Mohon tunggu...
Nico Aditia
Nico Aditia Mohon Tunggu... Penulis - menulis dan berbagi ide

komen untuk komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Setelah Bencana Melanda

6 November 2018   08:37 Diperbarui: 6 November 2018   08:50 552
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia adalah negara yang dikelilingi oleh gunung berapi. Indonesia juga negara tempat bertemunya beberapa lempeng benua. Indonesia memiliki garis pantai yang panjang. Laut indonesia pun lebih besar ketimbang daratan. Tak heran jika sebenarnya Indonesia adalah supermarketnya bencana, dan kerap kali terjadi tsunami.

Jepang sama seperti Indonesia. Negeri itu juga kerap dilanda bencana karena berada dalam jalur ring of fire dan pertemuan lempeng benua. Kita sering terkagum bagaimana antisipasi mereka terhadap bencana dan respon setelah terjadinya bencana. 

Bangunan di Jepang dibuat dengan struktur tahan gempa. Tanggul besar dibangun untuk menahan terjangan tsunami. Pelatihan bencana rutin dilakukan. 

Masyarakatnya terlatih dan siaga terhadap bencana.  Namun demikian, meskipun antisipasi bencana telah dilakukan dan respon terhadap bencana dinaikan, tetap saja kerusakan dan kehilangan tidak bisa dihindari. 

Jepang tetap menderita selepas bencana datang. Banyak nyawa hilang, bangunan hancur dan kehidupan porak poranda. Uniknya, selepas bencana, masyarakat dan kehidupannya cepat berangsur pulih. Infrastruktur cepat kembali seperti semula, pelayanan kepada masyarakat cepat pulih, masyarakatnya bisa beraktivitas kembali.

Sekali lagi ini membuktikan bahwa daya tahan Jepang terhadap bencana sangat tinggi. Mungkin karena mereka sering ditimpa bencana dan belajar beradaptasi dengan hal itu.

Bagaimana dengan Indonesia? Secara geografis Indonesia bisa dibilang mirip dengan Jepang, bahkan lebih, karena kita bukan lagi dilintasi jalur ring of fire tapi juga dikelilingi. Bencana pun kerap terjadi disini. Hampir tiap tahunnya bencana banjir, gempa, tanah longsor dan gunung meletus datang silih berganti. 

Korban, kerusakan gedung, bangunan dan infrastruktur kerap jadi bahan pemberitaan. Untuk bencana sebenarnya terdapat badan pemerintah yang bertugas untuk merespon. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika misalnya bertugas untuk mendeteksi dan memberikan peringatan secara dini adanya tsunami. 

Pusat vulkanologi memberikan informasi mengenai status dari gunung berapi. Badan Nasional Penanggulangan Bencana untuk menanggulangi bencana secara umum. 

Mulai dari identifikasi, mitigasi dan penanggulangan bencana sebenarnya perangkat yang dimiliki Indonesia relatif sudah[1] cukup lengkap. Pada tahun 2018 dana tanggap darurat untuk cadangan menanggulangi bencana mencapai 4 triliun rupiah. 

Dana tersebut terbagi menjadi 2 triliun untuk tanggap bencana dan 2 triliun untuk penanganan pasca bencana, seperti revitalisasi dan rekonstruksi ulang. Dalam APBN, dana tersebut diambil dari pos belanja lain-lain dengan nilai mencapai Rp67,2 triliun pada tahun ini atau meningkat 34,66 persen dari APBN Perubahan 2017 sebesar Rp49,9 triliun.

Meski memiliki perangkat yang cukup lengkap, secara finansial dan ekonomi, perangkat yang dimiliki indonesia masih belum lengkap. Setelah bencana, recovery bangunan fisik baik infrastruktur dan aset pemerintah masih sangat mengandalkan APBN. Hal ini bisa kita lihat pada penanganan setelah bencana yang melanda Aceh, Yogya, Lombok, Palu, Sigi dan Donggala. 

Meski bantuan dari masyarakat dan internasional mengalir, tapi agar bangunan fisik milik pemerintah dapat recovery pulih seperti sedia kala nampaknya masih sangat mengandalkan APBN. Hal ini tentu saja berakibat proses recovery yang terjadi akan berlangsung lama, karena dana APBN terbatas dan memerlukan pembiayaan multiyears untuk memulihkan seperti sedia kala.

Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan kemudian menggagas asuransi bencana. Semua aset-aset fisik bangunan Yang dibangun dan dimiliki pemerintah pada wilayah rawan bencana diasuransikan. 

Sehingga ketika terjadi bencana dan aset fisik itu rusak dapat segera dibangun kembali menggunakan uang asuransi, bukan dengan APBN. 

Banyak negara yang sudah menerapkan hal ini, termasuk diantaranya adalah filipina. Dengan adanya asuransi bencana selain mempercepat recovery bencana dan meringankan beban APBN juga akan memperluas cakupan sektor yang bisa ditangani.

Dalam acara Annual Meeting IMF dan Bank Dunia di Bali kemarin, Menteri Keuangan menyampaikan bahwa pihaknya akan mengidentifikasi dan memikirkan kebijakan fiskal dan instrumen keuangan terbaik untuk mendukung rehabilitasi yang paling efektif dan paling cepat. 

Menurut Menkeu, ketergantungan penanggulangan bencana kepada APBN memiliki risiko apabila biaya penanggulangan bencana melebihi pagu anggaran yang tersedia mengingat pagu anggaran pemerintah sudah terikat pada belanja rutin.  

Sementara itu, selain mengasuransikan aset-aset pemerintah, asuransi bencana yang digagas pemerintah juga akan melindungi rumah tangga yang terdampak dan kehidupan sosial masyarakat.

Komitmen pemerintah untuk mewujudkan asuransi bencana nampaknya tidak main-main. Bencana yang berulang terjadi pada tahun ini nampaknya makin meneguhkan pandangan bahwa asuransi bencana adalah keharusan. Namun demikian untuk mewujudkan gagasan tersebut pemerintah juga perlu untuk melihat kesiapan perusahaan asuransi dan produk yang ditawarkan. 

Apakah perusahaan asuransi berasal dari dalam negeri, ataukah dari luar negeri. Berapa premi asuransi yang harus dibayarkan. Kemanakah premi asuransi tersebut diinvestasikan. Pemilihan perusahaan asuransi tentu juga harus dilakukan secara matang. 

Jika asuransi dalam negeri, apakah ketika bencana tersebut berskala nasional dipastikan aman dan mampu membayar polis. Jika asuransi luar negeri, apakah dapat mengganggu devisa negara. Bagaimana dengan kemampuan negara dalam membayar preminya. Sederet pertanyaan ini tentu harus terjawab sebelum gagasan dapat diimplementasikan.

Yang paling penting adalah, bagaimana implementasi kebijakan ini dikomunikasikan. Seperti diketahui bahwa asuransi merupakan produk yang tak kasat mata. Produk ini juga tidak akan dirasakan ketika mengeluarkan uang ketika membayar premi. 

Hal yang berbeda dengan jasa pada umumnya. Manfaat asuransi baru dapat dirasakan setelah klausul dalam kontrak terjadi. Kontrak tentu juga sudah memperhitungkan peluang terjadinya bencana muncul. Boleh jadi selama sepanjang klausul perjanjian, kejadian yang dijaminkan dalam asuransi tidak pernah terjadi. 

Hal ini tentu saja berakibat manfaat asuransi secara kasat mata tidak pernah dilihat oleh publik. Dengan kata lain, asuransi sebenarnya menyediakan "produk" rasa aman bagi pembelinya ketika bencana itu tidak pernah terjadi. Jika hal ini terjadi tentu pemerintah harus siap sedia menjelaskan kepada publik. 

Apalagi jika isu ini masuk dallam ranah politik. Masyarakat yang awam akan mudah sekali terbawa isu pemborosan anggaran melalui asuransi bencana. Karena memang asuransi tidak mudah dipahami kalangan awam.

Tentu semangat pemerintah untuk menerapkan gagasan asuransi bencana perlu kita dukung. Indonesia merupakan negara supermarket bencana. Peluang terjadinya bencana relatif tinggi dibanding negara lainnya. Namun, pemerintah juga meski lihai dalam mengkomunikasikan kepada publik selain memikirkan kebijakan tersebut secara matang.

[1]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun