Namanya Talkiban, anak dermayu asli, tinggal di Rawamangun. Ia perantau. Kerjaannya nggak pasti. Maklum anak rantau, ngundi nasib ke Jakarta hanya modal nekat dan dengkul. Saya nggak begitu akrab dengannya. Hanya sebatas kenal karena satu tongkrongan.
Saya akrab dengan Pangky, teman se-kampung Talkiban. Pangky ini lebih suka dipanggil "menir". Awalnya saya kira ia anak Menado, bayangin namanya gaul banget, funky abis. Ditambah muka si menir ini agak ngota. Jadi, nggak nyangka ia dari Indramayu. Si Menir pernah bercerita bahwa di kampungnya jarang orang dipanggil sesuai nama aslinya. Kok bisa? Saya balik tanya, penasaran.
Lingkungan adat dermayu begitu lazimnya. Becandanya kelewat, cuma lucunya disitu. Orang yang dibecandain sikapnya biasa-biasa saja. Jawabnya enteng.
"Oh, pantesan lu lebih suka dipanggil menir".
"Apa ada hubungannya dengan meneer belanda".
"Kagak lah".
"Itu olok-olok. Karena babeh profesinya tukang beras remuk. Alias menir".
"Kok lu bangga diolok-olok?"
"Ya nggak gitu, kan sama. Talkiban juga bukan nama aslinya. Itu nama kakeknya. Kan impas".
Saban bareng sama Menir, hampir selalu ngeliat Si Talkiban. Tapi, abis gitu ia selalu pergi. Mungkin ia nggak nyaman kumpul dengan non kampungnya. Kali ini saya sapa dia.
"Woi Talkiban. Mau kemana lo?" tegur saya.
"Biasa...dines!" katanya tanpa berusaha untuk berhenti.
Dinas? Loh kata Si Menir ia kerja serabutan? Ngapain dia perjalanan dinas segala. Macam pegawai saja. Begitu saya tanya Si Menir barulah paham.
"Si Talkiban kerjanya keliling ke tempat yang banyak orang se-kampung. Karena tiap hari keliling, jadinya udah pekerjaan dinas. Tenjo sana tenjo sini." Menir ngasih penjelasan. Ooo gitu. Dasar Dermayu. Ada-ada aja istilahnya.
Nah suatu hari saya ketemu lagi sama Talkiban. Saya coba ngomong agak panjang sama dia.
"Talkiban sini dulu. Ngobrol bentar yuk?"
"Apa Bang? Pengen nraktir?" jawabnya dengan logat dermayu yang sangat kental. Pokoknya logat Dermayu beda dengan Tegal atau Jawa lainnya.
"Enggak, gue mau tanya aja. Kenapa sih loe ke Jakarta? Emang enak merantau ya?" tanya saya lagi.
"Lah? Nangapa juga wong se-Indonesiah ngranto di Jakarta. Orang Batak ke Jakarta. Orang Sunda ke Jakarta, Bugis ke Jakarta..." jawabnya nggak jelas.
"Maksudnya?" tanya saya kebingungan.
"Ya reang kudu gaul. Ikut yang kekinian. Idup kudu gaul, bang" jawab Talkiban. Sambil ngeloyor pergi dia ngelanjutin ucapannya "Udah ah. Pengen dines dikit?"
Walaupun Si Talkiban ngomongnya campur-campur. Saya bangga padanya masih mempertahankan bahasa daerahnya. Identitas daerahnya tidak luntur. Apalagi kalo ia sedang ngobrol dengan menir. Hahhaha, lucu abis. Persis orang lagi bertengkar. Intonasinya tinggi. Setahu saya orang Jawa Barat itu kalo ngomong kalem dan halus. Ini Indramayu beda banget.
Saya pernah suatu hari menimpali mereka. "Loe, Indramayu kagak jelas. Sunda kafir Jawa murtad. Ngomongnya campur-campur".
Mereka malah terbahak-bahak. Menandakan ke-setujuan-nya.
***
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI