Mohon tunggu...
Meneer Pangky
Meneer Pangky Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger

Blogger | Wiraswasta | meneerpangky.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Negara Inferior Mengurusi Harga Barang Pokok?

6 April 2018   07:40 Diperbarui: 6 April 2018   09:09 1014
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sedangkan resiko yang saya tanggung jika gagal panen nggak sebanding dengan beban yang saya keluarkan untuk usaha tani. Kadang, saya ingin meniru petani lain yang menimbun gabah dijual ketika harga tinggi. Rekor tahun 2017, bahkan tembus harga gabah mencapai Rp. 8.500,-/kg. Namun, urung tak pernah saya lakukan. Selain keterpaksaan karena ditagih hutang biaya produksi dan ongkos hidup selama belum panen. Menyebabkan saya harus segera menjual gabah. Alasan paling kuat adalah ajaran agama saya melarang menimbun bahan pokok.

Distorsi harga ini, saya menduga akibat liberalisasi pasar. Membiarkan komoditas hajat hidup orang banyak melalui mekanisme pasar. Saya sedang tidak membandingkan kebijakan Pak Harto dengan presiden setelahnya. Namun, apa yang saya rasakan ini betul-betul apa yang saya alami sendiri. Saya juga memaklumi lain kepala, lain cita-cita. Lain presiden, lain pula kebijakan.

Memang tidak ada paksaan bagi presiden-presiden setelah Pak Harto untuk meniru langkahnya dalam urusan memproteksi kebutuhan dasar rakyatnya. Masing-masing presiden punya gaya dan caranya sendiri. Tetapi bagi saya pribadi dan bapak, baru cara dan gaya Pak Harto saja yang concern tentang persoalan ini.

Gaya dan cara presiden-presiden lainnya pasca Pak Harto, saya lihat belum ada. Saya duga ada gelagat political will dari Presiden Widodo untuk mengurusi soal ini. Mudah-mudahan nanti dieksekusi, karena Pak Mendag melaporkan tulisan-tulisan opini rakyat macam saya ini. Jika iya, rakyat akan mengakui bahwa perutnya akan diurusi presiden. Sebab, jika sebaliknya kebanyakan rakyat berpikir, buat apa punya presiden ya? Hahahaha. Toh, urusan ini juga nggak menjadi prioritas presiden.

Balik lagi ke persoalan, disebabkan problem-problem di atas. Petani akhirnya malas, kurang semangat dengan usaha taninya. Benar-benar lesu. Imbasnya, produktivitas hasil tani performanya menurun. Sepuluh tahun ke belakang belum pernah swasembada lagi. Saya prediksi lima atau sepuluh tahun lagi juga belum tentu tercapai.

Di atas hanya ngomongin masalah, lalu solusinya apa? Untuk petani bisa fokus sama produksi hasil taninya, tentu mereka butuh dukungan pemerintah. Infrastruktur irigasi penting, tersedianya sarana produksi pertanian juga penting. Namun, ada yang lebih penting. Yakni kemudahan permodalan dan biaya hidup. Supaya petani fokus mereka tidak hanya dimudahkan modal, namun juga mencakup biaya hidup pasca tanam hingga panen. Bayangkan, setelah simpanannya ludes untuk modal. Petani untuk sekedar menyambung hidup mereka harus gali lubang tutup lubang.

Apa yang ditawarkan kartu tani dengan permodalan dari perbankan disayangkan hanya meng-coverbiaya produksinya saja. Sedangkan kesulitan petani pasca tanam, seolah pemerintah menutup mata. Saya pun pernah ditawari kredit KUR Tani 8 juta/ha oleh Bank Mandiri. Saya pun tak ambil. Alasannya cuma satu, tidak menyelesaikan masalah. Utang saya tentu akan di split ke banyak pihak. Hemat saya, mengapa pemerintah kok serba nanggung bikin kebijakan. Nggak besar-besar amat, jika tanggungan biaya hidup selama belum panen dimasukkan.

Misalnya, diasumsikan biaya hidup per bulan sebesar 2 atau 3 juta. Kisaran kredit per musim total 20 juta. Juga, dimasukkan dalam klausa perjanjian bahwa kreditur wajib membayar utangnya dengan gabah. Satu hektar akan menghasilkan kisaran angka 5-6 ton. Maka petani masih mendapatkan selisih antara 2,5-7 juta rupiah, jika produktivitas lebih dari itu, untung petani lebih banyak lagi. Ini baru win-win solution. Satu sisi pemerintah mendapatkan stok gabah, sisi lainnya petani tidak dipusingkan dengan permodalan dan biaya hidup. Kemudian, misal gagal panen bagaimana? Kan ada asuransi tani, petani yang mengambil kredit sekaligus ikut asuransi.

Soal teknis Pak Mentan dan Pak Mendag mungkin lebih paham. Ini hanya curahan hati saya sebagai petani kecil di Indramayu yang menggarap lahan setengah hektar. Selanjutnya, ke permasalahan kedua yakni perilaku pedagang. Banyak memang pedagang yang tidak jujur, suka menimbun barang. Biar untung gede. Namun, saya pastikan itu bukan pedagang kecil, pengusaha besar yang memiliki sumber daya modal dan pergudangan.

Artinya, kemampuan mereka hanya bisa dikalahkan oleh intervensi pemerintah. Pemerintah ikut bersaing dengan mereka. Misinya satu, bagaimana pasar tidak dimonopoli orang-orang atau kelompok tertentu saja. Saya umpamakan dengan produktivitas beras Indramayu yang mencapai 1,7 juta ton, sedangkan Bulog hanya mampu menyerap beras 250.000 ton. Kebutuhan konsumsi orang Indramayu sebesar 250.000 ton. Angka ini menjelaskan bahwa sisa 1,2 juta ton dibiarkan oleh mekanisme pasar. Pemerintah terlihat inferior menghadapi swasta, kekuatan mereka 1 banding 5.

Bandingkan dengan barang pokok lainnya yang dimonopoli oleh negara. Sebut saja BBM, listrik dan gas. Pemerintah superior untuk mengendalikan harganya. Akhir kata, tentu stabilitas harga akan dengan mudah dicapai. Wallahu alam.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun