Mohon tunggu...
Puguh Nugroho
Puguh Nugroho Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang yang sederhana

Selanjutnya

Tutup

Politik

Eligibilitas Capres Lebih Penting Dari Elektabilitas

2 Oktober 2013   18:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:05 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menjelang Pemilihan Presiden 2014, banyak lembaga survey mengukur tingkat elektabilitas beberapa tokoh yang diprediksi akan maju sebagai capres pada 2014 mendatang. Tingkat elektabilitas memainkan peran penting untuk mengukur keterpilihan para capres di mata masyarakat. Namun, elektabilitas bukanlah satu-satunya faktor yang menentukan seseorang akan terpilih sebagai presiden. Faktor lainnya yang tak kalah penting adalah Eligibilitas. Yaitu terpenuhinya syarat untuk menjadi capres. Tanpa eligibilitas, maka elektabilitas setinggi langit pun akan menjadi percuma.

Sebagaimana termaktub dalam undang-undang No 42 tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden pasal 9, bahwa persyaratan menjadi presiden adalah: "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Persyaratan ini dengan sendirinya menyebabkan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang diusung oleh partai politik/gabungan partai politik tidak lebih dari empat pasangan. Hal inilah yang menyebabkan peluang beberapa calon presiden akan terganjal. Salah satu contohnya adalah Prabowo Subianto. Sekalipun memiliki tingkat popularitas yang sangat tinggi, Prabowo akan sulit untuk mencalonkan diri, karena rendahnya perolehan suara yang  diperoleh partai Gerindra pada saat pileg. Partai Gerindra kemungkinan besar tidak akan memperoleh 20% kursi di DPR. Hal yang sama juga akan dialami oleh pasanagan Wiranto-Harry Tanoe yang diusung partai Hanura.

Lain halnya dengan calon presiden dari PDI-P. Sekalipun dalam berbagai survey, PDI-P potensial mendapatkan suara 20 % kursi DPR, namun sampai saat ini belum memutuskan siapa calon presidennya. Sebagian besar jajaran struktur PDI-P dan hard voters PDI-P masih menghendaki ibu Megaawati maju kembali dalam kontestasi pilpres. Namun sebagian lainnya menghendaki Jokowi, sebagai figur baru dan regenerasi kepemimpinan untuk dicalonkan sebagai presiden dari PDI-P.

Jokowi memang dikenal memiliki popularitas dan elektabilitas yang sangat tinggi. Namun Undang-undang No 42 tahun 2008 tentang pemilihan umum presiden dan wakil presiden pasal 7 menyebutkan bahwa: Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota yang akan dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus meminta izin kepada Presiden.

Pentingnya faktor eligibiltas ini dari awal disadari oleh ARB sebagai capres dari partai Golkar. Karenanya tida berlebihan jika ARB mengungkapkan, bahwa: "untuk menjadi presiden tidak cukup hanya bermodalkan elektabilitas  saja, yang lebih penting adalah eligibilitas, memenuhi syarat atau tidak".

Berbagai hasil survei saat ini memang menempatkan elektabilitas ARB dibawah Jokowi. Namun dalam beberapa kesempatan ARB menyampaikan bahwa hal tersebut justru menjadi pemicu baginya untuk terus bekerja dan bekerja. ARB terus bersosialisasi secara langsung kepada masyarakat melalui kegiatan Roadshow ke berbagai daerah di Indonesia, atupun melalui iklan-iklan edukatif yang disampaikan.

Eligibilitas ARB juga didukung oleh hasil survei yang selalu menempatkan partai Golkar sebagai pemenang pileg  yang akan memperoleh suara diatas 20 %. Dengan sendirinya Aburizal Bakrie menjadi calon presiden satu-satunya yang memiliki eligibilitas paling tinggi dan akan memenangkan pilihan presiden 2014.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun