Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

I.J. Kasimo: Orang Katolik dalam Pergerakan Nasional

7 September 2010   07:59 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:23 2847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Anggota Volksraad ini selalu membela kepentingan pribumi Nusantara tanpa kecuali. Dia membela semua pribumi, termasuk mayoritas kendati dia adalah minoritas agama yang dianut orang pribumi nusantara.

Terlahir disebuah kota feodal, Yogyakarta pada 10 April 1900. Kasimo berasal dari jaringan keluarga feodal rendahan kraton. Ayahnya, Ronosentiko—seorang prajurit kraton, Mantrijeron. Kasimo terlahir dari rahim Dalikem. Sebagai prajurit kraton, Ronosentiko memiliki kedudukan terhormat. Kendati demikian, dari kraton Ronosentiko tidak menerima gaji sepeserpun kecuali tanah 2 jung—setara dengan delapan bau—sebagai jasanya kepada kraton. Sejak kecil dirinya sudah mulai bekerja keras—dia mulai bertanggungjawab kepada adik-adiknya—dia rajin membantu ibunya mengerjakan pekerjaan rumah. 

Kedudukan keluarganya yang bukan tergolong orang susah, memungkinkannya untuk bersekolah kendati hanya di Tweede Inlandsche School (Sekolah Ongko Loro) di Kampung Gading; tidak jauh dari rumahnya. Sekolah bumiputra ini biasa dikenal sebagaiSekolah Setalenen. Waktu itu biaya sekolah disitu hanya25 sen atau setali uang. Usianya baru 8 tahun ketika memasuki sekolah itu. Kawan-kawannya sekelasnya berusia lebih tua darinya. Sekolah menjadi hal menarik bagi Kasimo kecil—dia memiliki banyak teman disekolah. Menyesuaikan diri dalam pergaulan di sekolah bukan hal sulit baginya—sifat egalitarian-nya mulai tumbuh—karena dirinya merasa dia adalah anak dari keluarga sederhana kendati ayahnya orang terpandang.  Kasimo tidak terlahir dalam keluargga Katolik kendati dia akhirnya menjadi Katolik dan juga mewakili orang-orang Katolik dalam perjuangannya.

Menjadi Seorang Katolik

Suatu ketika—sebelum liburan puasa tahun 1912—Sekolah Ongko Loro kampung Gadingkedatangan Romo Frans van Lith. Saat itu Kasimo duduk dikelas IV. Romo van Lith datang dengan dandanan parlente.  Romo van Lith—seorang kepala Kweekschool atau sekolah guru Muntilan—sedang mencari murid untuk sekolahnya yang sepi kekurangan murid. Kweekschool Muntilanasuhan van Lith adalah Kweekschool swasta pertama yang diakui pemerintah kolonial Belanda. Setiap tahun sang Romo selalu mengadakan kunjungan ke sekolah-sekolah yang ada di Yogyakarta, Surakarta, Magelang dan Klaten untuk mencari murid.

Kasimo merasa tertarik dengan ajakan sang romo kepada murid-murid Sekolah Ongko Loro untuk belajar di Kweekschool-nya. Tidak ada rencana bagi kasimo setelah lulus dari Sekolah Ongko Loro. Ia sempat dihadapkan beberapa pilihan mulai menjadi prajurit kraton seperti ayahnya; punakawan di kraton, dia tidak tertarik. Berdiam dirumah juga bukan hal baik baginya. Diusianya yang baru 12 tahun itu, Kasimo mengambil keputusan yang paling menentukan dalam hidupnya: belajar di Kweekschool Muntilan.

Sebelumnya dia berbicara terlebih dahulu dengan ayahnya. Ronosentiko yang berpikiran maju lalu mengijinkan putranya, kendati putranya sekolah di sekolah katolik, padahal waktu itu rasa curiga penduduk kepada missi dan zending cukup kuat. TujuanKasimo awalnya hanya ingin sekolah dan bukan menjadi seorang katolik. 

Setelah lulus Sekolah Ongko Loro, Kasimo pergi ke Muntilan menanggapi tawaran Van Lith untuk sekolah di KweekschoolMuntilan. Tidak ada diskriminatif di Kweekschool Muntilan. Diawal-awal sekolahnya kasimo harus menjalani masa beradaptasi sebagai siswa baru, semuanya teratasi perlahan setelah bertemu dua kawannya di Sekolah Ongko Loro Kampung Gading dulu. Kasimoperlahan terbiasa dengan kehidupan asrama yang disiplin. Suatu ketika Kasimo minta diberikan pelajaran agama Katolik kepada pihak sekolah. Kasimo mulai tertarik dengan ajaran katolik karena tertarik dengan tingkah laku yang baik, sopan dan saleh siswa-siswaKweekschool Muntilan. Kendati berusia diatas 13 tahun, mereka tidak pernah mengeluarkan kata-kata kotor dan tidak senonoh.Kasimo mulai serius belajar agama Katolik langsung pada Romo van Lith. Pada perayaan paskah bulan April 1913, Kasimomemperoleh nama baptis-nya Ignatius Joseph. Nama lengkapnya-pun berubah menjadi Ignatius Joseph Kasimo, nama yang terus disandangnya. 

Kasimo meninggal Kweekschool Muntilan diakhir kelas V tanpa meraih ijazah. Pelajaran umum di kelas V Kweekschool sudah dianggap cukup, karena di kelas VI lebih banyak praktek mengajar saja. Walau begitu jebolan kelas V Kweekschool yang tidak ingin menjadi guru bolah melanjutkan ke Middelbare Landbouw School (sekolah Pertanian Menengah disingkat MLS).

Kasimo termasuk yang tidak ingin menjadi guru, karenanya dia kemudian pada tahun 1918 memilih belajar pertanian di MLS Bogor. MLS Bogor dibagi menjadi 2 jurusan: Pertanian dan Kedokteran Hewan. Kasimo memiliki Pertanian karena kakek neneknya seorang petani, dunia pertanian tidak asing baginya. Lama pendidikan disini 3 tahun, setelah lulus siswa disini ditarik menjadi pegawai perkebuan pemerintah. Sebagai siswa ikatan dinas Kasimo menerima beasiswa pemerintah kolonial tiap bulan sebesar f 35 dikelas I; f 40 dikelas II; dan f 45 di kelas III. Di Bogor, Kasimo dan beberapa temannya menyewa sebuah rumah tua yang sempit untuk 14 anak untuk dijadikan asrama. 

Kasimo pernah membaca Katholieke Maatschappijleer (ajaran sosial katolik) karangan Imam Karmelit, Dr Llovera yang diterjemahkan oleh Dr Drieschen. Dalam buku mengutip Ferari dalam Il Papolo yang menyatakan: " setiap bangsa mempunyai hak untuk mencapai kemerdekaandan persatuan." Buku hadiah Romo L. Von Rijkevorsel ini memberi inspirasi besar bagi Kasimo.

DiSemasa di Bogor ini bergabung dengan Tri Koro Darmo, kemudian berganti menjadi Jong Java. Selain itu, Kasimopernah menjadi ketua perkumpulan siswa MLS, Ceres. Di Bogor Kasimo banyak berinteraksi dengan banyak orang yang berasal dari berbagai daerah. 

Selesai belajar di MLS Bogor pada pertengahan 1921, Kasimo kemudian bekerja di kantor pemerintah dengan jabatan Aspirant Landbouw Consultant, dengan gaji pertamanya f 100 perbulan. Pos pertamanya adalah perkebunan karet milik negara Merbuh, kabupatenKendal.Diperkebunan ini bersama mandor-mandor orang-orang Belanda bertugas mengawasi kerja buruh-buruh pribumi.Kasimo memiliki citra yang baik dimata buruh. Sayangnya hubungan yang erat dengan buruh inilah dirinya hanya bekerja sebentar di Merbuh. Masalahnya bermula ketika Kasimo menerima buruh yang dipecat di bagian lain. Sebenarnya ada peringatan dari orang-orang Belanda di Jawatannya untuk melarang bekerjanya pegawai tadi, tapi peringatan itu dtidak diberitahukan langsung kepada Kasimo, jadi Kasimo berani mempertahankan buruh yang dipecat itu. Suatu ketika kasimo dipanggil pimpinan tertinggi perkebunan, Kasimodimaki-maki oleh atasannya, dia dituduh merusak ketertiban umum dan suasana kerja. Kasimo juga dikatakan apejongen (anak kera). Mendengar itu Kasimo marah dan berkata: "U bent zelf een aap!" (tuan berarti seekor kera). Pimpinan perkebunan menjadi semakin marah karena belum ada seorang Inlander (pribumi) yang pernah berani menghinany seperti Kasimo.

Insiden tadi berbuntut dengan dipersalahkannya Kasimo hingga dirinya dipindahkan menjadi guru sekolah pertanian di Tegalgondo, Klaten. Kepala Sekolahnya adalah kakak kelasnya di MLS Bogor, Suwardi. Kasimo tetap hidup mapan dengan gaji f 100 sebulan. 

Karir Politik Kasimo

Pada suatu hari di bulan Agustus 1923, disebuah ruang kelas sekolah Missi di Yogyakarta; sekitar 30 alumni KweekschoolMuntilan. Dalam karangannya Kegiatan-kegiatan Golongan Katolik Indonesia dibidang Politik (1964),Kasimo melukiskan:

"Usia mereka itu semuanya antara 20-30 tahun. Mereka adalah pemuda-pemuda Jawa biasa saja, berasal dari keluarga-keluarga biasa pula. Mereka tahu dan insyaf bahwa kedudukan mereka dikalangan masyarakat tidak dapat dipandang tinggi. Kecuali itu mereka juga tahu bahwa jumlah orang Katolik Jawa waktu itu belum, masih belum 10.000 orang. Meskipun demikian, dalam pertemuan tersebut mereka dengan berani mengambil keputusan untuk mendirikan partai politik untuk golongan Katolik Jawa sendiri, disamping Indische Katholieke Partij yang sudah ada tetapi 100% anggotanya adalah terdiri dari orang-orang Katolik Belanda." 

Usia kasimo saat itu baru 23 tahun. Baru dua tahun lulus dari MLS Bogor dan masih bekerja sebagai guru di sekolah pertanian Tegalgondo. Panitia persiapan pembentukan partai katolik sendiri sudah terbentuk sejak 1922. terlebih dahulu mereka mempersiapkan dahulu masyarakat katolik Jawa. Dalam setiap pertemuan gunakan untuk mematangkan gagasan pendirian Partai Katolik, kendati mendapat tanggapan yang tidak menggembirakan. Hal ini karena adanya Indische Katholieke Partij (IKP)dan diantara orang Katolik pribumi ada keinginan bergabung dengan partai tersebut.

Pemuda-pemuda Katolik tadi berpandangan bahwa IKP arah politiknya lebih cenderung pro terhadap pemerintah kolonial. Sebuah partai baru kemudian lahir dengan nama Katholieke Vereeneging voor Politieke Actie Afdeling Katholieke Javanen(Perkumpulan Katolik Untuk Aksi Politik Orang-orang Jawa Katolik). Orang-orang Jawa dengan nama Perkoempoelan Politik Katolik Djawi (PPKD). Awalnya partai ini berafiliasi dengan IKP. Partai ini didirikan Kasimo dan kawan-kawannya.

Bersama F.S . Harjadi (mantan ketua Boedi Oetomo cabang Klaten)sebagai ketua; Raden Jakob Soejadi sebagai sekretaris; dan Kasimo sebagai sekretaris PPKD, mereka merumuskan pedoman pokok PPKD: aksi PPKD adalah dilapangan politik dengan politik beazas-azas Katolik; aksi bersifat permulaan Nasionalis Jawa, lalu Nasional Indonesia; haluan PPKD harus evolusioner, artinya menurut jalan teratur, dan selalu tanggap pada situasi yang terjadi. 

Dalam rapat tahunan 1924, Kasimo terpilih sebagai ketua PPKD. Jabatan ini dipegang sampai tahun 1960. Sejak 22 Februari 1925 PPKD yang semula berafiliasi dengan IKP berdiri sendiri sebagai partai politik. Pada tahun 1930, diputuskan Perkoempoelan Politik Katolik Djawa berubah nama menjadi Perkoempoelan Politik Katolik Indonesia(PPKI) . Semula hanya di Jawa Tengah saja, kemudian memiliki cabang-cabang di jakarta, Medan dan Makassar.

Semula PPKD dengan embel-embel kata Djawa-nya terasa keanggotaan partai hanya sebats orang-orang katolik Jawa saja. Perubahan nama menjadi PPKI memungkinkan partai Kasimo berkembang dengan menerima anggota non Jawa. Akar kesukuan dalam partai katolik pimpinan Kasimo ini perlahan memudar. 

Dalam rangka menjalankan prinsip "haluan perubahan yang evolusioner," Kasimo berusaha memperjuangkan perjuangan bangsa Indonesia melalui Volksraad (Dewan Rakyat). Jakob Soejadi adalah tokoh katolik yang pernah duduk di Volksraad dari tahun 1924-1927. Pada bulan Juli 1931, Kasimo terpilih untuk duduk di Volksraad. Komunitas pribumi dalam Volksraad sangat heterogen karena terdiri dari suku-suku dan agama-agama yang berbeda. Walau begitu mereka kadang dipersatukan dalam cita-cita memperjuangkan hak rakyat Indonesia. Mereka berusaha memprioritaskan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara untuk kepentingan pribumi, kendati sering kali gagal. 

Banyak kaum pergerakan yang beranggapan tentang Volksraad. Tidak selamanya Volksraad menjadi boneka pemerintah kolonial. Nyatanya Husni Thamrin sangat konsisten membela kepentingan pribumi miskin. Thamrin bahkan tampil sebagai anggotaVolksraad paling keras bereaksi terhadap kebijakan kolonial bahkan konsisten menuntut Indonesia berparlemen. 

Di Volksraad terdapat kelompok radikal yang berani menentang kebijakan pemerintah kolonial. Selain Thamrin terdapat: Sam Ratulangi, Soetardjo Kertohadikoesoemo, Soesanto Tirtoprodjo, Soekardjo Wirjopranoto. Mereka berusaha mengadakan perombakan sistem kenegaraan, politik, ekonomi dan sosial dalam cara-cara yang tida bertentangan dengan hukum. 

Volksraad adalah jalan meraih semua cita-cita tadi. Beberapa anggota partainya juga diarahakan untuk duduk dibeberapa dewan perwakilan di kabupaten. Kasimo telah menduduki kursi Volksraad selama beberapa periode yaitu: 1931-1935 1935-1939; dan 1939-1943. Beberapa anggota partainya juga diarahakan untuk duduk dibeberapa dewan perwakilan di kabupaten. Dalam dewan tingkat kabupaten tersebut—dengan berdasar prinsip-prinsip katolik dan program kerja PPKI—diajukan beberapa tuntutan kepada pemerintah kolonial. Mulai dari desentralisasi pemerintahan; undang-undang sosial; peningkatan fasilitas dan kesehatan rakyat. 

Kasimo pernah menyampaikan tuntutannya mengenai perbaikan kehidupan rakyat pribumi dan tuntutannya ini semacam kebutuhan Nasional. Dalam sebuah pidatonya dalam sidang Volksraad tanggal 19 Juli 1932, Kasimo memaparkan:

"Tuan Ketua! Dengan ini saya menyatakan bahwa suku-suku bangsa Indonesia yang berada dibawah kekuasaan Negeri Belanda, menurut kodratnya mempunyai hak serta kewajiban untuk membina eksistensinya sendiri sebagai bangsa, dan karenanya berhak memperjuangkan pengaturan negara sendiri sebagai sarana untuk mencapai kesejahteraan abngsa sesuai dengan kebutuhan nasional, yaitu sesempurna mungkin Ini berarti bahwaNegeri Belanda sebagai negara berbudaya terpanggil untu ikut mengembangkan seluruh rakyat, dan khususnya sebagai negara penjajah, mempunyai kewajiban untuk membimbing dan merampungkan pendidikan rakyat, sehingga dengan demikian dapat dicapai kesejahteraan rakyat Indonesia, untuk kemudian dapat diberikan hak untuk mengatur dan akhirnya memerintah sendiri. 

Kata " memerintah sendiri" diakhir kutipan tadi hampir mirip denga petisi Soetadrjo yang arahnya adalah pemerintahan sendiri atas bangsa Indonesia secara bertahap. Petisi Soetardjo mulai diajukan pada tanggal 15 Juli 1936.

Kasimo telah mewakili orang-orang Katolik dalam memmperjuangkan Indonesia merdeka. Selain seorang katolik, dirinya juga telah menjadi seorang Indonesia sejati, berjiwa nasional dan dalam hal ketatanegaraan bercita-cita yang sama dengan kelompok lain.

Sebagai orang Katolik dalam pergerakan Nasional, Kasimo pernah merasakan bahwa agama Katolik dicap sebagai agama Belanda lantaran dianut oleh banyak orang-orang Belanda. Mengenai hal ini Kasimo berpendapat:

"...Agama Kristen-Katolik dipandang sebagai agama orang Belanda, agama kaum penjajah, sehingga orang Indonesia yang beragama Kristen-Katolik juga lalu dianggap berjiwa atau bersemangat Belanda atau penjajah..untuk..itu..dipandang perlu untuk mendirikan partai sendiri untuk orang-orang Katolik..." 

Menurut Kasimo, mengikuti aspirasi nasional tidaklah bertentangan dengan ajaran Katolik. Dalam pidato perdananya sebagai anggota Volksraad 13 Juli 1931 mengenai arti sebuah kemerdekaan bagi umat Katolik Indonesia yang dia wakili:

"...kami orang-orang Katolik Djawa bukanlah pengikut yang baik dari perintis besar Misi Jawa ini (Maksudnya Romo van Lith) jika kami tidak sependapat dengan dia serta pengarang-pengarang Katolik terkenal lainnyaseperti Cathrein dan Ferrari, mengenai prinsip kebangsaan, yaitu prinsip yang menyatakan bahwa setiap bangsa mempunyai hak untuk membntuk negara merdeka.."

Jelas sekali bahwa Kasimo adalah duta sekaligus suara umat Katolik Indonesia dalam pergerakan Nasional. Kendati dirinya wakil dari kaum Katolik namun dia sebenarnya mewakili kepentingan pribumi yang sedang dibelenggu oleh kekuasaan kolonial Belanda tanpa memandang kepercayaan dari orang-orang yang dibelanya, termasuk juga mayoritas umat Islam saat itu. Kasimo adalah wakil kaum minoritas Katolik yang berjuang untuk seluruh Indonesia.

Tim Wartawan Kompas dan Redaksi Penerbit Gramedia, I.J. Kasimo: Hidup dan Perjuangannya, Jakarta, Gramedia, 1980. h. 4.

Tashadi dkk, Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan, Jakarta, Dedikbud, 1993. h. 156.

Tim Wartawan Kompas dan Redaksi Penerbit Gramedia, I.J. Kasimo: Hidup dan Perjuangannya, h. 9.

Tashadi dkk, Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan, h. 161.

Tim Wartawan Kompas dan Redaksi Penerbit Gramedia, I.J. Kasimo: Hidup dan Perjuangannya, loc. cit .

Ibid.

Ibid., h. 9-10.

[8]Heri Siswanto, I.J. Kasimo dan Partai Katolik, Majalah Filsafat Driyarkara Tahun XXII nomor 3. h. 23.

Tashadi dkk, Tokoh-tokoh Pemikir Paham Kebangsaan, h. 160-161.

Tim Wartawan Kompas dan Redaksi Penerbit Gramedia, I.J. Kasimo: Hidup dan Perjuangannya, h. 15.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun