Kala itu aku sedang menikmati kemegahan gereja Santa Maria del Fiore bersama sahabatku. Di bawah cuaca yang cukup mendung dan terasa sendu, kami berdua benar-benar terkesima dengan Cathdrale tua yang memiliki kubah berwarna coklat itu. Warna tembok yang bergaris hijau muda dan patung-patung kecil yang menghiasi  dindingnya, membuatku sulit untuk melupakan keindahan gereja yang menjadi saksi dari sejarah renaissance itu. Sungguh aku tidak pernah menyangka akan ada tempat sembahyang seperti Santa Maria Del Fiore.
Ketika aku sedang berdiri dan asyik mengambil gambar dengan kamera kecilku, tiba-tiba Raka bilang. "Bro, lu tau gak? Ini gereja proses dibangunnya lama parah, hampir dua ratus tahun, Kalau lu liat ada patung arsitekturnya di sana, si Filippo Bruneslleschi" Ia menunjuk ke arah patung besar yang hanya berjarak satu lemparan batu dari kami berdua.
Aku yang masih sibuk mengambil foto tidak begitu mendengar apa yang baru saja diucapkannya. "Oh iya, Rak? Gak setua itu kelihatannya." Jawabku singkat.
Sambil menikmati satu batang rokok kesukaannya, Raka hanya diam dan tidak mengacuhkan tanggapanku. Lalu, tiba-tiba saja pandanganku dari lubang kamera terhalangi oleh sesuatu. Jari telunjukku yang ingin menekan tombol kamera menjadi beku seketika. Aku tidak bisa melihat apa-apa selain bayangan seseorang yang kabur. Siapa yang menghalangiku? Pikirku yang merasa terganggu.
Aku sudah siap memberikan terguran kepada orang yang menghalangi pandangan kameraku. Sungguhpun, sudut pandang itu benar-benar sempurna, sebuah kuda coklat yang besar, keramaian rakyat Italia dan Santa Maria del Fiore sebagai latar belakang gambarnya. Namun, ketika aku memindahkan mata dari lensa kamera, terlihat seorang gadis dengan senyumanya yang begitu manis.
Karena terkejut dan masih bergeming, aku langsung melihat Raka yang berjarak dua langkah kaki dariku. Dia tersenyum dan seolah-olah tahu apa isi pikiranku.
"Coba suruh dia geser kalau berani, katanya lu bisa bahasa Itali, coba" Tantangnya dengan sedikit gurauan.
Aku tidak berkutik sama sekali, jantungku mulai berdegub kencang. Rasanya, lebih baik aku berpindah diri dan mencari sudut pandang lain ketimbang harus berbicara dengannya. Pesona dan senyumannya membuatku tidak bisa menatap mata sayunya itu. Tetapi, aku pun tidak terima bila menyerah begitu saja dari tantangan Raka. Lalu, dengan sedikit keberanian dan rasa penasaran yang masih tersisa di siang hari itu, aku menyapanya dengan bahasa Italiaku yang masih terbata-bata.
"Mi-Scusi, vorrei prend --- prendere una photo, pu --- puoi muoverti per favore?" Dengan nada yang begitu menyanjung dan senyuman orang jawa, aku meminta tolong kepadanya untuk bergeser sedikit karena ingin mengambil gambar.
Dia pun terkejut dan langsung berpindah tempat tanpa lupa meminta maaf. Kemudian, sambil mengibaskan rambut hitamnya dengan pelan, dia memberikanku sedikit ruang agar bisa mengambil gambar. Aku melihat Raka mengacungkan jempolnya. Setelah itu, aku pun berhasil mengambil foto dari sudut pandang yang kuinginkan dan seketika dia menghalangiku lagi. Namun kali ini dia sengaja.