Mohon tunggu...
Masnur Marzuki
Masnur Marzuki Mohon Tunggu... -

Dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Saatnya DPD Bubar?

30 Juni 2014   09:16 Diperbarui: 18 Juni 2015   08:12 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

text-indent:1.0cm;line-height:200%"> 200%;font-family:"Times New Roman","serif"">Sulit membantah fakta kehadiran Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) telah menyedot anggaran belanja negara yang tidak
sedikit. Belanja pegawai dan anggaran pelaksanaan fungsi legislasi dan
pengawasan DPD atas pelaksanaan UU tertentu serta pelaksanaan fungsi pengawasan
anggota di daerah pemilihan, misalnya, menghabiskan dana sedikitnya Rp 609,798
miliar dalam setahun. Jumlah itu belum ditambah pengajuan pagu tahun 2011
sebesar Rp 199,952 miliar untuk pembangunan gedung di 33 ibukota provinsi. Besarnya
biaya yang dihabiskan seakan menguap percuma sebab DPD memiliki kewenangan
konstitusional yang lemah dan terbatas.

text-indent:1.0cm;line-height:200%"> 200%;font-family:"Times New Roman","serif"">Mengingat f mso-ansi-language:NO-BOK">ungsi DPD line-height:200%;font-family:"Times New Roman","serif"">yang adanya seperti ada
dan tiadanya seperti ada, kini semakin banyak pemerhati demokrasi hingga
politisi gencar mewacanakan pembubaran DPD. Ketua DPR Marzuki Alie, misalnya,
pernah menyatakan bahwa usulan pembubaran DPD mungkin saja menjadi kenyataan. Sayangnya,
mengingat keberadaan MPR yang bergantung adanya DPD maka pembubaran DPD menurut
Marzuki Alie berpotensi merusak konsolidasi demokrasi. Komentar Ketua DPR
tersebut merupakan pernyataan “bersayap” yang menyiratkan sikap kian menegaskan
eksistensi DPD sebagai pelengkap penderita dalam konstelasi parlemen Indonesia.

text-indent:1.0cm;line-height:200%"> 200%;font-family:"Times New Roman","serif"">Sejujurnya harus diakui munculnya niat
membubarkan DPD bukanlah wacana baru. Mantan Ketua DPD Ginandjar Kartasasmita
pada 2008 lalu turut menyuarakan pembubaran DPD jika lembaga itu tidak segera diperkuat
kewenangannya. Selain keberadaan lembaga negara semacam DPD yang sulit
ditemukan padanannya di negara lain, kehadiran DPD juga dianggap sebagai bentuk
pemborosan uang negara.

line-height:200%">

line-height:200%">Pemborosan

text-indent:1.0cm;line-height:200%"> 200%;font-family:"Times New Roman","serif"">Rasionalitas politik memang belum
menghendaki perubahan fungsi DPD menjadi lebih kuat. Namun, cukup beralasan dan
rasional mengatakan bahwa keberadaan DPD menimbulkan pemborosan anggaran belanja
negara. Sebagai ilustrasi, anggota DPD yang dipilih langsung oleh rakyat dari
jalur perseorangan, proses pemilihannya telah menelan dana yang tidak sedikit.

text-indent:1.0cm;line-height:200%"> 200%;font-family:"Times New Roman","serif"">Dalam konteks hak keanggotaan,
hampir tidak ada perbedaan antara anggota DPD dan DPR. Dalam hal penggajian,
anggota DPD bergaji hampir sama dengan anggota DPR. Begitu pula, jika DPR dapat
melakukan studi banding ke luar negeri menggunakan uang negara DPD juga dapat
melakukan hal yang sama. Sebagai contoh, kunjungan terbaru anggota DPD ke Eropa
dalam kapasitas pemantapan Law Center, sebuah
lembaga yang saat ini tengah diinisiasi DPD. Meskipun Wakil Ketua DPD, Laode
Ida menegaskan tidak ada yang istimewa dengan kunjungan ke luar negeri yang
dilakukan anggota DPD, tetap saja anggaran yang telah tersedot sekian banyak tidak
memiliki signifikansi sebab DPD memang minim kewenangan.

text-indent:1.0cm;line-height:200%"> 200%;font-family:"Times New Roman","serif"">Perbedaan DPR dan DPD paling
mencolok hanya terletak pada fungsi kelembagaannya. Jika DPR memiliki fungsi
legislasi kuat, tidak demikian halnya dengan DPD. Dalam bidang legislasi
misalnya, DPD hanya diikutkan dalam pembicaraan tingkat pertama baik terhadap
RUU inisiatif pemerintah, DPR maupun inisiatif DPD sendiri. Keikutsertaan DPD
pun hanya bersifat pelengkap atau komplementatif. Tatib DPR menegaskan bahwa
ketidak-hadiran DPD pada pembicaraan tingkat pertama dalam pembahasan RUU tertentu
tidak akan mempengaruhi proses pembahasan hingga pembentukan peraturan
perundang-undangan.

text-indent:1.0cm;line-height:200%"> 200%;font-family:"Times New Roman","serif"">DPD juga tidak berdaya sama sekali
dalam kewenangan dan fungsi anggaran serta fungsi pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang tertentu. Hal ini dikarenakan DPD bukan lembaga negara yang dapat
membuat produk dalam bentuk pengaturan (regelling),
penetapan (beschikking) dan kebijakan
(beleid) yang kuat seperti DPR atau
Presiden. Kalau pun DPD membuat pengaturan (regelling)
misalnya Peraturan Tata Tertib (Tatib), sifatnya pun hanya internal. Lebih
jauh, beberapa substansi pengaturan dalam Tatib DPD bahkan “terpaksa” tunduk mengikuti
Tatib DPR.

text-indent:1.0cm;line-height:200%">Konsolidasi
Demokrasi atau Kepentingan Politik

text-indent:1.0cm;line-height:200%"> 200%;font-family:"Times New Roman","serif"">Publik mungkin bisa memahami bahwa
dalam kerangka konsolidasi demokrasi, pembubaran DPD memang belum perlu
dilakukan. Yang sulit diterima akal sehat adalah tindakan membiarkan DPD terus
menyedot kas negara untuk sesuatu yang tidak berimplikasi apa-apa karena DPD
tidak dibekali kewenangan yang kuat. Elit politik kita terkesan terus “memelihara”
DPD sebagai aksesori demokrasi, bukan sebagai substansi demokrasi. Jutaan suara
rakyat yang telah mengantarkan wakil-wakil daerah duduk di Senayan menjadi
sia-sia sebab DPD tidak diberi saluran konstitusional untuk bekerja sebagai satu
badan perwakilan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun