Oleh. Muhammad Eko Purwanto
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 60/PUU-XXII/2024 menjadi titik perhatian penting dalam dinamika politik hukum di Indonesia, terutama menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024. Sebagai elemen kunci dalam penyelenggaraan demokrasi lokal, Pilkada menjadi ujian bagi stabilitas, representasi politik, dan keseimbangan kekuatan antara aktor politik.Â
Kepentingan untuk mewujudkan kompetisi yang sehat dan adil dalam Pilkada mendorong adanya mekanisme judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016. Keputusan MK dalam kasus ini membuka peluang baru, menata ulang konfigurasi politik dengan mengubah persyaratan pengusungan pasangan calon oleh partai politik, serta memicu perdebatan publik tentang dampaknya terhadap sistem politik dan kepercayaan publik.
Pembahasan mengenai putusan ini tidak dapat dipisahkan dari konteks demokrasi representatif yang dianut Indonesia. Aspek krusial dari putusan ini adalah penurunan ambang batas dukungan untuk mengusung pasangan calon dari partai politik, dari semula memerlukan minimal 20% kursi DPRD atau 25% suara sah menjadi hanya 6,5% hingga 10% tergantung jumlah penduduk. Perubahan ini, yang juga menyelaraskan persentase dukungan calon perseorangan, dimaksudkan untuk menjamin keadilan dan menjawab tantangan demokrasi yang sering kali didominasi oleh politik oligarki.
Meskipun bertujuan untuk meningkatkan inklusivitas dan partisipasi politik yang lebih luas, perubahan ini juga dapat menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi, ia membuka akses lebih besar bagi partai politik kecil dan calon independen untuk berkompetisi. Di sisi lain, penurunan ambang batas ini dapat memicu fragmentasi politik yang lebih dalam jika tidak diiringi dengan penyederhanaan proses politik yang berkelanjutan.
Keluwesan baru ini mendorong analisis kritis terhadap peran partai politik dalam menyaring dan mempromosikan kandidat berkualitas. Partai politik harus semakin selektif dan bertanggung jawab dalam mengusung calon, mengingat penurunan persyaratan ini dapat meningkatkan jumlah peserta kontestasi, yang jika tidak diimbangi kualitas, hanya akan menghasilkan kebingungan di kalangan pemilih.
Efektivitas putusan MK dalam menghilangkan ketimpangan dan memperkuat demokrasi lokal juga sangat bergantung pada penerapannya secara konsisten. Potensi resistensi dari partai politik besar yang dulunya diuntungkan oleh ambang batas tinggi tidak dapat diabaikan. Oleh karena itu, partisipasi aktif institusi terkait, terutama Komisi Pemilihan Umum (KPU), dalam mensosialisasikan dan menegakkan aturan baru sangat diperlukan.
Dari sisi hukum, keputusan ini menegaskan kembali peran MK sebagai penjaga konstitusi yang responsif terhadap dinamika politik nasional. Keputusan ini juga menguji komitmen pihak legislatif dan eksekutif dalam menghormati dan menindaklanjuti putusan hukum yang sah. Respons pemerintah dan DPR dalam menyesuaikan regulasi dan pelaksanaan teknis Pilkada sesuai keputusan MK akan menjadi preseden penting bagi kesehatan demokrasi di Indonesia.
Secara sosiopolitik, putusan ini diharapkan dapat memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan konstitusi. Pelaksanaan hukum yang adil dan demokratis akan menjadi landasan bagi legitimasi politik yang lebih kuat. Namun, hal ini hanya dapat tercapai jika semua aktor politik mematuhi keputusan tersebut dan memandangnya sebagai peluang untuk memperbaiki sistem, bukan ancaman bagi kekuasaan mereka.