Mohon tunggu...
Petrik Matanasi
Petrik Matanasi Mohon Tunggu... -

Peziarah & Pemerhati Sejarah Nusantara. Asal Balikpapan. Kuliah sejarah 7 tahun di UNY Jogja. Kini tinggal Palembang. Bukan penulis handal, hanya saja suka menulis hal-hal yang humanis. Apapun yang saya tulis atau ucap, sulit sekali bagi saya untuk tidak Historis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Thamrin Muhamad Thabrie: Pembuka Jalan Husni Thamrin

4 September 2010   08:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:27 1505
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sejarah pergerakan nyaris tidak mengenal Thamrin Muhamad Thabrie, sejarah pergerakan lebih sering mencatat nama Muhamad Husni Thamrin. Thamrin Muhamad Thabrie, adalah sosok ayah yang memberi jalan pada putranya duduk dalam anggota Dewan Kota batavia, dengan pengaruh Thabrie yang terpandang di Batavia .

Thamrin Muhamad Thabrie adalah tokoh Betawi dimasa awal-awal pergerakan. Thamrin yang dibesarkan pamannya ini sebagai orang Islam ini memiliki jiwa sosial dengan beramal dihari tuanya. Kedudukannya yang terpandang serta kekeyaannya yang melimpahkan telah diusahakan agar berguna bagi masyarakat sekitarnya. Jiwa sosial Thamrin tidak hanya dia yang miliki dalam keluarga, Husni Thamrin juga mewarisi jiwa sosial sang ayah yang dia bawa dalam pergerakan nasional.

Dialah pria yang membesarkan Husni Thamrin. Ayah dari Husni Thamrin ini semasa menjadi wedana Batavia, pernah berhubungan dengan Tirto Adi Suryo, Bapak Pers Indonesia, dalam sebuah organisasi bernama Sarekat Prijaji.

Wedana Batavia yang Moderat

Tidaklah sepenuhnya pribumi murni kendati dia dikenal sebagai tokoh Betawi terpandang dizamannya. Dia terlahir dari rahim Noeraini, seorang Nyai yang dipelihara oleh Ort, seorang seorang pengusaha berkebangsaan Inggris di Batavia. Tidak ada catatan atau sekedar keterangan bahwa Ort menikahi Noeraini. Hasil dari hubungan itu, melahirkan Thamrin Muhamad Thabrie. [1] Tidak diketahui nama kecil Thamrin Muhamad Thabrie yang diberikan oleh ayah kandungnya sebagai bocah keturunan Eropa. Thamrin lahir 10 Sepetmber 1860 di Batavia.

Thamrin adalah anak dari keluarga terpandangnya, dia memiliki dua ayah yang sama-sama kaya dan terpandang dizamannya.

Ort adalah pengusaha sukses di Batavia, ia memiliki hotel yang diberi nama sesuai nama, Hotel Ort, yang terletak di pinggir jalan raya Molinvliet barat, kawasan Petojo, Batavia (Jakarta sekarang). Dengan banyak koneksi yang memadai serta hotel Ort yang diapit dua hotel kelas atas macam Des Indes dan Molenvliet, maka keadaan keuangan Ort cukup baik dari hotelnya. [2]

Ort bisa dianggap laki-laki yang tidak menghargai wanita pribumi dengan memelihara serta tidak menikahi Nyai Noeraini karena dalam pergaulannya dengan sesama orang Eropa, derajat wanita pribumi tidak sebanding dengan pria Eropa. Sebagai ayah, Ort sangatlah menyayangi anaknya, walau terlahir dari seorang Nyai yang tidak pernah dia hargai status sosialnya dan separuh pribumi karena warisan ibunya, Noeraini. Ort selalu memperkenalkan anaknya yang masih bocah itu kepada khalayak rekan bisnisnya sebagai pewaris tunggal atas usaha dan kekayaannya kelak. Untuk itu Ort berusaha melgalkan status anak dari nyai-nya itu. Ort yang berencana untuk mengunjungi kampung halamannya, Inggris, juga membawa serta anaknya itu. Sayang, rencana itu bubar karena secara mendadak Ort meninggal, anak itu tidak pernah masuk golongan Eropa seperti harapan sang ayah kandungnya. [3]

Setelah Ort meninggal Hotel Ort di Rijkwjk dikelola oleh Egbert C. Volkert. [4] Anak Ort dari Nyai-nya yang baru 10 tahun itu kehilangan ayahnya yang akan menjadikannya terpandang dan setara dengan orang-orang Eropa, kendati darah separuh pribumi mengalir juga dari tubuhnya.

Setelah kematian ayah kandungnya Thamrin Muhamad Thabrie diambil anak olehMuhamad Thabrie, paman dari pihak ibu yang kebetulan belum memiliki anak. Paman sejaligus ayah angkat bagi itu memberi nama Thamrin Muhamad Thabrie, nama yang mendekati nama pamannya, Thamrin lalu menjadi anak emas bagi pamannya.

Sang paman pernah menjadi pegawai di kewedanaan Pulau Seribu, Adjun Luar Biasa Penarik Pajak yang menunggak(1876), jaksa daerah Tangerang (1878) lalu jaksa Meester Cornelis/Jatinegara (1887). [5]

Thamrin mendapatkan nama Bibit setelah pamannya memiliki seorang anak kandung, nama yang terus melekat padanya, bahkan dalam pemberitaan pers sekalipun. [6]

Setelah dewasa Thamrin menjadi pegawai pangreh praja seperti pamannya.Thamrin Muhamad Thabrie terbilang sukses dalam menjalani karir pegawai pangreh praja-nya. Ditahun 1894, saat kelahiran putranya Husni Thamrin yang kelak menjadi pahlawan Nasional, Thamrin Muahamad Thabrie sudah memangku jabatan Adjund Hoofd Djaksa (wakil kepala Jaksa) di Laandraad (pengadilan untuk pribumi) distrik Batavia. [7]

Kedudukan pegawai pangreh praja kolonial, nama Thabrie makin dipandang setelah keterlibatannya sebagai anggota juri dalam pengadilan yang diketuai Mr. Maarseven yang memvonis mati Alie alias Kecil, pembunuh Kingsma dan Meulemen serta melukai De Jongh Swemer pada bulan Mei 1902. [8] Sejak 3 Agustus 1906, Thabrin diangkat sebagai Commandant District (wedana merangkap jaksa) Manggabesar. Sejak 1 Mei 1908, menjabat Wedana Distrik kota Batavia. Thamrin rupanya tidak disukai oleh pejabat Belanda, dalam catatan pinggir surat tertanggal: Buitenzorg (Bogor) 9 April 1906 (no. 7783/06) dari Sekretaris Negara kepada Resident Batavia, surat itu dilampiri surat pengaduan T. Klok, isinya adalah usulan agar Thamrin dipindahkan ke Tangerang. [9]

Thamrin yang berasal dari keluarga kaya, mendapatkan warisan yang cukup besar, hingga dirinya menjadi hartawan. Dalam pemberitaan Bintang Betawi edisi 14 Januari 1902:

"tiada satu gedong di Gambir yang boleh dibilang lebih bagus dari astananya......Semua perabotannya gilang-gemilang, kalau ditaksir harganya ada bilang belas ribu." [10]

Dengan kekayaan dari warisan itu pula, hal ini memungkinkan dirinya naik haji ke Mekkah. Tidak hanya dirinya, anaknya Abdillah Thamrin, adik Husni Thamrin yang setahun lebih muda, juga dibiayai untuk naik haji sekaligus menuntut ilmu agama Islam di Mekkah selama sebelas tahun. Thamrin Muhamad Thabrie juga telah mewakafkan tanahnya untuk masjid, dimana Abdillah ditunjuknya sebagai pengelola. Kendati begitu, keislamannya tidaklah fanatik, dia selalu membuka dirinya dari pengaruh modern. [11] Hal ini terbukti dengan disekolahkannya Husni Thamrin ke sekolah Bibel, sekolah yang seharusnya hanya diperuntukan kepada anak kristen saja. Pada Husni, Thamrin berkata: "orang Islam diperintahkan menimba pengetahuan dari ujung ke ujung bumi," tetap saja bagi kawan-kawan Husni kecil hal ini aneh, karenanya Husni di olok sebagai Anak Serani. [12]

Sebagai ayah, Thamrin berusaha menyiapkan anak-anaknya untuk hidup mapan, menjadi pegawai pemerintah atau menikahkan putrinya dengan pegawai pemerintah dengan pengaruhnya sebagai mantan wedana Batavia. Husni Thamrin saja yang tidak menjadi pegawai pemerintah kendati pernah magang di kantor residen Batavia sebelum bekerja di KPM. Posisi Thamrin sebagai anggota Gemeenteraad (Dewan Kota) Batavia pada tahun 1919, tidak lepas dari campur tangan Thamrin senior. [13]

Gerak Terbatas Thamrin

Keterlibatan Thamrin Muhamad Thabrie dalam dunia pergerakan lebih banyak pada lingkup kecil, tentu saja jauh dari radikal.

Thamrin pernah melibatkan diri dalam pendirian Sarekat Prijaji bersama Tirto Adhi Suryo pada tahun 1906. Mengenai pendirian Sarekat prijaji itu, dalam Medan Prijaji Tirto menulis:

"sepulang kita dari bepergian itu....berembeug dengan beberapa tuan bangsa kita anak Hindia....Dan sepanjang mufakat....membikin satu Sarekat Prijaji....Maka segera juga kita mendirikan komite sementara....Yang bikin circulair di seluruh Hindia Olanda (Hindia Belanda) dengan bantuan semua surat kabar Melayu di Hindia Olanda." [14]

Berdasar surat edaran tahun 1906, Sarekat Prijaji adalah satu perhimpunan antara priyayi-priyayi dan bangsawan Bumiputra dan sebagai permulaan hanya dibuka di Betawi (Batavia) saja, sebelum cabang-cabangnya berdiri. Maksud tujuan perhimpunan ini adalah memberikan perhatian pada pendidikan anak-anak priyayi dan bangsawan dengan mendirikan Study fonds. Rencana kongkret Sarekat Prijaji adalah mendirikan rumah pemondokan yang menyediakan makanan bagi siswa-siswa yang sekolah di Batavia tetapi berasal dari luar kota dengan biaya semurah mungkin; mendirikan sekolah dasar (frobels Onderwijs) untuk memudahkan anak-anak untuk masuk sekolah Belanda; mendirikan Hollandsche Cursus bagi anak-anak yang tidak mampu serta ditolak di sekolah Belanda; membantu pinjaman dana para siswa yang kurang mampu agar dapat lulus dan mendapat pekerjaan yang layak; menyediakan bea siswa bagi murid yang pandai tanpa ada pengembalian; menyediakan buku-buku berkualitas bagi siswa-siswa binaannya. [15] Tujuan utama Sarekat prijaji, berusuha memperjuangkan anak-anak Jawa agar memperoleh pendidikan Belanda. [16]

Dalam kepengurusan awal, tahun 1906, Raden Mas Prawirodiningrat menjabat sebagai presiden, Tirto Adhi suryo sebagai sekretaris dan Thamrin Muhamad Thabrie baru menjadi anggota. Saat itu, Thamrin masih menjadi Comandant District Manggabesar. [17] Setelah pemimpin teras Sarekat Prijaji meninggal dunia, Thamrin Muhamad Thabrie diangkat sebagai presiden Sarekat Prijaji. [18]

Surat edaran tahun 1906 itu, ternyata mendapat sambutan cukup baik bagi khalayak ramai di Hindia Belanda. Ada 700 orang yang mendaftarkan diri menjadi anggota. Kepada setiap anggota baru itu dipungut iuran awal sebesar f 10,- bagi yang berpenghasilan f 100,- keatas, iuran itu bisa dicicil. Selain itu dikenakan pula kontribusi bulanan pada semua anggota sebesar f 0,5,- tiap bulannya. [19]

Sarekat Prijaji juga mendapat sumbangan dana sebesar f 1.000,- dari Raden Prawiradiredja, Bupati Cianjur. Dengan uang itu, sebuah buletin, Medan Prijaji, diterbitkan. Sayangnya, iuran anggota macet sehingga dan menyulitkan keuangan organisasi. Sementara itu, Medan Prijaji yang semula akan menjadi organ Sarekat Prijaji, keadaan sangat berbeda sekali. Medan Prijaji termasuk sukses kala itu. Banyak pembesar pribumi yang berlangganan dengan buletin ini. Medan Prijaji yang bertahan dari tahun 1907-1912, berusaha membuka diri tehadap keluhan-keluhan rakyat kecil terhadap perlakuan kalangan priyayi tinggi dan pegawai kolonial. [20]

Sarekat Prijaji tampil sebagai organisasi modern pertama yang menjadi kelinci percobaan sejarah pergerakan nasional. Organisasi ini tidak berlangsung lama kendati Tirto membuka keran sumbangan dana dari mana saja yang diumumkan secara luas. [21]

Jabatan yang dipangku Thamrin Muhamad Thabrie sebagai presiden Sarekat Prijaji sangatlah singkat, sehingga hal ini lebih bersifat eksperimen saja dan setelah itu tidak ada seorangpun anggota keluarga Thamrin, termasuk anakanya Husni Thamrin, masuk dalam Sarekat Islam. Keluarga keluarga besar Thamrin organisasi macam SI tidaklah mengesankan. Dibanding Tirto yang sering bepergian keluar Batavia untuk membangun jaringan organisasi atau sekedar mengadiri sebuah acara organisasi sosial, Thamrin sebelum tahun 1911 nyaris tidak mungkin meninggalkan Batavia karena posisinya sebagai pegawai pangreh praja. Sangat tidak layak bagi pegawai kolonial meninggalkan posnya hanya untuk organisasi sosial pribumi macam Sarekat Prijaji. [22]

Batavia dimasa Thamrin Muhamad Thabrie, bagi kaum intelektual pribumi, tidak lebih hanya daerah perawan dan jauh dari gerakan politik. Perbandingan kaum terpelajar Belanda dan pribumi di Batavia, kala itu seimbang,berbeda dengan Semarang, Solo, Yogyakarta dan Bandung. Dunia buruh kota Batavia berbeda dengan Semarang yang pada dekade 1910an telah menjadi sarang Banteng Merah. [23]

Setelah masuk masa pensiun, tahun 1911, kendati bukan Islam santri yang fanatik, Thamrin Muhamad Thabrie mendirikan badan amal bersama Abdillah, satu-satunya anak Thamrin yang menjadi santri setelah pulang dari Mekkah. [24] Usia Thamrin saat itu sudah tua, sekitar 50 tahunan. Seorang tua kaya terlibat dalam gerakan sosial keagamaan macam Thamrin tua bukan hal yang aneh lagi.

Ditahun 1916 menjadi seorang sponsor pendirian organisasi kedaerahan Kaoem Betawi, yang kemudian dipimpin oleh putranya, Muhammad Hoesni Thamrin. Kendati menjadi organisasi terpandang, organisasi ini tidak bisa sebesar organisasi nasional non kedaerahan. Kaoem Betawi dikemudian hari berfusi dengan Partai Bangsa Indonesia (PBI). [25]

Kondisi politik Batavia berubah setelah muncul Volksraad (Dewan Rakyat) ditahun 1918 yang disetujui parlemen dan Pemerintah di Negeri Belanda. Sebelumnya, tahun 1916, bersama putranya yang sudah bekerja di kantor KPM [26] Batavia, Husni Thamrin, bergabung pada Kiesvereeniging Melajoe (perkumpulan pemilih Melayu) van Hinloopen Labberton. Saat itu Kaoem Betawi mulai aktif. Dalam perjalanannya organisasi ini memiliki program yang hampir sama yang menggabungkan aspek amal dan pendidikan, tentu saja masih dalam lingkup terbatas, regional Betawi saja. Organisasi ini selanjutnya dipimpin oleh Husni Thamrin dan Muhamad Masserie sampai tahun 1923, organisasi ini dibawah Thamrin juga mendapat pengakuan resmi dari pemerintah di Batavia. [27]

Kendati hanya memiliki darah separuh pribumi (Betawi), karena dibesarkan pamannya, Muhamad Thabrie, Thamrin tumbuh menjadi seorang Betawi Muslim terpandang. Kedudukannya yang mapan tidak membuatnya hanya berdiam diri ketika akan pensiun, sebelum pensiun dia telah terlibat dalam sebuah organisasi Sarekat Prijaji, yang berusaha memajukan pendidikan kaum pribumi. Hal ini bukan tanpa resiko, saat itu dirinya masih menjabat wedana. Di zaman kolonial, pernah ada seorang pegawai kolonial dipecat lantaran menjadi ketua klub sepakbola pribumi. Tidak menutup kemungkinan Thamrin akan mengalaminya, kendati hal itu tidak pernah terjadi. Keterlibatan Thamrin dalam pegerakan hanya sebatas lingkup tanah ibunya saja, Batavia karena pekerjaan Thamrin sebagai wedana tidak dapat ditinggalkannya.

Thamrin senior jelas tidak sekelas atau sekeras putranya, Husni Thamrin, dalam pergerakan nasional. Thamrin lebih cenderung pada gerakan sosial keagamaan dilingkungan pribumi Betawi, sedang putranya terjun didunia politik dalam lingkup yang lebih luas, seluruh pribumi nusantara yang tertindas dia perjuangkan. Thamrin senior yang pernah menjadi wedana lebih bersikap koperatif, maka Husni Thamrin yang juga koperatif, adalah penetang terbesar politik kolonial yang merugikan rakyat pribumi. Perbedaan keduanya adalah bergerak pada zaman berbeda, zaman Thamrin senior, belum terbuka kesempatan berpolitik di dewan seperti zaman Husni Thamrin bergerak.

Kendati tidak berpengaruh besar seperti putranya, dengan segala upayanya, Thamrin senior berusaha membukakan pintu masuk dalam dunia politik yang lebih mapan bagi putranya, Gemeenteraad Batavia. Upaya Thamrin senior itu tidak lepas dari kepedulian Husni Thamrin akan masalah sosial di Batavia sejak dini. Thamrin senior melibatkan juga Husni dalam Kaoem Betawi yang baru berdiri ditahun 1916, saat itu Husni Thamrin baru 22 tahun.

Thamrin Muhamad Thabrie adalah potret tokoh Betawi yang sukses dalam karirnya diawal abad XX, posisi wedana Batavia pernah diduduki, sebuah jabatan tertinggi kedua bagi pribumi. [28] Diantara anak Thamrin, hanya dua yang dikenal yang terlibat dalam kegiatan sosial, Abdillah Thamrin yang mengurus masjid wakaf sang ayah, tentu saja Husni Thamrin. Thamrin, tanpa sengaja memberikan teladan bagi anak-anaknya, termasuk Abdillah dan Husni, agar melibatkan diri dalam kegiatan sosial.


[1] Bob Hering, M.H. Thambrin and His Quest for IndonesianNationhood (1917-1942), ab. Harsono Sutedjo, M.H. Thamrin Membangun Nasinalisme Indonesia, Jakarta, Hasta Mitra, 2003. h. 14.

[2] Ibid., h. 13-14.

[3] Ibid., h. 14.

[4] Pramoedya Ananta Toer, Sang Pemula, Jakarta, Lentera Dipantara, 200h. 140

[5] Ibid.

[6] Ibid.

[7] Bob Hering, h. 14.

[8] Pramoedya Ananta Toer, h. 141.

[9] Ibid.

[10] Ibid.

[11] Bob Hering, h.14.

[12] Soekanto S.A, Matahari Jakarta: Lukisan Kehidupan M. Husni Thamrin, Jakarta, Pustaka Jaya, 1973. h. 17-19.

[13] Bob Hering, h. 57.

[14] Pramoedya Ananta Toer, h. 138.

[15] Ibid., h. 138-139.

[16] J.B. Kristanto(ed), Seribu Tahun Nusantara, Jakarta, Kompas, 2005. h. 666.

[17] Pramoedya Ananta Toer, h. 139.

[18] Ibid., h.139-140.

[19] Ibid., h. 139.

[20] J.B. Kristanto (ed), h. 666.

[21] Pramoedya Ananta Toer, h.139-140.

[22] Bob Hering, h. 56.

[23] Ibid., h. 56-57.

[24] Ibid., h. 57.

[25] Pramoedya Ananta Toer, h. 142.

[26] KPM: Koninklijk Pachtvaart Maatschappij (perusahaan pelayaran terbesar Belanda yang beroperasi di Hindia Belanda)

[27] Bob Hering, h. 56-57.

[28] Ibid., h. 14.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun