Mohon tunggu...
masrierie
masrierie Mohon Tunggu... Freelancer - sekedar berbagi cerita

menulis dalam ruang dan waktu, - IG@sriita1997 - https://berbagigagasan.blogspot.com, - YouTube @massrieNostalgiaDanLainnya (mas srie)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tempo Dulu di Bandung (3) Ciumbuleuit Lansekap Bersejarah di Bandung Utara

5 Januari 2014   08:30 Diperbarui: 10 Desember 2021   09:09 7482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gandok, jalan Ciumbuleuit bawah/selatan. Tampak latar belakang, oplet tahun 1968 an, dan sekarang bangunan di belakang itu sudah menjadi Gallery Ciumbuleuit Apartemen dan Hotel Harris

Tahun 1960an .

Puluhan tahun silam tempat ini begitu sunyi, tepian kota yang terkucil dari keramaian , langka oplet (angkot jaman dulu),dingin , berselimut kabut. Layaknya pegunungan yang masih lugu.

Tahun 1960an. Fajar teramat dingin , halimun dan jutaan butir embun membasahi seluruh permukaan rumput, daun dan bunga-bunga yang merekah dengan warna mencolok. Warna bunga khas kawasan dingin.

Ratusan unggas membelah langit, halimun tebal , gemericik sungai Cipaganti , kucuran pancuran mata air bening , keciprat itik di sawah, dan kerbau yang bermain di kubangan lumpur, kolam-kolam ikan dan teratai.

Atau pada musim tanam kerbau membajak hamparan sawah yang membentang luas…sangat luas. Tampak jelas gunung berselimut rindangnya hutan dan perbukitan, lembah persawahan berumpak hingga ke area Panorama Hegarmanah. Perkampungan dengan rumah-rumah bilik menggerombol di beberapa titik. Di antara jalan setapak menerobos rumpun bambu.

 






 

Di jalan aspal dan jalan sayap Ciumbuleuit (Rancabentang, Gunung Agung, Gunung Karumbi, Kiputih dll) adalah permukiman kelas atas. Bangunannya satu sama lain berjarak amat jauh, dikelilingi pekarangan luas, diselingi lahan /kavling kosong, kebun-kebun jagung / palawija, serta pekarangan yang teramat luas. Masih tersisa rumah-rumah tua dan villa berarsitektur gaya Belanda. Termasuk rumah papan kayu bercat hitam ala kediaman mandor perkebunan.

 

Bangunan Rumah ala villa perkebunan Belanda , yang berdinding papan hitam, eksotik... dengan taman luas, jalan Kiputih Bandung, tahun 2008
Bangunan Rumah ala villa perkebunan Belanda , yang berdinding papan hitam, eksotik... dengan taman luas, jalan Kiputih Bandung, tahun 2008

Tentang margasatwa….. jangan ditanya. Segala jenis burung ada di sini. Terutama burung bangau dan burung kuntul sawah berwarna merah masih sering berseliweran di areal sawah. Burung hantu, koreak, gagak bersahutan menandai malam. Bahkan burung elangpun masih ada. Malah pernah kejadian macan kumbang hitam turun gunung kepergok warga.

Burung-burung mungil dengan warna mencolok seperti hijau , merah, kuning…….. Banyaaaak sekali. Mereka jumpalitan di antara buah-buahan ranum . Pagar-pagar rumah terdiri dari tanaman, seperti bunga sepatu misalnya. Pagar besi atau kawat dirambati bunga-bunga alamanda , stefanot oranye, stefanot merah muda, dan bugenvil kaya warna, ungu, oranye dan putih. Belum lagi maraknya kemboja. Pemandangan tak terduakan ini bagai lukisan impian, berlatar gunung Tangkuban Perahu dan Burangrang, saat kita menatap arah utara. Seakan gunung itu begitu dekat di pelupuk mata. Dan semakin cantik dengan gumpalan awan di puncaknya.

 

Tahun 1970an

Perkampungan Cisatu letaknya di bawah jalan, alias di lembah bantaran Ciumbuleuit utara. Lokasinya berseberangan dengan Wisma Siliwangi (wisma tempat lokasi syuting film layar lebar Ateng The Godfather) yang sekarang sudah tidak ada. Kampungnya didominasi rumah gubuk /bilik serta rumah panggung kayu agak kurang teratur, berdiri di tengah rimbunnya pepohonan buah dan bambu.

Rumah-rumah tradisionil bergenteng tanah liat, umumnya memiliki sangkar burung dan kandang ayam. Biasanya terdapat pot bunga yang ditanami daun bawang dan seledri atau tanaman cabai rawit.

Setiap pagi pula sayup puluhan langkah kaki berterompah kayu, walau banyak juga yang tak beralas kaki, menyusuri pematang, menuju pancuran . Ada mata air jernih bersih yang tak pernah kering , menjadi kamar mandi umum di tengah persawahan. Banyak penduduk membawa ember terbuat dari seng dan gayung dari batok kelapa. Mereka membawa cucian atau mengambil air bersih untuk dibawa pulang. Beberapa gadis berkebaya sibuk mencuci beras dan sayuran. Gemericik airnya mengucur siang malam , mengucur lewat bilah bambu yang berjajar di sana. Air yang berlebih mengalir ke saluran air menuju persawahan dan berujung di sungai Cipaganti.

Di perkampungan sudah ada juga yang memiliki kamar mandi sendiri, tanpa atap, hanya dikelilingi bilik anyaman bambu. Sumurnya bening, pengambilan airnya menggunakan katrol tradisionil dengan tali dari ban bekas warna hitam.

Suasana pagirelatif berulang. Ramai kokok ayam jantan dan kicau burung dari alam danburung-burung dara yang mulai mengepak sayapnya ke angkasa. Kambing mengembik, bebek berkoak.

Asap kayu bakar mulai mengepul dari dapur-dapur yang terpisah dari rumah-rumah panggung berdinding anyaman bambu .Tercium aroma nasi merah atau ubi rebus.

Jalan setapak di hadapan rumah mulaisesekali dilalui manusia silih berganti , hilir mudik . Ada yang mengenakan seragam kerja dan sekolah, ada yang berpakaian tani.Mereka adalah warga Kampung Cisatu. Kebanyakan mereka adalah pekerja rumah tanggadi kawasan sekitar, termasuk jadi pekerja di rumah ekspatriat (tenaga ahli / pekerjaasing ) atau jadi pelayan di Balai Pertemuan Bumi Sangkuriang.

Ciumbuleuit merupakan kawasan favorit orang asing, yang bekerja sebagai tenaga ahli di Indonesia. Rumah-rumah ukuran besar dengan pekarangan depan belakang yang amat luas, memiliki pepohonan besar, taman bunga, kolam hias, kolam itik dan ikan, atau kolam renang, adalah kediaman idaman para ekspatriat .

 

 

Jalan Ciumbuleuit Tempo Dulu, tahun 1975 (kiri) , dan tahun 2008 (kanan). Lokasi, sekarang di seberang bekas Wisma Siliwangi, atau dalam foto , rumah nomor 179
Jalan Ciumbuleuit Tempo Dulu, tahun 1975 (kiri) , dan tahun 2008 (kanan). Lokasi, sekarang di seberang bekas Wisma Siliwangi, atau dalam foto , rumah nomor 179

Kenangan Sebuah Wisma, Bagai Istana dalam Dongeng

Mereka yang menggemari film-film komedi Ateng , mungkin pernah menonton film berjudul “Ateng The Goodfather”. Film komedi tersebut berlokasi syuting di sebuah wisma.

Bangunan wisma tersebut di mata saya seolah sebuah istana dalam dongeng, lengkap dengan taman bunganya, seperti yang suka didongengkan oleh bibi saya. Ada hamparan taman rumput hijau seindah permadani. Rumputnya terpotong rapi, ada pohon flamboyant berbunga merah tua yang jika bersemi taburan menebar motif cerah di hamparan rerumputan. Pada sudut lain berdiri bunga kemboja, di sudut satunya menyembul segerombol alamanda kuning cerah. Di tepiannya ada deretan bunga kana merah, oranye , putih dan merah gelap.

Jalan Gunung Karumbi dekat wisma ini memiliki deretan pagar bunga bougenvil dan alamanda. Ini ciri taman-taman tempo dulu. Selain itu juga bunga sepatu dan mawar Jepang menjadi pagar hidup kebanyakan rumah. Khusus untuk mawar, ukurannya bisa sangat besar dan warnanya mencolok sekali. Kembang melati juga banyak ditanam di rumah-rumah. Bunga-bunga wangi lain seperti kacapiring dan cempaka juga mudah didapat, termasuk bunga kenanga.

Pohon pinus berdampingan dengan cemara dan kemboja menjadi tren gaya lansekap kala itu. Pekarangan yang beberapa kali kipat jauh lebih luas dibanding dengan bangunan, itu juga ciri kawasan Ciumbuleit. Pemerintahan kolonial menyadari betul betapa pentingnya memelihara ruang terbuka hijau dan resapan air , sehingga tak ada satupun rumah yang dibangun menyikat lebih dari setengah bagian lahan. Tak heran, makanya dulu Bandung bisa bebas banjir.

Masih pesona Wisma nan eksotispeninggalan Belanda tadi , yang bercat putih, denganjendela bundar danterasdepannya yangasri. Menurut cerita sesepuh warga kampung sekitanya, duluBung Karnodan para tamu agung pejabat negaradan tamu negarakerap menginap di bangunanartistik art deco ini.

Bangunan yang berdiri sejak 1930an ini membuat Bung Karno terpukau. Sebab di seberangnya membentang kebun dan sawah yang luas sampai ke kawasan Panorama. Kabarnya Bung Karno melarang lahan di bagian depan wisma dibuat bangunan, tapi itu hanya cerita dari mulut ke mulut warga kampung Cisatu. Maklum, warga kampung ini selain bertani, banyak yang menjadi pembantu rumah tangga di kawasan ini, termasuk jadi pelayan di BP Bumi Sangkuriang dan wisma tua tersebut.

Saat siang hari pemandangan sawah tropis menjadi dramatis dengan liukan padi saat hijau dan ratusan unggas beterbangan di musim panen, ani-ani dan orang-orangan sawah….. Keindahannya berlanjut saat kegelapan malam datang. Mendesah lembut semilir angin , kerlipan lampu dari kejauhan, dari kawasan panorama sungguh tak terlupakan . Wisma ini berdampingan dengan keteduhan dan rimbunnya alam. Semua lukisan alamiah itu terlihat nyata kaya pesona dari gedung eksotik ini.

Wisma bersejarah tersebut lapangan luasnya pernah digunakan shalat Ied berjamaah. Di taman yang asri dengan jalan masuk dimana cemara berbaris, tak sedikit orang berfoto ria, memanfaatkan pesona tamannya dan kemolekan artistik bangunannya sebagai latar belakang pemotretan.

 

]

Tampak keluarga berfoto di seberang Wisma Siliwangi (sekarang sudah tidak ada) , tahun 1975, (kiri), dan lokasi yang sama di tahun 2008 (kanan)
Tampak keluarga berfoto di seberang Wisma Siliwangi (sekarang sudah tidak ada) , tahun 1975, (kiri), dan lokasi yang sama di tahun 2008 (kanan)

Seorang warga kampung bercerita, dulu paling betah menunggu oplet (angkot tempo dulu) di sisi jalan depan gedung tua yang indah ini. Adem, sambil cuci mata.

Namun sebenarnya jika terlalu lama berdiri menunggu oplet di depan taman bangunan ini, sesekali bikin bergidik. Ada kabar burung alias gosip, sedikit cerita seram, katanya di halaman bangunan ini pohon beringinnya angker. Entah benar atau tidak, larangan menebang pohon itu pasti besar manfaatnya. Pohon beringin adalah senjata peredam Global Warming bukan? Ada kabar burung yang mengatakan , pernah ada orang kesurupan gara-gara mau menebang pohon caringinnya. Tapi namanya juga kabar burung, kebenarannya meragukan

Foto tahun 1960an, Bandung Tempo Dulu, di Wisma Siliwangi, jalan Ciumbuleuit Bandung. Dulu di tempat ini pernah syuting film Ateng The Goodfather....
Foto tahun 1960an, Bandung Tempo Dulu, di Wisma Siliwangi, jalan Ciumbuleuit Bandung. Dulu di tempat ini pernah syuting film Ateng The Goodfather....

 

Jalan-jalan Seputar Ciumbuleuit dan Sayap Ciumbuleuit

Tahun 1960an , sejuk yang selalu saya rindu. Barisan pagar tanaman bunga sepatu merah tua mengingatkan saya pada masa kecil. Jenis bunga ini memiliki madu yang enak. Anak-anak kecil suka menyedot madu bunga dari bagian bawahnya. Hmh, lezat sekali. Sayang bunga seperti itu sekarangsulit ditemui. Biasanya acara menyedot madu dari bunga tersebut mengawali langkah anak-anak saat hendak olahraga di pagi hari .

Tempat jalan pagi favorit saya tahun 1970an salah satunya adalah kawasan jalan Neglasari (sayap Ciumbuleuit) dan sebuah wisma milik Departemen Sosial di sana. . Lalu kami singgah di sebuah taman dengan kolam yang besar. Taman ini berada dalam apitan jalan Kolam dan jalan Neglasari.

Seingat saya , pernah saat acara 17 Agustus tahun 1960an , ada anak yang berenang di sana, padahal airnya coklat keruh. Di sana diadakan bazar dan berbagai perlombaan.

Pada tahun 1970an kolamnya seperti terlantar, tapi menurut saya malah semakin cantik dengan aneka bunga rawa berwarna mencolok. Antara lain bunga eceng gondok biru ungu, ada bunga melati air warna putih, juga bunga genjer warna kuning. Belum lagi aneka teratai yang warnanya macam-macam, merah muda, biru, kuning, putih…… mata sangat betah menatapnya. Tapi ketika tahun 1990an , sudah menjelma jadi taman pembibitan, jadi semakin kurang bagus. Dan sekarang ini, semakin rimbun, rada berantakan tak menentu

Wisma Pendawa yang suka kami lewati, juga memiliki taman yang indah. Biasanya kalau melewati bangunan tua itu, saya suka berkhayal , alangkah nyaman dan senangnya kalau bisa tinggal di sana.

Ruang tamunya dengan interior antik, teras depannya bersih sekali, dan taman- di depannya sangat rapi. Sekarang tempat itu sudah jadi sebuah kompleks Town House. Saya juga ingat-ingat lupa, kalau tidak salah pernah ada bangunan lembaga budaya Jepang di sini. Lokasinya berhadapan dengan Hotel Arjuna.

Sayangnya banyak anjing peliharaan yang suka dilepas sembarangan. Maklum, mungkin karena suasana sangat sepi di kawasan bandung utara ini. Tujuannya untuk menjaga keamanan memang. Rumah-rumahnya dengan pekarangan luas, di depan dan kiri kanannya, berjarak jauh satu sama lain . Tampaknya mudah sekali penjahat beraksi di tempat ini.

Tapi pada masa tersebut, tahun 1960 an dan 1970 an penjahat tidak sebanyak sekarang. Kondisi cenderung aman, tenteram walau jika malam Bandung kelihatan seperti mencekam . Sekarang Bandung di waktu malam ramai, tapi kriminalitasnya juga marak. Dulu cenderung aman, nyaman, dan warganya, ramah, penuh senyum, lembut dan suka menolong. Mereka masih memiliki etika dan tata nilai luhurtradisi lokal dan kearifan  setempat, serta menjunjung kejujuran.

Di jalan ini ada rumah teman nenek yang jika kami berkunjung, saya betah ingin sekali berlama-lama. Rumah besar yang antik itu(dalam pikiran saya seperti kastil yang pernah saya lihat fotonya dalam majalah-majalah asing seperti Libelle dan Margriet). Rumah itu memiliki taman mawar, kolam ikan dengan angsa-angsa putih, burung-burung di pohon murbei, serta buah-buahan . Kolamnya semarak oleh bunga-bunga kangkung warna putih dan ungu.Di celah-celahnya , bunga Lily air dan Genjer kuning  duh bikin mata tak bosan memandang.

Tahun 1960an,ada rumah sahabat nenek penulis , rumahnya berlokasi di jalan Neglasari juga , agak masuk ke gang. Lokasinya berdampingan dengan sawah dan kebun serta mata air. Mata air kecil bening berbentuk pancuran bambu dan ikan hias berwarna yang amat mungil dan banyak. Mata air itu mengalir menjadi sungai kecil yang nantinya bermuara di sebuah sungai agak besar (Sungai Cipaganti).

Yang memesona juga adalah rumah model Eropa tuanya. Biasanya rumah begini ada di kawasan pegunungan Alpen. Di ruang tengahnya ada tungku api dengan bingkai batu bata merah yang diekspose dan dicat merah . Penghangat alami ala Belanda. Tampak ada sisa kayu bakar di dalamnya .

Selain itu ada sofa besar dan hangat berlapis kain wol berdampingan dengan lampu hias besar. Mirip kursi duduknya Donald Duck yang selalu bersebelahan dengan lampu dengan kap lampu  besar seperti ember.

Wanita tua indo yang tak pernah menikah ini kerap menyediakan Kue Ananas Cookies (nastar) buatannya. Atau lain ketika beliau membuat kue Janhagel. Minumannya sirup nanas, juga buatannya sendiri. Di halamannya ada saung sederhana tempat duduk duduk.

Saat duduk di saung itulah kami bisa melihat lembah umpak-umpak hamparan sawah. Pemandangan biasa saat itu, tapikinisudah lenyap berganti dengan umpak-umpak rumah dan beton. Pemandangan yang tinggal kenangan , , masa silam yang selalu bikin kangen.

Tempat lain yang menurut saya tak kalah indahnya adalah rumah-rumah berdinding papan kayu tua bercat hitamdi jalan Kiputih. Ada teman ibu penulis yang rumahnya persis rumah villa kayu di kebun-kebun teh Malabar.

Kebanyakan rumah di kawasan sayap Ciumbuleuit, sedikit misterius, namun romantis, antik, resik, asri, segar dan berpekarangan luas….seperti dalam kastil-kastil tua Eropa. Yang jelas, di kawasan ini bunga-bunga selalu berwarna mencolok , semarak dan berukuran besar.

Berbeda dengan kawasan Bandung Kota. Ciumbuleuit saat itu memang masuk kawasan pinggiran yang sepi, terasing, sulit dijangkau kalau tak punya kendaraan pribadi, namun eksklusif dan elite . Keramaian di sini mulai hidup di pertengahan tahun 1970an, saat sebuah perguruan tinggi swasta terbaik di negeri ini berdiri.

Masih tahun 1970an, nenek pernah mengajak ke rumah temannya. Saat bertamu kami dipersilahkan duduk di taman depan rumah di jalan Rancabentang. Tak jauh dari sana, ada rumah sahabat kakak penulis (seorang pendaki gunung wanita), yakni rumah besar dari kayu . Rumah bertingkat itu mirip dengan rumah Ranch ala barat. Ada kandang kuda serta kuda, di belakangnya tampak bukit hijau menjulang. Hutan yang masih asli. Bukan hanya hijau dan subur, tapi penuh dengan suara-suara khas hutan. Mungkin suara sejenis monyet dan burung serta tonggeret..

Duduk mengitari meja bundar dan cangkir teh panas beserta toples kue tersaji .Taplak meja rajutan , serta wangi dari buah delima dan bunga jeruk ,hmmmhhhh, semerbak. Belum lagi tak jauh dari sana saya bisa menikmati harum bunga kenanga dan cempaka serta melati yang juga ramai dengan bunga.. Suasana semakin bikin betah saat terhirup harum bunga rumput, dedaunan cemara hutan, daun mangkokan serta daun kedondong, semua berbaur dalam kesejukan yang dihangati mentari pagi.

 

Dari Ciumbuleuit Utara Hingga Pasar Gandok.

Dulu tahun 1960an melintasi jalan ini sepinya minta ampun. Tahun 1970anlumayan rada ramailah. Apalagi di utara (Ciumbuleuit atas)ada jalan Kiputih dimana Bumi Sangkuriang berada . Jadi lumayan jugalalu lintas dari arahselatan/bawahyangmenuju ke sana.

Sepanjang jalan Ciumbuleit dari utarake arah Gandok (pertigaan Ciumbuleuit , Siliwangi dan Cihampelas),selalu adagedung-gedung tua model rumah villa khas Belandaberdiri dengan jarak berjauhan. Dibatasi olehhamparan taman dan sawah serta kebun.

Jalanan sangat sunyi saat itu. Sesekali ada petani menuntun kerbau. Jarang sekali ada sepeda motor dan mobil seperti sekarang.Jalan aspal yang membujur dari utara ke selatan tersebut masih diapit oleh lembah-lembah hijau berwujud sawah ,kebun,dan hutan.

Masa silam di sini terukir indah dalam memori. Saat menyusuri jalan ini , kala itu, dari utara ke selatan, sambil menatap ke arah barat (kanan) , asri dan damai. Di sebelah barat sana ada beningnya sungai Cipaganti tempat saya dan kakak suka bermain air dan menangkap ikan impun.

Pada saung-saung di pematang sawah kami suka membawa rantang berisi nasi makan siang untuk kami nikmati di tengah udara segar dan bersih. Udara sawah yang masih ramai oleh unggas dan burung bangau merah. Dan suara katak yang riuh, atau dari kejauhan suara hutan.

Gandok adalah daerah di ujung selatan/bawah jalan Ciumbuleuit. Dulu di sini banyak perkampungan. Sekarang perkampungan itu sudah menjadi apartemen Galeri Ciumbuleuit. Rumahnya terletak di bawah jalan raya. Artinya kalau mau mencapai rumah, harus menuruni tangga yang agak curam. Rumahnya terbuat dari bilik bambu, kamar mandinya di luar dan sumber airnya sumur gali yang bersih.

Bagian belakangnya terdapat lembah yang mengarah ke sungai Cikapundung di bawah jembatan jalan Siliwangi. Lembah tersebut berupa lahan hutan, kebun, belukar dan terasering sawah. Sungainya masih cenderung bersih. Pagar belakang rumah terbuat dari susunan pohon cingcau dan mawar merah.

Gandok, jalan Ciumbuleuit bawah/selatan. Tampak latar belakang, oplet tahun 1968 an, dan sekarang bangunan di belakang itu sudah menjadi Gallery Ciumbuleuit Apartemen dan Hotel Harris
Gandok, jalan Ciumbuleuit bawah/selatan. Tampak latar belakang, oplet tahun 1968 an, dan sekarang bangunan di belakang itu sudah menjadi Gallery Ciumbuleuit Apartemen dan Hotel Harris

Kenangan tak terlupakan saat tinggal di sini adalah ketika musim panen tiba. Ramai gabah dijemur , lalu suara tumbukan alu bersahutan menumbuk padi, supaya kulitnya terkelupas..

Jika gerhana bulan datang, terdengar suara kentongan kaleng dan panci.. Jika ada yang disunat, pestanya bisa 3 hari 3 malam, pakai acara pengantin sunat dan kuda lumping segala.

