"Aku tidak akan menolak, sayang"
 Tanggal 3 Juni 1966 tiga hari sebelum pernikahan Inong Svetlana. Badai Isabel mengoyak kota Pararitik dan menumbangkan pohon berusia dua abad. Rencana pernikahan hampir batal diselenggarakan kalau saja cuaca tidak mendengarkan doa dua pengantin. "Kau boleh menerpakan badai setelah pernikahan kami, kata Inong," Laki-laki itu mulai bercerita.Â
 Hari pernikahan tidak lebih baik dari pada hari kematin. Sepasang manusia yang saling jatuh cinta sudah pasti memiliki tantangan untuk hidup bersama dalam bahtera rumah tangga. Bertahun-tahun lamanya Inong bersiap akan gagasan berbagi hidup, berbagi waktu, dan berbagi segala emosi kepada sosok romantis yang mendampinginya hampir lima tahun.
"Inong bukan perempuan sembarangan, bukan dari kasta rendahan. Kami perempuan Pararitik jika menikah mendapat maskawin bernilai tinggi," kata ibu Inong.
Manusia Jantan itu bermuka cemas tiap kali mengingat maskawin. Ah ya, maskawin yang menyayat nadi menjadi syarat lamaran terus menggusarkan pikirannya. Dia butuh waktu lebih lama untuk menghantarkan dua kepala sapi waktu lamaran nanti, sebab Inong anak bungsu. Kultur masyarakat yang mengarah ke utara kian menyudutkan mereka. Pertanyaan-pertanyaan yang datang itu-itu saja tetapi bikin malas menjawab. Selama lima tahun ekspresi seksual kalian sudah sampai tahap mana? Apakah ada penetrasi tidak sah? Pertukaran air liur kalian pertama kali dilakukan di mana?Â
"Ingat Inong identitas kesucian kerangka kewanitaanmu tak boleh kau serahkan begitu saja," kata ibu Inong. "Kita wanita bermartabat!".
"Kau jangan mau menjadi komoditi libido seks kekasihmu!" ayahnya tak mau kalah menasehati.Â
Inong hanya mengangguk mendengar nasihat yang telah berulang kali disimak selama dua tahun terakhir. Mulutnya hanya bersemangat menorehkan permintaan kepastian kepada kekasihnya, si Manusia Jantan. "Kita sudah terlalu lama berpacaran. Umurku hampir kepala tiga. Aku bisa-bisa dicap sebagai perawan tua,"
"Sabar dulu sayang, aku perlu mengumpulkan sedikit uang lagi untuk pesta pernikahan yang meriah,"
"Tak perlu meriah sayang. Esensi menikah adalah menghalalkan percampuran dua insane manusia,"
"Aku anak tunggal dan dari pihak laki-laki. Aku tak mau orang tuaku malu memasang wajah."