Yang dulu liburan cukup di dalam kota, sekarang harus ke luar kota. Bali, Lombok, Jakarta, Bandung, Semarang, dan Jogja jadi tujuan destinasi baru. Kota-kota pun jadi rame, macet. Restoran laris, hotel laku. Toko oleh-oleh diserbu. Terminal, stasiun, dan bandara juga rame.
Hebatnya, mereka ini tidak begitu terpengaruh dengan tren pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sedang slowing down. Kelas menengah ini penghasilan mereka sudah diatas rata-rata kebutuhan hidup normal. Sehingga tidak kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar, misalnya membeli beras. Jika tak terjadi resesi, untuk kelas menengah hidup ini tetap life is must go on.
Di Indramayu, kelas menengah ini ditempati mereka yang berprofesi sebagai TKI/TKW sebagian besarnya. Juga, ditambah dengan kelompok petani-petani muda yang sedang menikmati harga gabah yang lumayan tinggi di pasar.
Aku pernah membaca beberapa tulisan, misalnya Ekonom Faisal Basri mengatakan jumlah kelas menengah ini sekitar 110 juta. Jumlah yang luar biasa. Mereka inilah yang menggerakkan perekonomian Indonesia saat ini. Bahkan sampai nanti di masa yang akan datang. Tambahnya pula, kelas menengah inilah yang baru saja naik kelas dari miskin.
Dengan kata lain, yang sebenarnya belanja atau plesiran adalah kelompok ini. Kelas menengah ini menghambur-hamburkan uangnya untuk sebuah pengakuan bahwa mereka baru naik kelas. Tidak lagi miskin. Jadi berkhayal, bagaimana jika nanti mereka naik kelas lagi menjadi kaya. Mimpi menjadi negara yang gemah ripah loh jinawi segera tercapai.
Potensi ini harus dimanfaatkan. Perekonomian Indonesia harus tumbuh secara masif dan naik. Bandingkan dengan negara tetangga, Singapore yang Cuma 5 juta, Australia yang hanya 20 juta. Bagaimana dengan Indonesia yang 110 juta? lebih-lebih Jumlah tersebut menjadi orang yang daya belinya tinggi. Bisa dibayangkan bagaimana Indonesia nantinya? Tumbuh dan tumbuh.
Harapan dan Kenyataan
Sebagian besar negara maju sedang dirundung masalah demografi. Kelompok orang-orang tua dan anak-anak versus kelompok produktifnya. Contoh Jepang, menjadi negara yang mencapai puncak pertumbuhannya pada dekade 90’an, sekarang kondisinya mengalami resesi. Begitupun dengan China, mengutip ahli demografi, Harry S. Dent. Ia mengatakan “China will grow old before going rich”. China akan terlebih dulu tua sebelum negara tersebut kaya.
Padahal, sebuah negara itu akan tumbuh jika jumlah penduduk yang produktifnya cukup banyak dibandingkan penduduk yang tidak produktif (anak-anak dan orang tua). Nah, berbeda dengan demografi Indonesia yang justru berada dalam posisi sebaliknya. Ini menguntungkan. Jumlah penduduk yang produktifnya lebih banyak dibandingkan golongan orang tua dan anak-anak. Indonesia diramalkan oleh demographic studies akan terus tumbuh sampai 2050.
Menurut Alex Purnadi Chandra, ada 2 syarat untuk bisa memetik bonus demograsi tadi. Salah satunya adalah dengan pendidikan. Alasannya, dengan banyaknya orang-orang terdidik akan meningkatkan produktivitas. Satunya lagi adalah infrastruktur. Tanpa infrastruktur, mana mungkin ada lapangan pekerjaan, investasi pun stagnan. Bagaimana mau bikin pabrik jika listriknya nggak tersedia?
Simpulannya, meski negara dan bangsa ini sedang carut-marut. Korupsi, konflik, dan lainnya, ternyata masih ada harapan yang bisa menjadi kenyataan. Kita sebagai bangsa memiliki potensi yang luar biasa. Ada harapan dan kesempatan menjadi bangsa yang sejahtera.