Mohon tunggu...
masrierie
masrierie Mohon Tunggu... Freelancer - sekedar berbagi cerita

menulis dalam ruang dan waktu, - IG@sriita1997 - https://berbagigagasan.blogspot.com, - YouTube @massrieNostalgiaDanLainnya (mas srie)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Wisata (Kuliner) di Waduk Cirata, Ala Sunda Tempo Dulu

12 Mei 2015   08:38 Diperbarui: 21 April 2019   22:53 7077
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hanya dari kejauhan.... kami menatap sejenis gerbang bunker terowongan bawah bukit.... dengan 4 pintu bagian ujung terowongan di Waduk / Bendungan Cirata , April 2015....

Pagi itu Senin, pas hari kerja. Bulan lalu, April 2015. Mendadak  rekan saya  Ibu Etty, seorang  guru  wali kelas dan Bahasa Inggris di sebuah SMAN favorit  Kota Cimahi punya ide  untuk melongok Waduk Cirata. Bendungan yang pernah menjadi buah bibir di tahun 1980an. Membendung Sungai Citarum yang mata airnya berada di Gunung Wayang.

Terletak di 3 wilayah,  Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Purwakarta, juga Kabupaten Cianjur,  bendungan ini  menggenangi  lembah dan pedesaan di tahun 1980an. Bagi mereka yang pernah lahir dan besar di sini, tentunya penuh kenangan. Ketika kampung halaman mereka akhirnya dibebaskan oleh pemerintah. Pepohonan, kebun ,  rumah-rumah  yang ditenggelamkan.

Terakhir penulis bertandang ke Cirata adalah akhir  dasawarsa 1980an saat pembangunan tahap pertama belum lama tuntas.  Pada masa itu  mereka yang tenggelam berperahu kerap diberitakan hilang, padahal  tersangkut di dasar bendungan. Karena masih banyak sisa pepohonan dan permukiman di dasar bendungan.

Penasaran juga bagaimana bendungan tersebut setelah puluhan tahun berlalu. Saatnya mencari  suasana pedesaan yang kian punah  darikota kelahiran penulis , Bandung.

 

Perjalanan ke Priangan  ‘masa lalu’

Rencana siang itu adalah  ‘kembali’ ke masa silam. Alam hijau kaya oksigen, kebun sayuran, pohon buah-buahan, rumah-rumah pedesaan ala Sunda, bangunan bilik bambu, tikar anyaman, dan genangan air dimana ikan-ikan segar berseliweran. Lalaban daun segar yang baru dipetik dan langsung direbus.

Keseharian lahir batin  yang sibuk, maraton tugas sehari-hari , perlu sesekali diselingi penyegaran. Ibu Etty memutuskan menyetir mobilnya, dan kami berlima, ehm, menumpang. Yang notabene  , usia kami ber enam di atas 50 tahunan, kecuali satu orang 45 tahunan. Relatif  usia matang.

Meski dalam keterbatasan waktu, rencana dadakan  menuju tempat yang jaraknya kurang lebih 60 km dari Bandung sudah bulat.

Jalan yang kami tempuh adalah masuk dari tol buah batu dan keluar di pintu tol Cikamuning setelah KM 116.  Kami berbelok  ke kanan melintasi jalan Raya Padalarang – Purwakarta. Sekira 20 km, menyusuri jalan berkelok, menuju Cikalong Wetan dan akhirnya ke Cipeundeuy.

Di kiri kanan jalan kerinduan kami akan  ‘masa silam’  terobati. Suasana tempo dulu khas  Priangan menyambut kami. Rumah-rumah berdinding anyaman bambu dengan kebun sayur, aneka buah-buahan,  dan buah rambutan mengitarinya. Pohon rambutan di sini sangat banyak, dan buahnya, aduhai merah  ranum dan sangat lebat. Pantas saja  harga rambutan di sini murah meriah.

Kami juga menyaksikan pohon petai dan pohon manggis yang jumlahnya cukup banyak. Meski tak sebanyak pohon rambutan. Seperti  bunga sakura di musim semi saja,  salah seorang rekan penulis mengibaratkan .

Ada lembah dan bukit, termasuk bukit yang dikupas untuk ditambang pasirnya. Melihat yang satu ini , kami prihatin. Ironis pasti. Ada juga lembah yang diurug, entah  untuk apa.Bahkan  ada juga bukit dan lembah dengan longsoran-longsoran  kecil di beberapa lokasi. Cikalong Wetan terkenal dengan tanah bergeraknya. Lahannya kurang stabil, meski tanahnya gembur.  Tragedi  longsor besar memang pernah terjadi di sini.

Lembah dan bukit dikupas sebagai tambang pasir/tanah...... Perjalanan menuju Waduk Cirata, 2015, sudahlah rawan longsor , dikupas pula bebukitannnya...... duuuh ... miris
Lembah dan bukit dikupas sebagai tambang pasir/tanah...... Perjalanan menuju Waduk Cirata, 2015, sudahlah rawan longsor , dikupas pula bebukitannnya...... duuuh ... miris
. 

  

Perjalanan  berlanjut. Menyusuri lika liku  jalan yang dibingkai oleh kebun-kebun dan perbukitan serta lembah hijau.

Perkebunan teh Panglejar  menjadi salah satu  pesona di perjalanan. Hamparannya menyerupai karpet raksasa yang lembut. Perkebunan ini  melengkapi suasana bersejarah.  Karena dulu kala  tanaman ini menjadi  komoditi penting  bagi pemerintahan kolonial Belanda.  Dan sekarang  produknya tetap penting bagi PTPN VIII, dan negeri kita.Teh Walini cukup kesohor  karena  kesegaran harum dan rasanya.

Jalan berliku, menanjak tajam, kadang menurun. Untuk perempuan usia di atas 50, bahkan menjelang 60, stamina begini cukup hebat menurut hemat penulis.Di pinggir jalan mulai tampak    kayu-kayu gelondongan yang baru ditebangi . Ditumpuk dan tersusun rapi  di beberapa lokasi atau di lahan-lahan tertentu. Hanya penulis kurang  tahu persisnya untuk dikemanakan kayu-kayu gelondongan tersebut, dan darimana asalnya.

Duh pepohonan yang runtuh..... Ini bukan runtuh, tapi kayu gelondongan.... Lumayan banyak dalam kelompok tumpukan di sepanjang tepian jalan
Duh pepohonan yang runtuh..... Ini bukan runtuh, tapi kayu gelondongan.... Lumayan banyak dalam kelompok tumpukan di sepanjang tepian jalan
 

Dalam perjalanan kami sempat mengagumi  bangunan megah, dikelilingi  pagar benteng rapat dan jangkung. Tulisan di depannya,   pabrik bernama Kwangduk Worldwide, kabarnya merupakan pabrik jas ekspor  berkualitas tinggi. Untungnya bangunan megah ini masih dikitari kawasan hijau dan rimbun. Masih banyak sawah dari masa lalu. Semoga saja tak habis ditimbun.

Perjalanan yang masih menyimpan  wajah asli alam. Nurani saya  berharap, jangan sampai  kelestariannya terkikis oleh  rimba raya beton.Menatap kebun, hutan dan rindangnya alam serta sawah di kiri kanan jalan, menghadirkan sensasi  tersendiri.  Ini lho, tempat  mengembalikan enerji  kita yang luluh lantak oleh letihnya  rutinitas.

Sensasi Nuansa Hijau , sawah, aroma dedaunan dan senyap yang indah....
Sensasi Nuansa Hijau , sawah, aroma dedaunan dan senyap yang indah....
,Akhirnya kami tiba di sebuah perlintasan kereta api. Ada stasiun kereta Rende. Sekira  10 km ada belokan ke kanan, menuju Desa Ciharashas. Lewat  6 sampai 7 km  menempuh jalan mulus dengan pemandangan  maha indah, ciptaan Sang Maha Kuasa,  kami tiba di kawasan Bendungan Cirata.

Di kiri kanan jalan tampak berbagai kebun buah dan pepohonan buah-buahan dengan tulisan nama pohonnya. Ini jelas pemandangan yang jauh lebih  cantik dibandingkan puluhan tahun silam.  Mengenal keaneka ragaman hayati,  dan melestarikannya. Jangan sampai ada yang punah , tergusur oleh pembangunan yang tidak berkelanjutan (suistainable).

Di kiri kanan jalan tampak berbagai kebun buah dan pepohonan buah-buahan dengan tulisan nama pohonnya. Ini jelas pemandangan yang jauh lebih cantik dibandingkan puluhan tahun silam.


PLTA terbesar se Asia Tenggara Bendungan Cirata tujuan kami kini ada di depan mata. Indah sekali, biru terhampar dengan bingkai alam hijau, perbukitan yang rimbun, serta berpayung langit biru. Semilir angin dengan jutaan  oksigen berhembus menyeruak ke dalam pernafasan. Segar…

Bendungan Cirata..... aduhai indaaaah sekali.. Biru teduh dan damai, berbingkai aroma hutan , bebukitan rimbun, berpayung beningnya langit
Bendungan Cirata..... aduhai indaaaah sekali.. Biru teduh dan damai, berbingkai aroma hutan , bebukitan rimbun, berpayung beningnya langit
  

Sebentuk kecantikan cakrawala di Waduk Cirata ...... 2015.... Biru memayungi semesta, dan bebukitan membingkai kedamaian.....
Sebentuk kecantikan cakrawala di Waduk Cirata ...... 2015.... Biru memayungi semesta, dan bebukitan membingkai kedamaian.....

Pada sebuah siang .... di tepian Waduk Cirata, 2015.... saat dermaga melabuhkan biduk keindahan
Pada sebuah siang .... di tepian Waduk Cirata, 2015.... saat dermaga melabuhkan biduk keindahan

Sebuah  perahu tampak  membelah Waduk Cirata dengan tenang. Di dalamnya ada lelaki bertopi , yang mendaratkan perahunya sambil membawa keranjang berisi ikan nila segar. Ikan Nila yang terkenal  tinggi gizi omega3 nya dan rendah kolesterol. Sangat cocok  untuk kami ber enam yang nota bene  tergolong lansia (senyum...). Cirata memang kesohor  dengan hasil budidaya ikan air tawarnya.

Bendungan  ini terletak  di perbatasan 3 kabupaten. Bendungannya terletak di Kabupaten Bandung Barat, dengan gedung kontrol kendali bendungannya. Sementara Power House pembangkit tenaga listrik (PLTA) Cirata berada di Kabupaten Purwakarta. Ini merupakan PLTA terbesar di Asia Tenggara. Kapasitas pembangkitnya 1008 MW , energi listrik yang dihasilkannya  per tahun dapat mencapai 1428  GWH.

Penbangunan tahap pertamanya tuntas  tahun 1988. Tuntas tahap ke 2 tahun 2007. Luas genangan waduk ini 6.200 Ha. Memiliki 4 terowongan tekan, yang panjangnya 640 m dengan diameter 10 m.  PLTA ini memiliki turbin 8 unit, generator  8 unit, dan travo sebanyak 4 unit.

Karena keterbatasan waktu,  kami tidak mungkin menjelajahi lokasi pembangkit listrik tersebut. Langsung saja memilih wisata kuliner. Tidak sempat untuk menjelajah terowongan megah di perut bukit tersebut. Hanya dari kejauhan terlihat sejenis bunker bawah bukit, dengan 4 pintu bagian ujung terowongan.


Hanya dari kejauhan.... kami menatap sejenis gerbang bunker terowongan bawah bukit.... dengan 4 pintu bagian ujung terowongan di Waduk / Bendungan Cirata , April 2015....
Hanya dari kejauhan.... kami menatap sejenis gerbang bunker terowongan bawah bukit.... dengan 4 pintu bagian ujung terowongan di Waduk / Bendungan Cirata , April 2015....
 

Kuliner Sunda Istimewa ala Cirata

Jika ingin menikmati makan siang khas Sunda yang segar dan lezat,  carilah sisi lokasi yang gerbang masuknya bertuliskan Objek Wisata Cirata Buangan. Kami tidak masuk ke tempat pembangkit listriknya. Meskipun judul alias namanya aneh, Wisata Cirata  Buangan, di lokasi ini  tidak seperti tempat buangan lho. Suasana Sunda Priangan tempo dulunya damai dan  kental sekali.

 

SALAH SATU GERBANG MASUK WADUK CIRATA, JIKA INGIN WISATA KULINER MURAH MERIAH. Objek Wisata Cirata BUANGAN.

Jalan menurun kami susuri setelah membayar tiket mobil Rp 5.000,-. Jalan  tidak rata alias tidak teraspal dengan baik. Tampaknya kalau hujan bisa licin dan becek. Beruntung, meski musim  tidak menentu, siang itu udara cerah. Berangkat dari Bandung tadi pukul 10 pagi, tiba di sini tepat waktunya shalat Lohor.


Mobil Ibu Etty yang kami tumpangi akhirnya berhenti di depan sebuah  kedai nasi liwet. Kedainya berupa bangunan semi permanen dari bahan kayu, bambu dan anyaman bilik bambu. Atapnya dari genteng tanah liat. Benar-benar suasana pedesaan ala Sunda tempo dulu .Setelah menunaikan shalat lohor di masjid , kami memilih makan siang di lantai atas  kedai nasi. Tujuannya supaya pemandangan bisa lepas bebas ke segala arah dari ketinggian. Aduh sejuknya berteduh di bawah atap genteng tanah liat ini, berlantaikan kayu yang dilapisi sejenis  lampit bambu. Tikar anyaman  model  jaman baheula ikut menghiasi.

duuuh nyaman sekali...... tikar anyaman etnik nan cantik, untuk leyeh-leyeh, teduh di bawah kesejukan genteng tanah liat, lantai kayu berselimut lampit bambu.... tradisi ala Sunda Baheula... di tepian Waduk Cirata 2015
duuuh nyaman sekali...... tikar anyaman etnik nan cantik, untuk leyeh-leyeh, teduh di bawah kesejukan genteng tanah liat, lantai kayu berselimut lampit bambu.... tradisi ala Sunda Baheula... di tepian Waduk Cirata 2015
  

Penjaja TUtut , sejenis keong/ siput sawah yang gurih, juga gorengan dan rambutan...... murah meriah
Penjaja TUtut , sejenis keong/ siput sawah yang gurih, juga gorengan dan rambutan...... murah meriah
  

Kami memesan nasi liwet dengan pelengkap ikan bakar dan lain-lain. Untuk satu porsi katanya Rp 70.000  cukup untuk 4 orang. Karena kami berenam, maka memesan 2 porsi saja. Seharga Rp 140.000,- . Menunya  nasi liwet, sambal , lalab segar langsung dipetik , ikan nila bakar (9 ekor) , sausnya sambal kecap dengan jahe.Kalau mau tambahan bawa dari rumah juga bisa, misalkan gorengan, atau lainnya.

Ibu pemilik warung tampak memetik pucuk-pucuk daun singkong yang rimbun membingkai tepian waduk. Tanaman singkong diselingi daun-daun kemangi, tanaman kacang tanah. Disela-selanya tumbuh  daun randamidang, lalaban harum dengan bunga berwarna merah muda. Bahasa Indonesianya daun kenikir. Asal jangan keliru, pilih yang bunganya merah muda, bukan yang kuning.

Daun singkong, daun randa midang, daun kemangi....semua dipetik langsung untuk menemani santap siang...lalaban segar
Daun singkong, daun randa midang, daun kemangi....semua dipetik langsung untuk menemani santap siang...lalaban segar
 

Beberapa  wanita penduduk setempat menjajakan tutut dan rambutan. Harganya sangat murah. Jadi sebelum makan siang alias nasi liwet dadakannya matang, menikmati tutut berbumbu gurih plus  rambutan manis ngelotok, enak juga. Rambutannya banyak sekali di tempat ini.

Semilir angin berembus mengayunkan bunga-bunga  kenikir kuning. Biru  danau yang tenang, sebuah pemandangan yang menyejukkan jiwa raga. Ternyata ada tukang ngamen  mendatangi kami, memainkan sebuah lagu dangdut.  Lumayan ,selingan hiburan.Pemandangan danau dari atas sini indah sekali. Penduduk setempat menyebut lokasi ini sebagai Cai-caian (bahasa Sunda = air-airan, alias laut-lautan, atau  mungkin danau tiruan).

Semilir angin, ayunan bunga-bunga kenikir/cosmos kuning benderang.... Air danau membiru dan tenang, ketenteraman alam, pemandangan pelenyap galau.....
Semilir angin, ayunan bunga-bunga kenikir/cosmos kuning benderang.... Air danau membiru dan tenang, ketenteraman alam, pemandangan pelenyap galau.....
  

Akhirnya nasi liwet dalam panci liwet  tradisional tersaji di hadapan kami. Harum ikan nila bakar dan  teh tubruk panas ala perkebunan setempat melengkapi. Lalaban yang tadi baru dipetik langsung direbus tersaji bersama sambal.

Untuk melengkapi makan siang, menu wajib yang kami bawa dari Bandung,  karedok Leunca.  Ibu Yuyu membawa cobek, ibu Yasmin mengulek cengek,  garam,  bawang putih, kencur, gula  merah , terasi bakar dan asam. Leunca diaduk ke dalamnya. Dengan tambahan daun kemangi. Sempurnalah santap siang ala Priangan tempo dulu.

Buah kelapa muda yang baru dipetik turut menyemarakkan  gidangan yang tersaji di atas tikar.Rasa nasi liwet di sini memang istimewa. Gurih, tidak terlalu asin, dan tidak banyak  isinya. Hanya ada  serai dan daun salam. Tapi rasanya enak sekali. Nasinya pulen dan bisa dikepal.

 

Menu sehat , Nasi Liwet Gurih (sepertinya pakai Royco deh) , pulen, aroma daun salam dan serai, berteman Nila bakar bumbu kecap, sambal jahe kecap, lalaban segar , .... pencok leunca kencur... alias cikur.... NYunda banget....Gorengan, kerupuk....nyam nyam nyam...murah meriah ala Wisata Waduk Cirata Buangan
Menu sehat , Nasi Liwet Gurih (sepertinya pakai Royco deh) , pulen, aroma daun salam dan serai, berteman Nila bakar bumbu kecap, sambal jahe kecap, lalaban segar , .... pencok leunca kencur... alias cikur.... NYunda banget....Gorengan, kerupuk....nyam nyam nyam...murah meriah ala Wisata Waduk Cirata Buangan
  

Waktu mau makan kami minta disediakan piring. Ternyata nampan bundar besar dari plastik itulah piringnya. Katanya , satu nampan bundar untuk berdua. Begitu biasanya. Kami terkejut . Maksudnya seperti gayamakan di Arab rupanya.Akhirnya kami  minta tambahan piring 3 lagi. Jadi  satu orang satu piring. Wayahna, yang kebagian nampan  harus menikmati nasi  di piring jumbo. Enaknya bisa makan dalam porsi lebih jumbo.... tapi waspada, usia di atas 50  harus direm sedikit menunya, nanti kolesterol atau gula darah naik.

Makannya pakai piring jumbo.... seperti nampan..... Unik kan
Makannya pakai piring jumbo.... seperti nampan..... Unik kan
... 
Nasi Liwet Gurih Harum Rempah Bumbu, ala Waduk Cirata "Buangan"
Nasi Liwet Gurih Harum Rempah Bumbu, ala Waduk Cirata "Buangan"

Ketika akan pulang, nasi masih bersisa banyak. Ibu pemilik warung menyediakan  kertas bungkus dan plastik keresek untuk membungkusnya. Nasi liwet istimewa ini kami bawa pulang. Juga sisa lalaban segarnya.Siang itu juga  kami  meninggalkan kawasan Waduk Cirata, yang sarat dengan  kedamaian tradisi Sunda tempo dulu,  penuh   kesegaran baru. Lain waktu , jika berangkat bersama  keluarga, di sini banyak penginapan dan vila yang disewakan juga.

Bahkan ada rumah penduduk  dapat disewa untuk menginap.  Jangan lupa juga  untuk bawa oleh-oleh rambutan (jika sedang musim seperti sekarang), karena segar dari pohon langsung. Rasanya juga manis.  Semanis kenangan yang bakal kita bawa pulang setelah  berwisata di Waduk Cirata.

Siang itu.... , setelah menikmati santap siang ala Sunda tempo dulu, menikmati pondok makan nuansa jadul pula, kami meninggalkan Kawasan Waduk Cirata , yang sarat dengan kesan terindah, sarat kedamaian ala tradisi Sunda Tempo Dulu, dengan rasa segar jiwa raga....
Siang itu.... , setelah menikmati santap siang ala Sunda tempo dulu, menikmati pondok makan nuansa jadul pula, kami meninggalkan Kawasan Waduk Cirata , yang sarat dengan kesan terindah, sarat kedamaian ala tradisi Sunda Tempo Dulu, dengan rasa segar jiwa raga....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun