Regulasi memang tidak mewajibkan gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota untuk mengundurkan diri bila dicalonkan sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden. Namun mengingat DKI adalah provinsi khusus yang memiliki peran strategis dalam pemerintahan nasional, maka Gubernur DKI yang dicalonkan menjadi Presiden seharusnya mengundurkan diri demi efektivitas pemerintahan ibukota.
Berlandaskan pada etika pemerintahan dan regulasi khusus tentang DKI yakni UU 29/2007 (lex specialist), gubernur diharuskan meminta izin kepada Presiden apabila dicalonkan menjadi Presiden atau Wakil Presiden (Pasal 7 ayat (1) UU 42/2008). Jika permintaan izin kepada Presiden tersebut dalam kerangka landasan etika pemerintahan, maka secara etika pula Gubernur DKI harus mengundurkan diri demi tegaknya etika pemerintahan. Harus dicatat, penjelasan Pasal 7 ayat (1) UU 42/2008 menegaskan bahwa “permintaan izin kepada Presiden dalam rangka untuk menegakkan etika penyelenggaraan pemerintahan.” Berikut argumentasi pijakan perlunya DPRD DKI mengajukan hak angket atas pencalonan Gubernur DKI sebagai calon Presiden.
Pijakan Rasionalisasi Hukum Pemerintahan Daerah dan UU Lex Specialist dalam Pengajuan Hak Angket DPRD DKI:
Sesuai dengan ketentuan Pasal 298 Undang-Undang No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD, Hak angket adalah hak DPRD provinsi untuk melakukan penyelidikan terhadap kebijakan pemerintah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, daerah, dan negara yang diduga bertentangan dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Pencalonan Gubernur DKI menjadi Presiden adalah kebijakan yang dapat dilakukan penyelidikannya karena keputusan tersebut bersifat penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat, terutama daerah Ibukota. Beberapa alasan penguat perlunya Gubernur DKI mengundurkan diri dari jabatannya bila yang bersangkutan mencalonkan diri menjadi Presiden, antara lain;
1. Efektifitas jalannya pemerintahan DKI sebagai daerah Ibukota yang otonominya berada pada tingkat provinsi.
Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta dengan kedudukannya sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki fungsi dan peran yang penting dalam mendukung penyelenggaraan pemerintahan nasional. Gubernur DKI sebagai pucuk pimpinan pemerintahan di DKI memiliki peran sentral yang tidak boleh dianggap sepele apalagi mengingat Provinsi DKI sebagai daerah otonom yang otonominya berada pada tingkat provinsi. Oleh sebab itu, mengingat kekhususan Gubernur DKI dan kekhususan penyelenggaraan Ibukota, dalam hal Gubernur mencalonkan diri menjadi Presiden, maka demi efektifitas jalannya pemerintahan Ibukota, Gubernur sudah saatnya harus mengundurkan diri agar penyelenggaraan pemerintahan tidak terganggu.
Menurut Undang-Undang Nomoir 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan DKI Jakarta Sebagai Ibukota Negara, Jakarta adalah daerah otonom yang berkedudukan sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Mengingat Provinsi DKI Jakarta adalah daerah khusus yang berfungsi sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia dan sekaligus sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi (Pasal 4 UU 29/2007), Pemerintahan DKI memiliki kekhususan tugas, hak, kewajiban, dan tanggung jawab tertentu dalam penyelenggaraan pemerintahan dan sebagai tempat kedudukan perwakilan negara asing, serta pusat/perwakilan lembaga internasional. Oleh sebab itu posisi Gubernur menjadi sangat sentral sehingga tidak boleh ditinggalkan begitu saja (cuti atau non-aktif) apalagi pengajuan non-aktif tersebut berkenaan dengan aktivitas politik yang turut berdampak langsung berjalannya roda pemerintahan di Ibukota Negara. Hal itu ditambah lagi mengingat posisi Gubernur DKI menurut UU 29/2007 kedudukannya diposisikan sebagai wakil Pemerintah dan Kepala Daerah Provinsi DKI Jakarta yang diberikan kekhususan tugas, hak, kewajiban tertentu.
Provinsi DKI Jakarta sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia, sebagai pusat pemerintahan, dan sebagai daerah otonom berhadapan dengan karakteristik permasalahan yang sangat kompleks dan berbeda dengan provinsi lain. Provinsi DKI Jakarta selalu berhadapan dengan masalah urbanisasi, keamanan, transportasi, lingkungan, pengelolaan kawasan khusus, dan masalah sosial kemasyarakatan lain yang memerlukan pemecahan masalah secara sinergis melalui berbagai instrumen.
Patut pula dicatat pelaksanaan Pemilihan Presiden 2014 pada bulan Juli 2014 juga akan bertepatan dengan pengajuan APBD-P yang mewajibkan Gubernur sebagai pucuk pimpinan Pemerintah Provinsi DKI untuk memfokuskan diri dalam penyusunan anggaran daerah demi terselenggaranya pemerintahan DKI sebagai daerah khusus yang berfungsi sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia yang sekaligus berfungsi sebagai daerah otonom pada tingkat provinsi.
Bulan Juli adalah bulan di mana tahun anggaran telah memasuki triwulan kedua atau mendekati semester pertama. Artinya lebih dari seperempat tahun waktu penggunaan anggaran telah berjalan. Seharusnya dalam rentang waktu ini penyerapan anggaran telah mencapai dua digit atau di atas 10%. Hal ini turut dipengaruhi oleh pengajuan cuti kampanye Pemilu Legislatif Gubernur DKI karena yang bersangkutan adalah Pejabat Negara yang merupakan anggota dari partai politik. Kini, dengan pencalonan Gubernur DKI sebagai calon Presiden, kebijakan anggaran dan serapan anggaran APBD DKI akan turut berpengaruh negatif karena tidak efektifnya Gubernur dalam menjalankan tugas, fungsi dn arahannya pada birokrasi di bawahnya.
2. Kekhususan Posisi Gubernur DKI dan DPRD DKI menurut UU No. 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi DKI
Posisi Gubernur DKI menurut UU 29/2007 merupakan jabatan kepala pemerintahan daerah yang menjalankan otonomi pemerintahan khusus yang berada pada tingkat provinsi. Kekhususan posisi Gubernur DKI menyebabkan Gubernur DKI bukanlah seperti Gubernur lain yang juga turut menjalankan fungsi pemerintahan provinsi. Oleh sebab itu, pengajuan cuti atau non-aktif Gubernur DKI tidak bisa dilihat paralel dengan Gubernur lain yang juga akan mengajukan cuti atau non-aktif terkait pencalonan dirinya sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden. Pasal 9 UU 27/2007 menegaskan bahwa otonomi Provinsi DKI Jakarta diletakkan pada tingkat provinsi. Oleh sebab itu posisi Gubernur dan DPRD DKI memiliki kekhususan yang tidak boleh disamakan dengan Gubernur dan DPRD di daerah atau provinsi lain yang bersifat umum.
Di samping itu, menurut UU 29/2007 DPRD Provinsi DKI Jakarta adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah bersama Gubernur sebagai satu kesatuan tak terpisahkan. Ketika Gubernur DKI mencalonkan diri menjadi Presiden, yang menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya Gubernur adalah bagian dari Pemerintahan Daerah bersama DPRD, maka setiap keputusan politik yang diambil oleh Gubernur DKI merupakan satu kesatuan tak terpisahkan dengan keberadaan DPRD DKI. Oleh sebab itu, pencalonan Gubernur DKI sebagai calon Presiden wajib dikonsultasikan dengan DPRD DKI sebagai bagian unsur tak terpisahkan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Diabaikannnya DPRD DKI oleh Gubernur dalam keputusannya untuk mencalonkan diri dan meninggalkan tugas-tugas pemerintahannya adalah bentuk pengingkaran atas sumpah jabatan dan pengangkangan terhadap daulat rakyat DKI yang fungsinya dijalankan oleh DPRD DKI.
Pada prinsipnya pengajuan Hak Angket DPRD DKI adalah dalam rangka menjalankan amanat Pasal 12 UU 27/2007 yang berbunyi; DPRD Provinsi DKI Jakarta memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Artinya pengajuan hak Angket DPRD DKI tersebut perlu diajukan sebagai bentuk pelaksanaan salah satu fungsi DPRD yakni fungsi pengawasan.
3. Landasan Etika Pemerintahan
Pasal 7 ayat (1) UU 42/2008 tentang permintaan izin kepada Presiden bagi Gubernur yang mencalonkan diri sebagai presiden adalah regulasi yang menekankan pada prinsip etika pemerintahan. Pasal 7 UU 42/2008 adalah pasal penghormatan atas etika pemerintahan. Oleh sebab itu, pengunduran diri Gubernur DKI juga harus dilihat dalam kerangka tegaknya etika pemerintahan.
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pilpres mengatakan bahwa Kepala Daerah yang dicalonkan Partai Politik tidak perlu mengundurkan diri dari jabatannya, namun meminta untuk di nonaktifkan sementara oleh Presiden (cuti), yang pengaturannya diatur pada Pasal 19 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2009.
Pasal 7 UU 42/2008 selengkapnya berbunyi;
Ayat (1) Gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota yang akan dicalonkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus meminta izin kepada Presiden.
Ayat (2) Surat permintaan izin gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada KPU oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik sebagai dokumen persyaratan calon Presiden atau calon Wakil Presiden.
Ketentuan tersebut kemudian dirinci lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2009 tentang Tata Cara Bagi Pejabat Negara Dalam Melaksanakan Kampanye Pemilihan Umum. Pasal 19 ayat (1) dan ayat (2) mengatur tentang pengajuan permohonan izin tersebut kepada Presiden.
Pasal 19 Pemerintah Nomor 14 Tahun 2009 selengkapnya berbunyi;
(1) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengajukan permohonan izin kepada Presiden.
(2) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, Walikota atau Wakil Walikota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus menyampaikan surat permohonan izin kepada Presiden paling lambat 7 (tujuh) hari sebelum didaftarkan oleh partai politik atau gabungan partai politik di Komisi Pemilihan Umum.
Etika lebih banyak berbicara tentang baik dan buruk, bukan benar atau salah sebab yang berbicara tentang benar atau salah adalah hukum. Baik dan buruk lebih didasarkan norma dan tata krama yang pada umumnya tidak tertulis tetapi telah disepakati oleh masyarakat sebagai suatu tata nilai.
Posisi Gubernur sebagai lembaga eksekutif yang kedudukannya sebagai pelaksana pemerintahan tidak mungkin melepaskan dirinya dari kepentingan rakyat yang di bawahnya. Oleh karena itu secara material Gubenrnur mempunyai kewajiban untuk memberikan pelayanan kepada rakyat atau publik yang diwakilinya. Gubernur sebagai pucuk pemerintahan dalam tindakan dan perbuatan harus menyesuaikan dengan norma-norma yang dianut dan berlaku dalam kebudayaan rakyat yang diwakilinya. Dengan demikian Gubernur sejatinya harus hati-hati dalam mengambil sikap yang akan membebani anggaran rakyat untuk kepentingannya. Dengan memahami etika pemerintahan diharapkan Gubernur dapat mengurangi tindakan-tindakan yang tercela, tidak terpuji dan merugikan masyarakat.
Jika dikaitkan dengan ruh dasar UU 42/2008 terutama Pasal 7 beserta penjelasannya tersebut bahwa pengajuan cuti atau non-aktif tersebut adalah dalam kerangka menjaga etika penyelenggaraan pemerintahan, sudah saatnya pula Gubernur DKI dalam menjaga etika penyelenggaraan pemerintahan untuk mengundurkan diri dari jabatannya karena akan bertarung secara politik menuju jabatan Presiden.#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H