dan silaturahmi dengan teman, sahabat dan kerabat. Tapi juga cemas.
Pasalnya setiap acara Munggahan, seolah-olah kita berjuang keras untuk makan sepuasnya. Bahkan melanggar peringatan dokter untuk berpantang.
Jujur, kalau ketemu makanan aturan diet karena penyakit terlupakan. Perut kerap berkeroncongan. Bagaimana ini, jamuan jelang Ramadhan sangat menggoda.
“Tenang bu, nanti Puasa Ramadhan bisa turun kembali berat badan, sehat kembali…..,” Ibu Yuni teman saya mencolek sambil melahap roti jala berkuah rempah…. Pakai daging ayam dan santan kental…. Masak iya sih, kalau puasa sudah pasti turun berat badan?
Makan sepuasnya jelang Ramadhan? Nanti puasa berat badan turun dengan sendirinya?
Oh tidak, tidak. Bukankah Ibu Yuni sendiri cerita, setiap habis Ramadhan,berat badannya melonjak selalu. Dan dokter langsung menegur akibat pemeriksaan lab kesehatannya memrihatinkan. Kolesterol melonjak….
Pola Makan Minum Bulan Puasa yang salah kaprah?
Masalahnya, Ramadhan ala bangsa kita sering salah kaprah.
Sejumlah orang berjuang menahan emosi, amarah, ghibah, dan segala bentuk nafsu lainnya. Juga menahan rasa lapar dan haus, menghayati, betapa laparnya orang-orang miskin membuat kita lesu dan tidak berenerji. Mengundang rasa empati kepada kaum papa.Itu memang seharusnya.
Tapi salah kaprahnya di pola makan saat berbuka puasa ini lho.