Di Gandok penulis juga sempat bermukim sebentar. Saya pernah diajak berjalan kaki saat pagi dari rumah, melewati sawah dan menyeberangi Cikapundung lewat jembatan bambu. Lalu menyusuri jalan Siliwangi (Babakan Siliwangi) . Terkadang saya merasa lelah , dan duduk dulu di pinggir jalan , sambil memandang areal sawah yang luas membentang. Saat pulang saya sempatkan duduk di bawah pohon depan Babakan Siliwangi sambil minum. Bandung kala itu masih sejuk dan segar.

Waktu itu lembah Babakan Siliwangi masih murni hamparan sawah, sama sekali tak ada bangunan apapun. Rasanya teduh sekali, sejuk dan betah duduk sambil makan bekal di sisi jalan depan kawasan ini. Baru tahun 1970an mulai ada bangunan , lalu tahun 1980an restoran, lalu tahun 1990an berdiri Gedung Sabuga.

Penulis suka rindu masa lalu,ketikalembah Babakan Siliwangi itu masihasli dan asri. Ayah penulis yang waktu itu dalam salahsatupekerjaannyaharus bertugas keReaktor Atom jalan Tamansari, sering mengajak sayajuga. Dari rumah kontrakan di Gandok , kami suka menyusuri sungai sampaike kantorReaktor Atom lewat jalan tikus , alias jalan belakang. Jadi terasa sekali bahwa saat itu perkampungan di sana belum padat. Lebih banyak ruang terbuka hijau, kebun, sawah, dan hutan. Prihatinnya, kawasanyang tadinya hijau, bersih, indah dan asri tadi ,sekarang berubah menjadi perkampungan super padat dan kumuh.

 

Bumi Sangkuriang.

Tahun 1970an. Bumi Sangkuriang.Balai pertemuan ini merupakan bagian dan kesatuan Ciumbuleuit.Seingat penulis, bangunan antikkarya arsitek Shoemaker ini pernah terlantar tahun 1960an. Rumput liar nya tumbuh tak terkendali. Kolamnya kotor banyak daun kering. Herannya ada komedi putar, ayunan dari logam berbentukbaskom danjungkat jungkit yang asli peninggalan belanda.

 

Bumi Sangkuriang.... tempat rekreasi dan berakhir pekan, santai, olahraga, nobar.... Foto : tahun 1975 (kiri atas), tahun 1980 (kanan atas) , tahun 1975 (kiri bawah) , tahun 1980 (kanan bawah)
Bumi Sangkuriang.... tempat rekreasi dan berakhir pekan, santai, olahraga, nobar.... Foto : tahun 1975 (kiri atas), tahun 1980 (kanan atas) , tahun 1975 (kiri bawah) , tahun 1980 (kanan bawah)

Ada seorangBelanda yang sudah jadi WNI, pak Jaya nama Indonesianya ,mendandanibalai pertemuan bersejarah itumenjadisangat hidupnamun tetap bernuansa sejarah. Dalam penanganan beliau ,taman-tamannya yang tadinya terlantar , tahun 1970an ditatamenjadi serupa dengan taman-taman kastilEropa. Karakteristik taman Eropa adalah luasnya hamparan rumput , dipangkas sangatrapi , serta maraknya bunga-bunga yang selalu bersemi denganwarna-warna mencolok. Contohnya sajabunga-bunga mawar Jepang, dan deretan daun-daun keladi berwarna putih dan merah. Yang pasti semua bunga berwarna bersemiindah sekali. Serasaberada di Eropa jadinya.

Jadul, foto Bumi Sangkuriang Jadul, Tempo Dulu, .... Perhatikan payung kain, meja, dan taman yang luas di latarnya
Jadul, foto Bumi Sangkuriang Jadul, Tempo Dulu, .... Perhatikan payung kain, meja, dan taman yang luas di latarnya

Meja dan kursi pantai kuno danpayung-payung menghiasi di tepian kolam renang. Banyak orang asing yang sering berenang di sini. Bahkan murid-murid sekolah internasional rutinbersama gurunyabelajarsambil duduk di pekarangannya.

Menejemennya tertib, rapi, disiplin, bersih . Suasana, interior dan restonya betul-betul bernuansa tempo dulu. Justru nuansa tempo dulunya inilah yang penuh daya tarik , kaya kesan dan unik , termasuk gaya bioskop tuanya.

Tahun 1970an suka ada pemutaran film. Bioskopnya sangat unik dan antik. Sebetulnya merupakan ruangan lobby pertemuan, hanya saja saat putar film di pasang layar. Mirip layar tancap. Kalau sudah 1 jam, ada jam istirahatnya. Tempat menontonnya juga pakai kursi kuno dengan jok-jok empuk berlapis imitasilir tempo dulu.

Acara nonton layar tancap, alias nonton bioskop nya, tak terlupakan. Setiap Selasa dan Jum’at , jam 19.00 sampai jam 21.00 . Khusus untuk film dewasa. Untuk hari Minggu pagi dan siang , film untuk anak-anak. Film-film layar lebar yang diputar memang merupakan film yang sudah usai beredar di bioskop komersil. Bapak Utama Sa'aran (alm) berperan dan berjasa dalam urusan putar film ini. Sebelum usai beredar, film diputar dulu di Bumi Sangkuriang. Seingat penulis, musisi tenar Purwacaraka dan istrinya termasuk yang rajin nonton pada masa pemutaran film tersebut.

Sebelum film dimulai dan lampu lobby digelapkan, kami bisa memesan makanan. Jadi enaknya, nonton bisa sambil makan. Kursinya model tua, tapi bagus dan empuk. Di depannya ada meja buat menyimpan hidangan. Biasanya kalau sudah satu jam, lampu lobby menyala.

Hanya saja semua itu kini tinggal kenangan , sebab sentuhan modern sudah menggantikan sentuhan ala masa silamnya. Tak ada lagi bioskop antik mirip layar tancap . Lahan kosong dan tamannya kini berkurang karena ada tambahan bangunan restoran dan perkantoran. Juga sebuah café berdiri di sana.

 

BUmi Sangkuriang jadul , tahun 1975 (kiri) dan tahun 2008 (kanan). Lokasinya di Jalan Kiputih, Ciumbuleuit, Bandung
BUmi Sangkuriang jadul , tahun 1975 (kiri) dan tahun 2008 (kanan). Lokasinya di Jalan Kiputih, Ciumbuleuit, Bandung

Dulunya , dari taman belakang yang luas dan suka digunakan untuk golf ini , serta dari arah kolam renang, terlihatterasberdinding batu alam hitam kelabu. Tadinya berupa teras yang terbuka. Tapi akhirnya dibuat tertutup dengan atap dan kaca. Masih ada sekarang kolam renangantik, dan fasilitas olahraga seperti lapangan tenis .

 

Bumi Sangkuriang, tahun 1970an
Bumi Sangkuriang, tahun 1970an

 

 baca juga TULISAN BANDUNG TEMPO DULU dengan foto-foto  kenangannya  yang lain:

Tentang SMP SANTA ANGELA BANDUNG JADUL TAHUN 1970AN , reuni dan ulasannya baca  DI SINI  

 Tentang Asrama Putri ITB Gelapnyawang  Bandung di  SINI 

Tentang asrama mahasiswa Sumsel tempo dulu di jalan Purawarman Bandung tahun 1950an  di SINI 

Tentang Babakan Silihwangi tahun 1960 dan 1970an  di SINI

Tentang Masa silam di jalan Dago Bandung Tempo dulu di SINI

Tentang kawasan sekitar Gedung Sate sampai jln Sumatera Bandung tahun 1970an di SINI

Tentang Taman Lalu Lintas Jadul baca di SINI

Tentang Bioskop Vanda (sekarang Bank Indonesia) jadul di Bandung baca di SINI

atau mau tau foto foto artis tahun 1950an, saya juga menulisnya di SINI

Nostalgia Musik Tempo dulu yang fenomenal karya Guruh Soekarno baca di SINI

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun