Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mbah Sireng van Bagelen

4 Januari 2011   10:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:58 1305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1294133139885665884

110  tahun silam. Pergantian abad modern, XIX menuju XX. Kata cerita yang kudengar dari Adik dari Eyang kakung, membuatku menyimpulkan Eyang buyut sudah jadi serdadu kompeni kala itu. Perang Aceh juga sedang berkobar kala itu. Para serdadu kompeni, yang kelak disebut KNIL, dengan dibantu Marsose yang jago berantem itu. Eyang buyut, kami menyebutnya Mbah Sireng, berasal dari bukit-bukit kecil di Bagelen yang tidak subur. Tanah yang tidak subur itu pula alasan banyak orang Bagelen jadi serdadu. Dari jaman kompeni sampe jaman Presiden NKRI berkuasa. Biasanya jadi serdadu rendahan. Serdadu rendahan tak tahu sekolah. Kalau mereka bisa baca tulis, di kompeni mereka bisa jadi kopral. Tidak jadi spandrig. Kata adik Eyang kakung, mbah buyut bisa baca tulis karena belajar di tangsi. Orang Bagelen memang cocok jadi serdadu. Mereka bisa juga berkelahi. Konon, kampung-kampung di Bagelen didirikan pengikut Diponegoro yang dikalahkan dengan licik oleh Jenderal Mayor de Kock di Magelang (1830). Bisa dibilang umur sebagian kampung di Bagelen paling tua belum lebih dari 180 tahun. Makanya mereka juga punya darah petarung. Meski tidak sesangar orang KNIL dari luar Bagelen seperti dari Ambon. Menado, Minahasa, timor dan lainnya. Kata sejarawan sableng, Ambon adalah KNIL paling setia. Mungkin seperti ituy, tapi harus dicatet, orang Jawa adalah penyumbang terbanyak serdadu KNIL. Tahun 1916, terdapat 17.854 orang Jawa; 1.792 orang Sunda; 151 orang Madura; 36 orang Bugis; 1.066 orang Melayu; 3.519 orang Ambon; 5.925 orang Menado dan 59 orang Alfuru dalam formasi KNIL. Banyak orang Jawa kan? Eyang buyut bagian dari serdaduy KNIL Jawa. Dia dari Bagelen. Kata Adik Eyang Kakung lagi, Mbah Sireng pernah dikirim ke beberapa daerah di Nusantara. Ke Nias, Aceh dan daerah lainnya. Aku hanya bisa bayangkan kalau Mbah Sireng adalah bagian dari Serdadu Jawa yang tidak pakai sepatu kalo berjalan kaki dan bertempur. Orang Jawa paling sial di KNIL. Sepatu tidak pakai, gaji paling kecil. Ada yang bilang Orang Jawa tidak loyal. Tapi tidak demikian kata menantu Van Heutz, si Jenderal Perang Aceh.Menantuy Van Heutz ituy menulis: “Prajurit Jawa tidak rendah kualitasnyua, tetapi direndahkan oleh kita sendiri, orang-orang Belanda. Apakah kita tidak belajar dari sejarah perang Jawa, dimana orang-orang Jawa dapat berperang dengan gagah berani serta nekad, meskipun melawan kita, orang orang Belanda, yang jumlahnya lebih banyak. Karena ia tahu berperang untuk tujuan mulia.  Kita tidak boleh melupakan orang Jawa setelah orang Aceh adalah lawan kita paling tangguh dan berani.” Sejak itu Serdadu KNIL Jawa Bersepatu. Dan Mbah Sireng pun jadi Serdadu KNIL bersepatu. Pangkat terakhir Mbah Sireng adalah Spandrig. Dia rajin dimutasi petinggi KNIL ke beberapa daerah di Indonesia. Dia lalu dapet pensiun dari pemerintah kolonial. Kata Adik Eyang, uang pensiun spandrig KNIL Jawa cukup untuk hidup. Dengan uang itu anak Mbah Sireng, kakek dan saudaranya, bisa belajar baca tulis tanpa perlu jadi serdadu. Anak Mbah Sireng terbiasa dengan dunia serdadu. Anak tertuanya, seorang wanita, kawin dengan serdadu KNIL yang kemudian masuk TNI di zaman revolusi. Ketiga anak lelakinya, tidak ada yang jadi KNIL. Anak lekaki tertua, Eyang buyutku pernah jadi tentara Republik di zaman revolusi. Dia pernah jadi tawanan tentara Belanda. Hebatnya dia sukses kabur waktu mandi di sebuah kali. Entah di kali mana? Arah larinya ke kampung halannya di bagelen. Di kampung eyang Buyut menikahi seorang gadis kampung juga, yang kelak jadi Eyang putriku. Waktu Tentara Belanda pergi, Eyang kakung dapet panggilan jadi serdadu lagi. tapi panggilan itu tidak dipenuhi. Dia pilih hidup tidak jadi serdadu seperti ayahnya, Mbah Sireng. Dia pilih kerja di Pertamina jadi terrain bewaging alias petugas keamanan di kilang minyak Balikpapan. Kata Eyang Putri, Eyang kakung jago nyanyi krongcong. Anak Lelaki kedua, dia pensiunan Pembantu Letnan TNI, istilah jaman Belandanya Adjudant. Dia dinas di kesehatan tentara KODAM Siliwangi. Di zaman revolusi, usianya baru belasan tahun. Dia suydah ikut jadi tentara republik.semasa revolusi ini Mbah Sireng wafat. Dia pergi dengan damai. Dan disemayamkan di sebuah bukit.Anak laki-laki terakhir tidak jadi serdadu. Namun menikahi anak serdadu juga. Putri seoran TNI danhidup tenang di Jogja. Dialah adik bungsu eyang kakung yang bercerita banyak pada saya soal Eyang Buyut yang serdadu KNIL, tentang Bagelen, tentang Bagus Kendo dan lainnya. Kami memanggilnya Mbah Sihir. Imajinasiku selalu membayangkan, bedil Mbah Sireng menembaki para pemberontak yang ingin merdeka. Aku tidak menganggapnya jahat, meski tidak juga membenarkannya. Karena itu tugasnya sebagai serdadu kompeni. Itu pilihan hidupnya. Jika dia datang ke suatu daerah dengan bedilnya danpanji-panji negara di zamannya. Aku hanya perlu membawa buku. Entah ke Nias, Aceh, Sulawesi, atau ke tempat lainnya. Aku harus bawa buku saja. Ya kami, Mbah Sireng dan aku, hidup di zaman berbeda. Juga dengan pilihan dan  jalan berbeda pula. Diam-diam aku bangga padanya sebagai orang yang berpindah-pindah tempat. Rasanya, darah backpacker dalam diriku datang darinya. Sesekali aku selalu berceloteh, "aku anak KNIL" dan kenalanku tertawa. Dia adalah serdadu KNIL tulen berpangkat spandrig. Sebagai cicitnya, saya hanya pemerhati sejarah militer yang sering bicara dan menulis tentang KNIL. Beberapa orang bilang saya adalah sejarawan KNIL. KNIL menjadi penghubung saya dengan Eyang buyut saya. Tulisan ini hanya sejarah kecil tentang orang kecil, dalam hal ini Eyang buyut saya. Kita punya sejarah keluarga kita sendiri. Dan tidak jarang itu menarik bagi kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun