Kampung Kauman terletak di pusat kota Jogja, apabila kawan-kawan berkunjung ke kota jogja (dengan naik Garuda Indonesia pastinya, karena Citilink belum ada rute ke jogja.. hehe.. #curcol), kawan-kawan pasti akan mengunjungi satu tempat wajib di jogja yaitu jalan malioboro. Begitu sampai di persimpangan di ujung jalan malioboro, biasanya wisatawan akan lanjut lurus menuju kraton, padahal kalau saja mau meluangkan waktu untuk berbelok ke kanan melewati jalan KH. Ahmad Dahlan, wisatawan akan menemui gapura unik bertuliskan "Kauman" di kiri jalan. Ya, di situlah kampung kauman berada.
Di sana kawan-kawan bisa menapak tilasi jejak-jejak perjuangan KH. Ahmad Dahlan, dan juga bisa melihat bangunan-bangunan bersejarah yang ada di kampung kauman seperti Masjid Agung, Perpustakaan Mabulir, dll. Walaupun hanya sebuah kampung kecil, tetapi kampung kauman merupakan tujuan bagi para pelajar yang ingin memperdalam ilmu agama, terbukti dengan adanya nama dua tokoh nasional yang berbeda organisasi kemasyarakatannya pernah menimba ilmu di kauman, mereka adalah Amien Rais dan (alm)KH. Abdurrahman Wahid.
Seperti anak-anak lainnya yang dibesarkan dalam lingkungan yang islami, Ahmad Dahlan kecil juga hanya mempelajari ilmu-ilmu agama saja. Karena saat itu para orang tua yang agamis melarang anak-anaknya untuk bersekolah di sekolah umum bentukan Belanda yang dianggapnya sebagai barang haram dan orang yang sekolah di sana bisa disebut orang kafir.
Di tahun 1890 Ahmad Dahlan melaksanakan ibadah haji ke Tanah Suci Mekkah dan juga menimba ilmu dengan beberapa ulama di sana. Di tanah suci inilah pemikiran-pemikiran kritis Ahmad Dahlan mulai muncul, terutama dipengaruhi oleh karya-karya dari tokoh pembaharu seperti Muhammad Abduh.
Setibanya di Yogyakarta pada tahun 1906, KH. Ahmad Dahlan begitu prihatin melihat keadaan pendidikan di Indonesia saat itu, terdapat dualisme sistem pendidikan ketika itu.
Pertama, pendidikan kolonial yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu modern saja dan hanya bisa dimasuki oleh anak-anak dari golongan atas saja. Kedua, pendidikan pribumi yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu agama saja dan ini banyak diisi oleh anak-anak tidak mampu, sehingga menyebabkan mereka semakin terbelakang dan tidak dapat bersaing. Sistem pertama berorientasi pada duniawi saja, sistem kedua berorientasi pada sisi religius semata.
Kedua sistem ini bagi KH. Ahmad Dahlan sama-sama menghasilkan manusia cacat yang hanya memikirkan ibadah di satu sisi dan hanya memikirkan kebutuhan duniawi di sisi yang lain. Sehingga menghasilkan manusia-manusia egois yang tidak mau peduli dengan keadaan orang lain.
Menghadapi keadaan yang demikian, KH. Ahmad Dahlan hadir dengan pemikirannya untuk mengintegrasikan kedua sistem yang berbeda itu. Dua langkah sekaligus ditempuh oleh KH. Ahmad Dahlan ketika itu, pertama dengan memberikan pengajaran ilmu agama di sekolah-sekolah sekuler milik Belanda, kedua dengan cara mendirikan sekolah sendiri.
Pada tahun 1911, dengan mendapat dukungan dari kawan-kawannya di Boedi Oetomo, KH. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiah yang diadakan di ruang tamu rumahnya, madrasah ini merupakan sekolah pertama yang dibangun dan dikelola oleh pribumi secara mandiri. Sekolah ini mengadopsi sistem pendidikan modern milik belanda dan menggunakan alat-alat belajar modern seperti bangku, meja, dan papan tulis.
Karena sekolah ini sangat berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan pribumi ketika itu yang identik dengan dunia pesantren, menyebabkan sekolah ini beserta Ahmad Dahlan sendiri sering dianggap kafir oleh kebanyakan orang islam pada waktu itu. (Kisah menarik dan lucu mengenai seorang guru ngaji yang menghina KH. Ahmad Dahlan dengan sebutan Kiai Kafir, juga pernah saya tulis di Kompasiana ini, bisa kawan-kawan baca di sini: KH Ahmad Dahlan dan Kiai Kereta Api ).