Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tjeritera dari Penggepeng

13 Desember 2010   03:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:46 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tersebutlah seorang botjah bernama Tjipto. Tjukup Broken Home didjamannja. Ajahnja djadi kriminil lantaran tjuri duit dari sebuah onderneming (Perkebunan, Belanda). Ibunja pun kawin lagi dengan orang Madura. Tjipto jang awalnja sekolah di Europe Leger School (ELS)--jang elite itu--lalu pindah ke sekolah jang lebih rendah drajatnja. Ajah tiri Tjipto tjukup kedjam djuga padanja. Hingga kelujuran djadi djurus mudjarab biar tidak ketemu dia punja ajah tiri jang galak itu.

Tjipto tinggal di Situbondo kala itu. Kemungkinan tidak djauh dari Kampung Panjie jang luas itu. Situbondo banjak dihuni orang-orang berbahasa Medura. Ja, mereka itu memang orang Medura pastinja. Seperti djuga ajah Tjipto jang tiada tara galaknja itu.

Bukan botjah djika tidak suka kelajapan. Tjipto suka kelajapanan pastinja. Tjipto punja perdjalanan heibat. Suatu hari. djika tidak salah masih diawal abad lalu, abad XX. Sekitar 90 taun silam rasanja. Tjipto berdjalan menudju sebuah bukit. Orang biasa sebut itu Bukit Ulama. Dengan smangat botjah-nja Tjipto susuri djalan jang pastinja tidak semulus djaman kita sekarang. Kemungkinan, Tjipto mulai perjalannja tidak lama sehabis petang.

Langkah botjah seusia Tjipto biasanja ketjil. Dan tidak bisa tjepat sepertinja. Dia berdjalan bersama prempuan-prempuan dewasa. Prempuan-prempuan itu djuga aken menudju itu bukit. Mereka bawa sadjen. Mereka, para prempuan itu tentu akan djiarah kubur. Bersama prempuan-prempuan itu, Tjipto berdjalan slama satu djam. Setelah bersusah pajah, tibalah mereka di sebuah bukit. Itulah jang di sebut orang djaman itu sebagai Bukit Ulama.Tempat dimana orang biasa minta berkah kehidupan.

Setiba disana, Tjipto disidik sama pendjaga makam. Laiknja seorang orang asing mentjurigakan. Pendjaga makam mungkin merasa aneh dengan botjah Tjipto ini. Mengapa kelujuran ke makam jang agak djauh dari kampung itu? Malam-malam pula. Rupanja si pendjaga makam tidak ambil pusing djuga akhirnja. Dan Tjipto pun bebas kelujuran disitu.

Tjipto menjaksikan pemandangan bagus disitu. Dia tidak tjuma liat makam--jang rupanja makam Panji Anom Prangkusumo--jang dianggep makam pendiri kampung Panjie itu. Ketika Tjipto menghadap arah barat daja, Tjipto liat gemerlapnja Situbondo di kala malam.

Soal Panji Anom Prangkusumo, ada jang sebut ini orang adik dari Djoko dari Medura. Kemungkinan besar, Panji Anom dari Medura djuga. Dia pendiri kampung Panjie di Situbondo.Tidak banjak tjatetan tentang Panji Anom. Panji Anom beserta keluarganja memang dimakamkan di makam itu djuga.

Meski bukan perdjalanan pandjang, tapi ini perdjalanan tjukup heibat untuk anak seumur Tjipto. Mungkin kala itu, Tjipto baru berumur 11 taun. Usia dimana dia sudah bisa batja tulis. Diantara orang bumiputra, dia tentu tergolong pintar djuga.Bagi botjah seperti Tjipto pemandangan Situbondo kala itu begitu heibat karena dia belum banjak jelajahi kota lain.

Tjipto kemudian bikin cerita soal perdjalanan hebatnja itu. Dalam sebuah naskah. Ben Anderson mengetahui naskah itu. Dan memang menarik mendengar apalagi membatja ceritera Tjipto itu. Menurut Ben, kisah masa ketjil jang dimasukan dalam sebuah memoar 90 taun silam adalah hal langka di Hindia Belanda. Kemungkinan Tjipto orang Bumiputra jang pertama kali melakukannja.

Beruntung Tjipto pernah bercerita pada kita tentang Bukit Ulama. Saat ini tidak seorang pun di Situbondo jang mengerti ada tempat jang bernama Bukit Ulama. Mereka hanja mengerti Penggepeng. Sebuah bukit dimana masih tersisa sebuah makam kuno. Makam jang sama sekali tidak berbau Islam. Meski dulu itu disebut Bukit Ulama.

Tidak sulit menemukannja. Djika anda di Situbondo, silahkan pergi ke Panjie lalu tanja dimana Penggepeng. Maka orang aken menundjukan sebuah bukit. Dimana berdiri tiang sutet. Nah makam itu disebelah tiang sutet itu. Nama makam itu berbau Madura memang. Penggepeng.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun