Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bekas Vaandrig Itu

4 Januari 2011   08:43 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:58 1954
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1294130525406943752

Mereka bekas serdadu kolonial berpengalaman. Namun revolusi memecah mereka. Dan revolusi juga buat mereka kecewa. Potret Urip Sumoharjo semasa di tentara Republik KNIL punya banyak vaandrig, alias perwira muda rendahan. Banyak diantaranya melampaui pangkat diatasnya. Banyak yang bilang, keberadaan perwira pribumi dalam KNIL adalah keterpaksaan. Karena butuh banyak perwira lapangan. Pangkat tertinggi perwira pribumi yang bertugas di pasukan umumnya mayor. Namun ada juga yang menjadi Letnan Kolonel namun di kesehatan.[1] Bekas perwira KNIL pribumi, berdasarkan berita radio tanggal 9 Maret 1942 KNIL telah dibubarkan dan seluruh prajurit KNIL tidak lagi terikat dengan sumpah setia Ratu Belanda Perwira macam ini pastinya mengalami masa pahit pendudukan Jepang yang membuat mereka dendam. Bagaimana tidak, pendudukan Jepang memberi perlakuan khusus kepada bekas perwira KNIL yang tentu saja tidak diberi kesempatan untuk berkarir sebagai perwira militer dalam PETA-karena paham profesionalisme KNIL sebagai militer dengan pengaruh barat. Dimasa pendudukan Jepang Suriosentoso juga diawasi Jepang meskipun kerap berhubungan dengan kelompok bawah tanah Syahrir.[2] Pasca Proklamasi Sukarno Hatta, sebagian bekas perwira KNIL itu mendukung gerakan kemerdekaan republik Indonesia. Mereka berdiri dibelakangnya dan siap melaksanakan apa yang dimintah pemerintah baru, Republik Indonesia. Didi Kartasasmita, salah satuy dari bekas perwira KNIL itu, ikut menentukan keberpihakan bekas perwira KNIL pada republik baru. Dikalangan bekas perwira KNIL sendiri paling dominan dalam TNI adalah KNIL angkatan-angkatan terakhir macam Nasution setelah kelompok perwira tua tersingkir satu persatu dari tentara baru itu. Didi adalah lulusan KMA Breda tahun 1938 dan menjadi perwira KNIL sampai PD II meletus dan akhirnya diinternir Jepang. Sebagai dukungannya pada Republik, Didi mencari para bekas KNIL yang tersebar di Jawa Barat dan Jawa Tengah untuk mengumpulkan tanda tangan untuk mendukung pernyataan yang dibuatnya bersama Soedibyo dan Samidjo.[3] Di lain tempat, ada beberapa eks perwira KNIL yang ikut KNIL lagi. Ketika KNIL dibangun kembali beberapa mantan perwira KNIL seperti Mayor Surio Sentoso, Kapten Kavaleri Suryobroto, Mayor Sugondo, Letnan Satu Hamid Algadrie bergabung kembali dengan KNIL. Beberapa mantan KNIL bahkan sudah diculik untuk berabung kembali dalam KNIL.[4] Terdapat juga nama Poerbo Soemitro (kelahiran tahun 1915). Dia menjadi Letnan II sejak 1939, pastinya mengalami ikut berperang melawan Jepang sebelum kapitulasi Kalijati.[5] Diawal kemerdekaan, Poerbo Soemtro yang ditemui Didi Kartasasmita ketika memgumpulkan petisi bekas perwira KNIL untuk mendukung kemerdekaan RI, mendukung isi petisi itu. Belakangan, Poerbo Soemitro justru menyeberang kepada tentara Belanda. Bersama istrinya Poerbo Soemitro mengikuti tentara Belanda yang kembali ke Negeri Belanda.[6] Sultan Hamid Alqadrie II sebagai perwira KNIL yang mengalami masa interniran setelah kalah dalam pertempuran di Balikpapan, juga pembunuhan Tentara Jepang terhadap ayahnya yang Sultan Pontianak dan anggota keluarganya yang lain, setidaknya membuat Hamid membenci kekejaman fasisme Jepang.[7] Pemerintahan RI yang baru dengan formasi Sukarno dan Hatta, yang terlanjur dicap sebagai kolaborator fasisme Jepang bahkan juga penjahat perang dimata sekutu, tentu saja tidak menarik simpati sama sekali dari Hamid. Sukarno dan Hatta yang identik dengan Jepang dan cukup mengundang antipati dari sekutu, dimata Hamid bukanlah sosok yang layak dihormati sebagai pemimpin negara baru. Inilah mengapa kemudian Sultan Hamid II terlibat dengan Belanda dalam BFO yang berusaha memperlemah posisi RI.[8] Hamid adalah lulusan KMA Breda juga.[9] Dia cukup lama jadi Letnan KNIL. Dan pernah alami sebuah diskriminasi rasial juga. SROI yang didirikan atas prakarsa Sultan Hamid II itu untuk mencetak perwira tentara federal BFO itu.[10] Dari latar belakang Hamid dapat diramalkan bagaimana arah sekolah perwira itu. Model perwira itu bisa saja sama dengan para lulusan KMA Breda. Tentara BFO itu juga tidak jauh dari model militer KNIL. Kolonel Sugondo juga mantan KNIL yang kecewa dengan keadaan. Menurut Hamid beberapa perwira yang kemudian gabung dengan APRIS mengeluh. Menurut Hamid "Perwira-perwira itu, di Kementrian Pertahanan hanya doiberi meja saja dengan tidak diberi komando" oleh petingg APRIS.[11] Kolonel Soegondo sebenarnya sudah dinyatakan pensiun tahun 1939.[12] bekas perwira KNIL pribumi yang berpihak pada Belanda selama revolusi kemerdekaan umumnya telah berpangkat perwira menangah, sudah mayor, sebelum PD II berlangsung. Satu persatu mantan Perwira KNIL seperti Urip Sumoharjo menghilang daari markas Besar TKR dan Didi Kartasasmita lalu mengundurkan diri dan hidup di Pariangan karena merasa tidak lagi diterima dalam Markas Besar Tentara Keamanan Rakyat. Usia tua membuat Oerip harus mundur dari pertarungan antar kepentingan dalam Markas Besar TKR. Perannya untuk TKR dianggapnya sudah cukup dalam pendirian Markas Besar TKR di Jogjakarta. Organisasi Tentara pun sudah dia rancang. Sebagai sosok yang tidak ambisius, dirinya merasa lebih baik mundur dan jalani hari tuanya dengan tenang. Markas Besar TKR hanya menyisakan beberapa mantan perwira KNIL yang lebih muda. Suryadarma dan Didi Kartasasmita lalu digolongkan sebagai orang tua setelah kepergian Urip dari dinas militer. Perwira lain adalah perwira mantan KNIL muda seperti Nasution dan Simatupang. Meski muda, mereka cukup brilyan dalam TKR, meski juga tidak disenangi. Nasution adalah satu-satunya mantan perwira KNIL yang bisa mencapai jabatan tertinggi dalam Ketentaraan, sebagai KSAD lalu menjadi Panglima Tertinggi Angkatan Perang dalam kurun waktu yang cukup lama dan berliku karena ditentang banyak perwira mantan PETA.[13] Didi, mengaku berberat hati, menulis surat pengunduran dirinya pada Presiden tanggal 20 april 1947. Surat itu tidaklah berbalas dengan pengabulan dari pemerintah. Didi tetap saja diberi posisi tidak strategis di ketentaraan selama setahun lebih. Akhirnya, pada 31 Juni 1948, Didi resmi tidak berhubungan dengan tentara republic yang pernah dia bangun. Pasca pengunduran dirinya Didi kembali ke Jawa barat. Dalam perjalanan, Didi dibawa tentara Belanda yang menangkapnya ke Purwokerto. Dari Purwokerto Didi dibawa ke Semarang. Dan terbang dari lapangan udara Jatingaleh ke Jakarta. Didi kemudian menetap di Bandung. Dimana Didi dibujuk untuk jadi komandan Veilligheids Bataljon Negara Pasundan. Namun Didi lebih memilih bekerja di dinas kesehatan Negara Pasundan saja.[14] Disbanding, Sultan Hamid II, Soeriasentoso dan lainnya, Didi jauh dari klaim pengkhianat Indonesia. Meski kecewa setidaknya Didi pernah membangun tentara republik di awal kemerdekaan. Mengapa Didi masuk ke daerah pendudukan Belanda? Mungkin adalah salah satu bentuk kekecewaannya pada tentara republik yang pernah dibangunnya bersama Urip Sumoharjo. Rupanya tidak hanya Didi saja yang keluar, mantan perwira KNIL lain yang keluar dari tentara republik adalah Kolonel Samidjo dan Jenderal Mayor Soedibyo.[15] Mereka tampaknya juga kecewa. Mereka semua, mulai dari Hamid, Soegondo, hingga Didi adalah orang potensial yang kecewa pada keadaan. Ada yang kecewa dengan Negara baru yang dipimpin kolaborator Jepang, Sukarno-Hatta. Ada yang kecewa dengan sekelompok perwira bekas didikan Jepang yang dominan di ketentaraan. Dan lainnya. Hingga mereka mau bekerja sama dengan musuh. Hal yang manusiawi. [1] Harsya Bachtiar, Siapa Dia?Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Jakarta, Djambatan, 1988, hlm. 4-5. [2] George McTurnan Kahin, Nationalism and Revolution In Indonesian, ab. Nin Bakdi Soemanto, Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik: Nasionalisme dan Revolusi Indonesia, tanpa kota, UNS Press & Pustaka Sinar Harapan, 1995, hlm. 432-434. [3] Rosihan Anwar, Sejarah Kecil "La Petit Histoire" Indonesia, Jakarta: Kompas, 2004, hlm. 251-253. [4] Abdul Haris Nasution, Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid II, Bandung, Angkasa dan Disjarahad, 1977, hlm. 215. [5] Harsya Bachtiar, Siapa Dia?Perwira Tinggi Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat, Jakarta, Djambatan, 1988, hlm. 4. [6] Didi Kartasasmita bertemu kembali dengan Poerbosoemitro pada perayaan 150 tahun berdirinya KMA Breda tahun 1978 di Negeri Belanda. Poerbo Soemitro, seperti pengakuan Didi, pernah menjadi perwira KL di Suriname dan mencapai pangkat yang cukup tinggi dalam KL. (Tatang Sumarsono, Didi Kartasasmita: Pengabdian Untuk Republik, Jakarta, Pustaka Jaya, 1995, hlm. 114.) [7] Sultan Hamid II sendiri beristrikan wanita Belanda. Dikalangan orang-orang Eropa, Sultan Hamid biasa dipanggil, dengan nama Eropa, Max. [8] Hamid melihat peluang berdirinya sebuah pemerintahan lain non RI diluar Jawa melalui BFO-nya. Pandangan buruk dari orang-orang pro republik kapada Hamid semakin kentara sekali ketika terjadi Kudeta 23 Januari yang digerakan Westerling. Disini Hamid, seperti banyak dituduhkan dan diakuinya sendiri, jelas terlibat bahkan menjadi otak atas peristiwa yang rencananya akan membunuh beberapa pejabat dan melukai Hamid sendiri. [9] Buku Kenang-Kenangan Alumni KMA Breda. Yayasan Wira Bakti. Tanpa kota dan tahun. Hlm. 82 [10]Ibid. [11] Persatuan Djaksa-djaksa Seluruh Indonesia, Peristiwa Sultan Hamid II, Jakarta, Fasco Jakarta, 1955, hlm. 156. [12] Harsya bachtiar, Siapa Dia Perwira Tinggi TNI AD, Jakarta, Djambatan, 1988, hlm. 5. [13] Ulf Sundhaussen, Road to Power: Indonesian Army, ab. Hasan Basary, Politik Militer Indonesia 1945-1967, Jakarta, LP3ES, 1982., hlm. 70. [14] Tatang Sumarsono, Didi kartasasmita: Pengabdian bagi Kemerdekaan, Jakarta, Dunia Pustaka Jaya, 1993, hlm. 210, 238-256 [15] Ibid., hlm. 223.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun