Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jejak Penangsang van Jipang

4 Oktober 2010   10:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:44 2917
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Beberapa ceritera mengambarkan Aria Penangsang sebagai sosok jahat. Dan musuh-musuhnya yang gila kuasa adalah orang-orang baik. Begitulah sejarah diputar.

Begawan Sore masih kencang. Deras menuju laut. Motor kami meluncur diatas lumpur. Tibalah kami di desa Jipang. Pikiran kami melayang pada Aria Penangsang si pemberontak legendartis itu. Bengawan Sore adalah saksi bisu hidup dari Aria Penansan yang malang itu.

Berdasar catatanku, ini tempat Aria Penangsang berkuasa sebagai Adipati Jipang—yang wilayahnya meliputi sekitar Blora dan Bojonegoro. Padi terhampar luas, tanahnya subur—seperti dalam lirik lagu Darah Juang, ” Negeri kami subur Tuhan”.

Tidak jauh dari tepian Bengawan Sore, ada reruntuhan istana kadipaten Jipang. Nyaris tak terlihat. Tapi disini memang ada kehidupan, waktu zaman dulu—ketika darah tertentu saja yang jadi pemimpin. Istana itu diruntuhkan tanpa bekas oleh penguasa asing lalim lantaran penguasa lokal Jipang tidak mau bekerjasama dengan penguasa lalim tadi. Setidaknya, begitu kata Eko Prasetyo—pemuda peduli desa yang menjadi Modin di Desa Jipang.

Desa Jipang? Ya, Jipang bukan lagi sebuah kadipaten seperti zaman Aria Penangsang, Jipang kini hanya nama desa tempat Eko Prasetyo tumbuh. Jipang kini hanya bagian dari distrik Cepu, Blora. Eko, selaku Modin, berusaha menjaga komplek makam umum—dimana beberapa petingi Jipang bersemayam di pemakaman desa itu.

Siapa Aria Penangsang? Kita akan menemukan Aria Penangsang di buku-buku teks sejarah sekolah yang isinya seperti cerita sintron yang klise. Dimana selalu ada tokoh antogonis—yang harus dimusuhi oleh para penontonnya. Antagonis, begitulah Aria Penangsang diposisikan sebagai tokoh antagonis—yang dilaknat sejarah karena berontak pada Kerajaan Demak, yang dianggap penting oleh orang-orang Islam Jawa.

Demak dianggap mulia, begitupun penguasanya—yang mungkin juga sepenuhnya dianggap alim seperti tokoh protogonis dalam sinetron. Rasanya tidak adil jika kita beranggapan seperti itu. Aria Penangsang pun bukan orang yang sepenuhnya jahat. Pendekar berdarah panas ini adalah murid Sunan Kudus—salah seorang walisanga.

Mengapa Aria Penangsang berontak? Rasanya ini yang harus diketahui, termasuk oleh anak sekolah. Raden Fattah punya 3 anak: Adipati Unus, Seda Lepen dan Trenggana. Setelah Raden Fattah wafat maka Adipati Unus berkuasa. Ketika Adipati Unus, penguasa Demak setelah Raden Fattah wafat tanpa keturunan, Trenggana lalu naik tahta. Seharusnya, Seda Lepenlah yang lebih berhak awalnya berdasar urutan kelahiran dari putra-putra Raden Fattah.

Awal bekuasanya Trenggana, tidak ada perlawanan keras dari pihak Seda Lepen. Setelah kematian Trenggana, tahta pun harus berganti pemilik. Pertumpahan darah dimulai. Seda Lepen—orang yang seharusnya menjadi raja Demak—pun dibunuh sepulang dari shalat Jum’at atas kemauan Prawata, putra Trenggana yanga nampak ambisus.

Kematian Seda Lepen, tentu saja membakar amarah Aria Penangsang. Dimana Aria Penangsang menuntut balas pada saudara sepupunya yang kejam pada ayahnya hanya karena tahta. Selain menuntut balas kematian ayahnya, Penangsang juga menuntut tahta Demak. Aria Penangsang pun berontak pada Demak. Akhirnya, Prawata terbunuh juga oleh orang suruhan Penangsang. Begitu juga Pangeran Hadiri, suami Kalinyamat—putri dari Trenggana. ”Pembalasan memang lebih kejam” bukanlah sebuah omong kosong.

Singkat kata, Demak pun terpecah. Ada Pajang, yang dikuasai Jaka Tingkir yang licin dan Jipang yang dikuasai Penangsang sendiri. Semua bersaing demi bekas tahta Demak yang hancur. Dua penguasa itu bunuh-bunuhan, hingga muncul satu pemenang.

Beruntung saja, Jaka Tingkir punya sekutu macam Ki Ageng Pemanahan beserta kawan dan pengikutnya. Dimana Aria Penangsang yang mudah panas hati terpancing untuk bertarung melawan pengikut Ki Ageng Pemanahan. Dalam sebuah pertarungan tidak seimbang, Aria Penangsang yang dikeroyok, berhasil dilukai oleh Sutawijaya—Penembahan Senapati yang kelak mendirikan dinasti penguasa Mataram Islam—dengan tombak keramat Ki Plered-nya.


Pelan-pelan Aria Penangsang pun meninggal. Jipang pun meredup dari Sejarah Jawa, meski berusaha menentang penguasa asing termasuk VOC atau Hindia Belanda. Hingga Jipang hanya menjadi nama desa. Ini adalah resiko dari tidak mau berkompromi dengan penguasa yang lebih kuat. Ini bukan kebodohan, melainkan keberanian yang layak diapresiasi. Aria Penangsang layak menjadi tokoh Cepu atau Blora, dalam sejarah tidak ada pahlawan atau pengkhianat—seperti politisasi yang dimau oleh penguasa—melainkan pengukir sejarah saja.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun