Bulan September ini di Kota Indramayu, banyak yang menikah dan hajatan. Undangan bejibun datang silih berganti. Alasannya hanya satu, karena ini bulan Rayagung, salah satu bulan dalam kalender Aboge atau Saka. Bulan Rayagung banyak diyakini sebagai bulan yang baik untuk menyelenggarakan segala macam acara. Dianggap sebagai bulan yang agung.
Padahal selain kepercayaan tadi, momentum bulan ini juga pas karena lagi panen raya. Dimana orang Indramayu sebagian besar adalah petani. Saat panen kondisi perputaran uang memang tinggi. Daya beli meningkat.
Akan tetapi bukan hal itu yang ingin diceritakan. Yang ingin aku ceritakan adalah kondisi Indramayu pada bulan Rayagung ini. Semarak, meriah, banjir hiburan dan duit.
Aku bermaksud menjual gabah hasil panenku, kata penjualnya, “satu kwintalnya 500rb, kalo banyak bisa 530rb”. Aku juga diminta temanku untuk mem-booking sebuah grup hiburan. Tidak kebagian, jadwal padat menumpuk.
Padahal kondisi perekonomian Indonesia katanya sedang lesu. Omset bisnis terjun bebas. Ekonomi mulai melambung pada kuartal terakhir 2015 dan terjun lagi pada kuartal pertama 2016—4,7%-5,1% lalu turun menjadi 4,9%.
Momentum pertumbuhannya tidak berlanjut. Konon, ekspansi kredit perbankan tren-nya sedang melemah. Malah beberapa bank pertumbuhan kreditnya negatif pada semester pertama 2016 ini.
Tapi, kok harga gabah naik, orang-orang hajatan banyak, bisnis hiburan sedang laris. Logikanya, orang yang menanggap hiburan, puluhan juta dikeluarkan dari koceknya. Ini bagaimana?
Bonus Demografi
Lama berpikir. Akhirnya ada penjelasan yang logis. Ini disebabkan kelas menengah Indonesia sedang tumbuh, sedang bangkit. Meski belum termasuk kategori kaya, perilaku mereka sudah ganjen untuk membeli gengsi. Eksistensi mereka ditunjukkan, terutama lewat akun media sosialnya.
Perilaku mereka dengan mudah kita lihat lewat nafsu belanjanya. Sangat konsumtif. Misalnya, dengan seringnya gonta-ganti gadget, makan di mall-mall atau restoran, bahkan untuk sekedar ngopi aja harus ke kafe.
Mengutip sebuah survei, orang Indonesia itu ganti HP itu enam bulan sekali. Liburan yang dulu menjadi barang mewah menjadi kebutuhan. Ngopi di kafe dan makan di restoran jadi sebuah life-style. Kafe, restoran, dan mall menjadi rame. Hajatan dan pernikahan yang dulunya cukup sakral dan dilakukan alakadarnya, sekarang harus menyewa di ballroom hotel dan menanggap sebuah grup seni. Bila perlu mengundang artis ibu kota.