Saya senang sekali ketika membuka media sosial dan menemukan tulisan teman SMA. Bukan karena kepo (ingin tahu) dengan keadaan mereka saat ini, tapi sebagai bahan renungan buat saya. Melihat teman yang lebih sukses melalui media sosial rasanya sangat tepat untuk berkontemplasi mengingat kembali apa yang telah saya lakukan selama setahun belakangan. Apakah hal yang dilakukan memberikan manfaat positif, ataukah hanya membuang waktu mengerjakan yang tak bermanfaat.
Dari banyak teman yang terhubung di media sosial, ada dua orang teman yang tulisannya saya nantikan. Tulisan keduanya sangat saya nantikan karena secara rutin memberitakan mengenai pengalaman mereka yang saat ini tengah menimba ilmu di amerika serikat. Dan tentunya karena tulisan keduanya terkait dengan bidang komunikasi tengah saya geluti.
Beberapa hari yang lalu tetiba saya dihubungi oleh salah seorang diantara mereka. Kami kemudian berdiskusi mengenai ekonomi kerakyatan dan bagaimana kebijakan pemerintah terkait hal tersebut. Hal yang menarik karena rupaya profesor pembimbingnya sangat tertarik dengan kelas menengah di Indonesia. Selain itu, teman saya juga tertarik dengan kebijakan yang diambil oleh pemerintah dan bagaimana mengkomunikasikan kebijakan tersebut. Hal ini tentu menarik bagi saya karena memang menjadi pekerjaan sehari-hari.
Waktu itu saya kemukakan bahwa kebijakan ekonomi selalu disertakan dengan komunikasi yang baik kepada masyarakat. Pengambilan kebijakan saat ini memperhatikan dinamika yang terjadi di masyarakat dan visi pemerintah dalam kurun waktu ke depan. Oleh sebab itu, strategi komunikasi menjadi asuransi bahwa pesan-pesan yang disampaikan oleh pemerintah maupun masyarakat dapat disampaikan dan diterima dengan baik, sehingga kebijakan yang diambil dapat diterima oleh berbagai pihak.
Namun demikian, dalam praktik yang berkembang di amerika serikat, strategi komunikasi ternyata belum cukup bagi kebijakan atau entitas organisasi dalam mendapatkan dukungan stakeholdernya. Perkembangan teknologi komunikasi yang sangat pesat disana membuat pesan-pesan diproduksi dalam jumlah yang sangat banyak. Hal ini yang diduga membuat komunikasi publik menjadi tidak mudah. Orang tidak lagi mudah menerima dan percaya dengan informasi yang diterima.
Teman lain yang tengah mengikuti pendidikan singkat di amerika mengungkapkan institusi publik di sana sudah menerapkan engagement strategy dengan cukup intens. Salah satu lembaga pendidikan tinggi disana misalnya secara reguler mengadakan pertemuan dengan masyarakat sekitar. Pertemuan tersebut dilakukan untuk menguatkan relasi dengan masyarakat sekitar kampus.
Kebetulan kampus di sana sama seperti di Indonesia, di sekitarnya banyak rumah yang dijadikan boarding house atau kos-kosan. Ketika ada masalah sosial yang disebabkan oleh mahasiswa, pihak kampus yang turun tangan. warga sekitar terbiasa dengan melaporkannya ke pihak universitas ketimbang langsung melaporkannya kepada pihak kepolisian. Ketika mendapatkan laporan dari warga sekitar, pihak universitas dengan tanggap merespon dan langsung turun ke lapangan.Â
Mahasiswa yang membuat keonaran di lingkungan kos-kosannya biasanya takut ketika warga melapor ke pihak universitas. Mereka takut karena jika pihak universitas yang turun bakal mendapat sanksi. Sanksi tersebut bisa berupa teguran atau jika sudah terakumulasi maka mahasiswa bisa dikeluarkan dari kampus.
Selain itu, pihak kampus juga rutin melakukan pertemuan dengan warga. Biasana pertemuan tersebut diisi dengan kursus singkat untuk menjawab persoalan yang dihadapi warga. Melalui pertemuan ini warga bisa menyampaikan keluhannya dan pada pertemuan tersebut. Tidak jarang, warga juga memberikan masukan dan kontribusi yang positif kepada pihak kampus.
Interaksi yang dilakukkan oleh pihak kampus melalui pertemuan rutin dan langsung merespon keluhan warga merupakan salah satu bentuk engagement strategy yang diterapakan. Dengan strategy ini kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan kampus mendapat dukungan penuh dari warga sekitar kampus.
Selain kepada warga lingkungan, strategy ini juga diterapkan kepada para alumni. Pihak kampus melihat bahwa terdapat kebutuhan bagi kampus untuk menyalurkan mahasiswanya ke lapangan kerja.Â
Sementara dengan usia kampus yang terbilang tua, alumni yang dimiliki juga terbilang banyak. Engagement strategy yang digunakan kampus diimplementasikan dengan cara mengadakan pertemuan antara alumni dengan mahasiswa secara rutin. Dalam pertemuan tersebut alumni kembali belajar mengenai perkembangan ilmu pengetahuan terkini, sementara mahasiswa dapat belajar mengenai praktik dunia kerja yang telah digeluti oleh para alumni.Â
Tak jarang interaksi antara alumni dan mahasiswa membuka peluang lowongan kerja. Dalam perkembangannya, interaksi yang rutin di fasilitasi oleh pihak kampus malah meningkatkan rasa keterikatan alumni dan mahasiswa kepada kampus. Ketika rasa keterikatan itu tinggi, penggalangan dana yang dilakukan oleh kampus menjadi sangat mudah.Â
Hal ini tentu saja membawa kebaikan bagi kampus karena dapat membiayai program-program yang bermanfaat bagi kampus dan stakeholdernya.
Engagement strategy nampaknya secara ekstensif juga digunakan dalam bidang politik di Amerika serikat. Sebelumnya bayangan saya praktik komunikasi politik yang dilakukan sama dengan Indonesia. Jelang pemilihan umum para caleg berlomba-lomba memasang poster, baliho dan iklan dimana-mana. Tak jarang poster juga ditempel di pepohonan untuk menarik perhatian warga.
Setelah pemilu usai, caleg yang mukanya terpampang di baliho, spanduk dan iklan tersebut hilang entah ke mana tidak lagi terdengar oleh publik. Hanya beberapa caleg terpilih yang terlihat wira-wiri di media.
Praktik komunikasi politik yang dilakukan amerika serikat (versi dprdnya) nampaknya tidak berbeda dengan Indonesia tapi lebih ekspansif. Pada saat pemilihan umum tingkat lokal yg diselenggarakan dua tahun sekali, para caleg/calon eksekutif juga melakukan kampanye dan beriklan. Uniknya disana (pada daerah yg dikunjungi teman saya) pemilihan kepala daerah tidak harus terkait dengan partai politik. Pada kasus yg teman saya temui, calon kepala daerah dari partai demokrat malah dukung oleh partai republik. "saya mr.x dari partai republik, saya mendukung mr.z (dari partai demokrat) sebagai kepala daerah" tutur teman saya yang menyaksikan iklan pada televisi lokal disana.
Lantas apa engagement strategy yang dilakukan oleh caleg di amerika serikat? Rupanya mereka rutin untuk berkeliling kota menanyakan apa masalah yang mereka hadapi dan bagaimana pemerintah dapat membantu. Jika diingat-ingat nampaknya strategy ini mirip dengan strategy yang digunakan pak jokowi pada waktu menjadi walikota solo. Masyarakat disapa secara langsung dan itu yang mereka lakukan tiap harinya. Pekerjaan legislatif atau eksekutif dilakukan sebagai pekerjaan utama.
Selain itu, bentuk engagement yang dilakukan adalah secara rutin melaporkan penggunaan dana yang mereka gunakan untuk kegiatan politik. Keterbukaan ini dilakukan karena mereka dibolehkan untuk menggalang dana untuk membiayai isu yang mereka perjuangankan. Dengan keterbukaan ini warga dapat menilai apakah isu yang dihadapi oleh mereka diperjuangkan dengan baik oleh wakil mereka di parlemen/pemerintahan. Ketika mereka tahu isu tersebut diperjuangkan, rasa keterikatan dengan wakil mereka menjadi tinggi. Tak heran jika dalam pemilihan berikutnya dapat terpilih lagi.
Rasanya banyak yang bisa kita pelajari dari penerapan engagement starategy. Dan rasanya saya juga condong bahwa strategy komunikasi pada tahapan tertentu belum memadai. Diperlukan egagement strategy untuk menggapai tujuan. Maksud yang kita ingin sampaikan kadang kala tidak sampai jika hanya satu atau dua kali komunikasi. Perlu komunikasi yang intens dan berkelanjutan agar tujuan komunikasi terwujudkan. Engagement strategy dapat menjadi alternative pilihan.
Sayang saya hanya bisa mendapatkan kabar tanpa menyaksikan langsung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H