Mohon tunggu...
Meneer Pangky
Meneer Pangky Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger

Blogger | Wiraswasta | meneerpangky.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Koperasi, Solusi Kemandirian Ekonomi Desa?

9 Februari 2019   09:15 Diperbarui: 9 Februari 2019   09:56 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir tahun 2018, saya berkesempatan menjadi peserta Kongres Kebudayaan Indonesia. Dari sekian banyak agenda yang diikuti, paling antusias agenda debat publik ini. Topiknya tentang koperasi sebagai wahana pemajuan kebudayaan Indonesia. Narasumbernya adalah Suroto. Tokoh muda yang kampanye koperasi di kampus-kampus.

Mengapa saya berkepentingan? Sedikit boleh cerita, 2 tahun belakangan ini dibantu teman-teman se-desa, saya sedang menginisiasi pendirian koperasi. Saya membayangkan dengan mengikuti agenda ini, ada ilmu baru atau minimalnya memantapkan langkah saya di kampung.

Orang-orang desa lebih tergerak untuk mengumpulkan pundi-pundi pribadi ketimbang membangun sebuah sistem kemandirian ekonomi sosial. Akibatnya, kesenjangan di desa tinggi. Saya berasumsi penyebabnya belum ada kesadaran berkongsi bisnis. Asumsi tersebut didukung oleh praktek-praktek ekonomi orang-orang desa.

Pemilik modal secara massif mendirikan CV atau PT, saya hitung ada 40 perusahaan se-desa. Sedangkan kelompok menengah ke bawah, mereka mencoba peruntungan dengan menjadi PMI---pekerja migran Indonesia---di beberapa negara. Misalnya, Taiwan, Korea, Hongkong, Malaysia. Jumlahnya ratusan orang.

Lantas, pertanyaan kritisnya? Apakah kedua kelompok itu memiliki kemandirian ekonomi? Saya lihat secara jasad, iya. Namun, ruh kemandirian ekonominya belum. Kok belum? Lah wong, saya lihat sendiri kehidupan mereka sehari-hari.

Kelompok pemilik modal---elite desa---kebanyakan adalah para tuan tanah maupun anak-anaknya. Mereka ini masih tersandera secara ekonomi. Tanahnya banyak diagunkan ke bank, bahkan yang lebih parah ada yang sudah disita.

Sedangkan kelompok menengah ke bawah jarang yang berhasil meningkatkan taraf ekonominya. Pundi-pundi mereka dari luar negeri, dihabiskan untuk membangun rumah dan beli kendaraan. Setelah habis, mereka kebingungan. Pilihannya adalah berangkat ke luar negeri kembali. PMI ini hidupnya lebih banyak di luar negeri daripada di kampungnya.

Saya melihatnya ini problem yang harus dicarikan jalan keluarnya. Mau sampai kapan begini terus? Apa dibiarkan begitu saja, seperti air mengalir. Pertanyaan-pertanyaan yang biasa saya lontarkan kepada teman-teman. Beberapa teman terpancing, lainnya diam tanpa respon. Saya anggap itu normal, biarlah. Minimal pikiran mereka lebih sehat. Akal dan pikirannya dipakai.

Saya mulai mencocokkan jenis kongsi bisnis yang bisa mengatasi problem tersebut. Dari sekian banyak modul bisnis, saya tertarik dengan semangat koperasi. Saya mulai meyakini koperasi adalah solusi kemandirian ekonomi di desa.

Meskipun saya harus re-branding apa itu koperasi kepada masyarakat? Orang desa mengenal koperasi adalah bisnis ecek-ecek, hanya bagus dalam teori, hanya indah dalam imajinasi. Persepsi koperasi bisnis kecil-kecilan dan kuno sudah melekat. Paradigma itu harus saya ubah sedikit demi sedikit. Koperasi itu bisnis futuristik dan modern.

Nah, Suroto ini telah memantapkan tekad saya. Langkah-langkah yang sudah dilakukan berada dalam jalur yang benar. Seperti yang ia bilang, bahwa koperasi menempatkan modal sebagai aset nomor dua setelah SDM. Modal itu bukan penentu tapi pembantu bisnis. Orang itu di atas modal.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun