Dalam hal ini, perlu secara bijak menyikapi pemberitaan yang berkembang saat ini. Dikarenakan suatu badan usaha atau perusahaan yang terdapat sumber atau titik api di arealnya dapat digolongkan sebagai pelaku terjadinya pembakaran (disini saya sebutkan bukan pelaku langsung dikarenakan hanya beberapa oknum perusahaan yang masih melakukan kegiatan pembakaran lahan untuk pembukaan lahan, sementara saat ini sebagian besar perusahaan sudah memberlakukan zero burning sebagai akibat aturan yang keras dan ketat dari regulator perkebunan baik dari pemerintahan maupun swasta).
Sehingga, sebuah badan usaha atau perusahaan dapat digolongkan menjadi pelaku terjadinya kebakaran, yaitu melakukan secara sengaja pembakaran tersebut dan tidak melakukan pembakaran, tetapi melakukan pembiaran terjadinya kebakaran. Untuk golongan pertama semua pihak pasti sepakat untuk menunjuk badan usaha tersebut sebagai pelaku utama. Sedangkan golongan kedua perlu dilihat kembali juga secara bijak, faktor apakah yang membuat mereka melakukan pembiaran terjadinya kebakaran? apakah faktor biaya pemadaman yang sangat besar (terkadang beberapa perusahaan tidak berdaya dengan biaya operasional tersebut dan merelakan kerugian dari tanaman yang sudah tertanam terbakar dalam luasan areal tertentu) atau faktor lainnya yang harus menjadi pokok investigasi petugas kepolisian.
Beberapa strategi dari sebagian besar perusahaan yang tanggap mengatasi kebakaran di arealnya, yaitu siaga api (memadamkan api saat masih dalam skala kecil namun yang menjadi kendala adalah api yang berasal dari pembakaran di luar areal perusahaan, dikarenakan saat sudah memasuki areal perusahaan untuk fisik dan sifat api sudah sangat sulit dipadamkan), koordinasi dengan stakeholder terkait (melakukan sosialisasi kepada masyarakat sekitar melalui perangkat desa dan kepolisian, dan melakukan perintah khusus dan sosialisasi di lingkungan internal melalui perangkat manajemen perusahaan dan kepolisian), dan bantuan kegiatan pemadaman di areal pertanian masyarakat.
Kelima, berbagai macam data mengenai bencana kebakaran lahan dan hutan sudah terdata dengan baik oleh badan-badan pemerintahan yang terpercaya, seperti BMKG dan BNPB. Data mengenai titik atau sumber api yang memiliki kecenderungan pada pola tempat, waktu, dan potensinya yang sama dalam beberapa tahun. Sehingga data tersebut data dijadikan data prediksi potensi terjadinya bencana bukan sebagai data laporan hasil terjadinya bencana kepada seorang Kepala Negara.
Dan data prediksi potensi terjadinya bencana sudah seharusnya menjadi proposal kegiatan tahunan oleh pihak-pihak yang terkait, sehingga arah kegiatan dan aliran dana sudah dapat diperkirakan besarannya (ada standar nilai bagi KPK untuk melakukan audite). Lain halnya dengan dana terjadinya bencana yang besaran nilai biaya operasionalnya dapat tidak terhingga (rawan penyalahgunaan oleh pihak-pihak yang terkait).
Dari sekian banyaknya pemaparan tersebut terdapat saran tidak berguna dari saya (bukan seseorang yang penting) yang mungkin ada beberapa manfaat yang dapat diterima dalam pengelolaan pencegahan kebakaran atau yang saya sebut secara pribadi PKT (Pengendalian Kebakaran Terpadu), yaitu:
1. Melakukan kegiatan early warning system setiap hari selama periode menjelang musim kemarau (atau deteksi dini melalui sensus wilayah langganan titik atau sumber api) melalui menyediakan pos petugas pengamat api dalam luasan tertentu yang disediakan alat pemantau seperti air drone, perangkat sederhana citra satelite, dan sebagainya.
2.Mengalokasikan 10-20% dari biaya bencana kebakaran untuk program pemberdayaan masyarakat lokal (khususnya petani), seperti sosialisasi bahaya kebakaran, undang-undang mengenai hukuman pelaku pembakaran, penyuluhan budidaya pertanian yang ramah lingkungan (ramah lingkungan dari aspek bebas polusi asap bukan bebas dari paparan bahan kimia sintetis herbisida), subsidi kebutuhan budidaya tanaman (pupuk, herbisida, benih, alsintan, dan sebagainya)
3.Pengendalian api dengan melibatkan organisasi swadaya masyarakat yang telah diberikan pelatihan keterampilan dan tentunya dibantu operasional kegiatannya (peralatan, petugas pemadam pola kerja waktu tertentu, dan sebagainya)
4.Eradikasi pelaku pembakaran baik secara kelompok maupun secara tunggal dengan peringatan keras (tembak di tempat alternatif terakhir dapat dilakukan setelah PKT berjalan selama lebih dari 3 tahun), hukuman, dan sanksi yang berat.
Demikian keluhan saya sebagai masyarakat daerah bencana asapa yang tidak mengharapkan belas kasihan dari upaya segala macam bentuk pencitraan tetapi membutuhkan kegiatan nyata di saat ini dan masa mendatang.