Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Kepada Penulis Skenario Darah Garuda

20 Juni 2011   01:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:21 1398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BERLEBIHAN, itulah kesan saya tentang film ini. Heroisme, solidaritas dan juga Nasionalisme-lah yang ingin diangkat film ini. Gayanya pun cukup Hollywood. Tidak ada masalah yang saya lihat dari aktor-aktor yang memerankannya. Semua bermain dengan cukup baik. Entah Donny Alamsyah, Atikah Hasiholan, Darius Sinatrya, Lukman Sardi, Rudy Wowor dan lainnya sudah bermain dengan baik. Tidak terlalu menonjol juga tidak minus juga aktingnya. Salut untuk semua pemeran. Film bernuansa nasionalisme biasanya klise dan emosional. Begitu juga film ini. Biasanya, karena terlalu emosional yang sering terlalu didramatisir, maka tidak akan terlihat realis. Itu terjadi di film ini. Meski digarap dengan dana yang cukup besar dan mendatangkan orang-orang Hollywood yang konon terlibat dalam pembuatan miniseri HBO Band of Brother,film ini jadi nampak konyol. Kalah dramatis dengan Band of Brother. Karena heroisme yang berlebihan itu. Film ini juga gagal menangkap suasana jaman revolusi. Terdapat juga kesalahan Setting dalam film ini. Darah Garuda Meleset Gambarkan Tentara Belanda Di bagian awal, film ini menggambarkan kekejaman tentara Belanda yang berlebihan. Seolah kelakuan tentara Belanda sama dengan kelakuan tentara Jepang yang doyan memperkosa wanita. Tentara Belanda lebih suka ngamar ke tempat pelacuran ketimbang memperkosa yang bisa membuat mereka diseret ke mahkamah militer. Saya pribadi belum pernah dengar laporan dan membaca catatan bahwa tentara Belanda doyan memperkosa wanita pribumi di masa revolusi. Di film Darah Garuda, ada terdapat tangsi di pegunungan. Dimana tangsi tentara Belanda itu berupa pondokan dari kayu dan beratap rumput. Di masa revolusi, tentara Belanda biasa memakai bangunan kosong yang ditinggalkan pemiliknya. Biasanya, tangsi tentara Belanda di sekitar kota. Tidak jauh di gunung yang sepi dan rawan gangguan gerilyawan pro Republik. Tentara Belanda lazim pakai istilah Ekstrimis buat para gerilyawan pro Republik. Itu tidak tergambar dalam film ini. Parahnya lagi, senjata tentara Belanda dalam film Darah Garuda ini, bukanlah senapan mesin ringan jenis Sten Gun—yang magazine-nya disamping. Film ini memakai senjata semacam Carl Gustaav dan Thompson. Thompson yang buatan Amerika itu hanya mungkin dipakai Marinir Belanda—karena Marinir Belanda memang dilatih Amerika. Kebanyakan tentara Belanda baik KNIL maupun KL, hanya memakai Sten Gun atau senapan laras panjang lainnya. Lebih konyol lagi, sebagian gerilyawan dalam film ini juga ikut menyandang Thompson. Ya, Thompson memang ada dipakai tapi tidak akan sebanyak pemakai Sten Gun. Masih Bambu Runcing Entah dari mana tentara Republik dapat tenda peleton? Sulit sekali mendapatkan tenda bagi tentara Republik yang bergerilya di Jawa Tengah. Tentara Republik tidak bisa bertahan lama di daerah Jawa Tengah. Posisi tentara Belanda yang kuat dan ofensif jelas membuat tentara Republik harus terus bergerak. Yang terjadi dimasa revolusi, tentara Republik biasa tidur dirumah penduduk atau di alam terbuka ketimbang di tenda peleton—yang entah dari mana? Di film Darah Garuda, di dalam tenda yang jadi ruang kerja komandan terdapat meja dan alat tulis yang cukup baik. Mustahil di masa revolusi, ada perkemahan tentara Republik yang dilengkapi meja. Pekerjaan tulis menulis perwira biasanya dilakukan seadanya dan dimana saja. Tapi sulit menemukan meja dan alat tulisnya di tengah hutan. Dalam dialog, disebut, Sekolah Tentara Rakyat. Saya tidak pernah temukan catatan soal sekolah militer semacam itu. Hanya ada Akademi Militer atau sekolah militer dengan nama tertentu. Tapi bukan pakai nama Tentara Rakyat. Bisa dipastikan sekolah militer masa itu terlihat kacau mulai dari segaram dan kurikulum latihannya. Memang nyaris sulit bagi tentara Republik adakan sekolah militer yang mapan. Katanya, Film ini bersetting 1947. Anehnya, kenapa ada Jenderal Sudirman ditandu. Dan banyak pengawal yang pakai bambu runcing . Padahal, Jenderal Sudirman baru pakai tandu setelah 19 Desember 1948—setelah Jogja diduduki tentara Belanda dalam Agresi Militer Belanda II. Sementara itu, rombongan pengawal Jenderal Sudirman ketika gerilya sudah banyak yang pakai senjata api. Entah Mauser, Garand, Sten Gun atau yang lainnya. Komandan tertinggi Pengawal Sudirman adalah Kolonel Suadi. Setting tempat dalam film ini begitu kabur hingga alurnya kurang realis lagi. Serangan yang paling mungkin dilakukan gerilyawan pro Republik biasanya adalah gangguan di malam hari. Itu pun hanya dilakukan di dari luar tangsi tentara Belanda. Di awal film digambarkan gerilyawan pro Republik berhasil menyusup ke dalam tangsi tentara Belanda dan membuat kekacauan yang merugikan tentara Belanda. Dimana jumlah para penyusup itu hanya sedikit. Itu adalah cerita yang tidak pernah saya baca dari laporan-laporan sejarah. Hanya isapan jempol. Para gerilyawan pro republik tidak akan sebodoh itu. Sudah bagus jika para gerilyawan menyerang di malam hari dan kemudian lari ke hutan lagi. Misi menghancurkan lapangan udara setelah agresi militer II, adalah hal mustahil. Misi penghancuran lapangan terbang oleh tentara Republik memang pernah dilakukan di Lapangan terbang Kalibanteng di Semarang. Misi ini sukses dilakukan diawal-awal revolusi kemerdekaan, sebelum tahun 1947, oleh pasukan yang sekarang Korps Marinir Indonesia. Dimana beberapa pesawat Belanda rusak. Setelah itu tidak ada lagi. Lapangan terbang biasanya dijaga ketat. Dalam film Darah Garuda, seolah tentara Belanda membangun lapangan terbang. Itu jelas tidak mungkin. Bisa membangun jembatan yang dirusak gerilyawan saja sudah cukup bagus sekali.. Hal Bodoh Lain Cacat adegan adalah hal biasa dalam film-film mana pun. Namun cacat adegan dalam film ini nampak konyol. Bisa bertahan hidup di bilik kayu yang terus mendapat rentetan tembakan dari musuh adalah adegan akhir yang konyol. Seperti biasa tentara musuh seolah tampak bodoh karena tidak bisa menghabisi orang-orang yang berada dalam bilik kayu tersebut. Apalagi posisi orang yang bersembunyi di dalam itu duduk dan bukan tiarap. Pejuang Indonesia memang digambarkan selalu sakti. Pesawat terbang mirip Cessna juga sudah ada di film ini. Pesawat macam itu tidak digunakan tentara Belanda di zaman revolusi. Jika bukan jenis Mustang untuk memburu pesawat musuh, paling hanya Dakota yang buat menerjunkan pasukan atau mengangkut pasukan dan barang. Itu patut kita tertawakan juga. Lebih lucu lagi, Marius (tokoh yang diperankan Darius) digambarkan sebagai pemuda kaya yang bisa menerbangkan pesawat. Itu hal sangat mustahil. Zaman Hindia Belanda atau zaman Jepang, orang pribumi Indonesia yang bisa menerbangkan pesawat biasanya berstatus pilot militer. Tidak ada sekolah penerbangan sipil di Indonesia. Hindia Belanda bukan Amerika. Jika ada orang yang iseng belajar biasanya berpangkat tinggi, seperti Letnan Jenderal Barenschot yang tewas dalam kecelakaan pesawat. Film fiksi boleh berimajinasi, tapi jika lepas dari realitas maka film itu akan terlihat konyol seperti film ini. Darah Garuda. Dana besar, didukung aktor-aktris hebat pula, tapi tidak didukung cerita yang realis dan sesuai dengan nuansa historis yang realistis. Film Nagabonar masih jauh lebih bagus dari film Darah Garuda ini. Meski tampak konyol tokoh-tokohnya, Nagabonar sangat realis dan juga dramatis. Sudah pasti menghibur pula. Kepada penulis scenario, sebaiknya sebanyak mungkin membaca buku sejarah Indonesia. Setidaknya melihat-lihat foto-foto terbitan Ipphos. Itu sangat membantu menangkap suasana jaman revolusi. Jika saya tertawa menonton film ini, itu bukan karena lucu seperti Nagabonar, tapi karena setting filmnya yang konyol dan tidak realis. Maaf jika kritikan saya terlalu pedas dan terlamabat? Tapi Nagabonar adalah film perang paling realis dan menghibur Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun