Mohon tunggu...
Rama Dio Syahputra
Rama Dio Syahputra Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang pelajar Indonesia di Perancis.

Saya senang memaknai dunia manusia yang hanya sementara ini. Di antara kebebasan dan keinginan, saya menghakimi makna itu dengan ditemani diri saya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cita-cita dan Identitas

17 Juli 2020   01:48 Diperbarui: 17 Juli 2020   01:37 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu ketika umurku tidak lebih dari sepuluh tahun, ibuku pernah bertanya. Sebuah pertanyaan yang cukup mudah untuk dijawab oleh seorang anak kecil.

"Kemal, Mamah ingin tanya... kalau sudah besar nanti kamu ingin jadi apa?"

Kala itu aku menjawabnya dengan lantang. "Kemal mau jadi tukang cat tembok Mah! Kayaknya seru kalau aku bisa mewarnai tembok dengan sesuka hatiku."

Mendengar jawabku dia tertawa sedikit dan menganggukkan kepalanya. Di waktu itu aku bingung mengapa dia tertawa. Aku merasa kalau cita-citaku diremehkan.

Lalu, beberapa tahun kemudian ibuku bertanya sama.

"Mal, sebentar lagi kan kamu lulus SMP, Mamah ingin tanya... kamu ingin jadi apa nanti kalau sudah besar?" ujarnya dengan nada seorang ibu,

"Aku mau jadi astronaut pertama di Indonesia Mah! Aku mau banget berdiri di bulan!" Ucapku serius dan tegas.

"Loh, kok berubah? Dulu kamu bilang ke Mamah kalau kamu ingin jadi tukang cat, kan?"

"Kayaknya kurang seru Mah kalau aku jadi tukang cat. Aku mau banget berdiri di atas permukaan bulan," jawabku sambil tertawa kecil.

Mendengar jawabanku yang cukup khayal itu dia malah tidak tertawa sama sekali. Hanya saja dia mempertanyakan bagaimana caraku bisa meraih keinginan itu. Aku pun belum bisa menjawabnya. Waktu itu aku tidak begitu mengerti dengan orang dewasa. Mereka bertanya tentang apa cita-citaku dengan lantang sekali, akan tetapi apakah mereka sendiri sudah bisa menjawab jika diberikan pertanyaan seperti itu? Atau jangan-jangan mereka hanya takut bertanya kepada diri mereka sendiri. Sungguh aku tidak tahu.

Bagiku, pertanyaan "Ingin menjadi Apa?" adalah sebuah pertanyaan yang sulit sekali untuk dijawab, sekalipun untuk mereka yang sudah merasa mengetahui jawabannya. Ketika aku memilih untuk menjadi sesuatu, maka di saat yang bersamaan aku pun membuang segala kemungkinan yang memungkinkanku untuk menjadi segala kemungkinan itu. 

Seperti aku dulu yang yakin sekali untuk menjadi seorang tukang cat tembok. Di kala itu memilih untuk menjadi seorang tukang cat, artinya aku tidak akan menjadi seorang petani, aku tidak akan menjadi seorang menteri, dan juga tidak akan menjadi segala kemungkinan yang lainnya. Mengapa? Karena aku memilih untuk menjadi.

Kehidupan tidak akan pernah luput dari pilihan. Cita-cita atau pun tujuan akan selalu menjadi bagian dari pilihan itu. Kekuatan imajinasilah yang membantu seseorang untuk menciptakan sebuah cita-cita di dalam pikirannya. Salah satu cara manusia memaknai kehidupan adalah dengan cara meraih cita-citanya. Tujuan akan selalu memberikan makna bagi mereka yang memilikinya. Kehidupan tanpa tujuan sama saja seperti layangan yang lepas dari talinya, hanya terombang-ambing oleh angin dan tinggal menunggu jatuh ke tanah.

Aku pikir manusia sudah menjadi seseorang dengan hanya menjadi manusia itu sendiri dan juga kesadaran kita akan keberadaan diri sendiri adalah salah satu tujuan yang paling bermakna di dalam kehidupan. Untukku, seseorang tidak perlu menjadi apa-apa selain menjadi dirinya. Karena sesungguhnya dunialah yang memaksa kita sepenuhnya untuk menjadi sesuatu selain diri kita sendiri.

Manusia hidup di dalam dunia identitas. Mulai dari lahir sampai mati, seseorang tidak akan pernah terlepas dari identitasnya. Nama adalah identitas, tubuh adalah identitas, bahkan pakaian yang kita pakai pun adalah identitas. Semua adalah identitas. Tujuan atau cita-cita pun memiliki peranan penting untuk menentukan identitas seseorang. Namun anehnya pilihan akan identitas itu sendiri dibatasi oleh dunia yang mengharuskan kita untuk memilikinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun