Bus besar yang kami tumpangi berjalan terseok di jalur sempit. Panjang berliku naik turun perbukitan, Â hingga penumpang di dalamnya terguncang kekiri dan ke kanan.
Perjalanan dari kota Cirebon selama 4 jam lebih membawa kesan yang sangat melelahkan.  Kami sampai  di tujuan dengan kelelahan yang sudah mencapai puncak.  Sehingga sebgian besar para penumpang memilih untuk istirahat yang disediakan sebagai tempat menginap. Â
Ya, hari itu kami serombongan warga Meteseh memang sedang mengadakan ziarah Walisongo, Â dan setelah mampir di beberapa situs makam para wali di Tengah dan Cirebon, Â kami meneruskan perjalanan ke Panjalu Ciamis.
Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 dinihari. Â Saya tidak dapat memicingkan mata sedikitpun. Wilayah Ciamis waktu itu memang sedang banyak turun hujan. Â Sehingga hawa dingin menusuk tulang. Apalagi saya hanya memakai sarung dan celana kolor. Â Saya abai diingatkan orang rumah untuk bawa jaket dan celana panjang. Akhirnya malam itu saya lalui dengan mengobrol dengan awak bus dan peserta lain yang sama-sama tak bisa tidur.
Beberapa menit sebelum subuh, Â kepala rombongan dengan suara sedikit keras membangunkan para peserta. Â Mereka bergegas bangun, Â mandi, wudlu dan berjejer membuat shaf sholat subuh. Â
Selepas subuh sebelum sarapan, Â kami digiring menuju dermaga pinggir danau. Â Hari masih gelap, Â tapi suasana sudah sangat ramai. Â Kendaraan roda empat, Â bus besar kecil, Â kendaraan roda dua banyak terparkir di sisi kiri dan kanan jalan.
"Saat saya bertanya mengapa jauh-jauh datang kemari?"
" Mau ikut Nyangku" nah loh makin bungung saya. Â Maklum saya beru pertama kali datang ke Panjalu dan dengar istilah nyangku malah dari orang luar Panjalu. Â
Akhirnya saya tahu bahwa Nyangku adalah prosesi penyucian pusaka yang  dibawa dari bumi alit menuju ke makam yaang ada di tengah-tengah Situ Lengkong sebagai  penghormatan kepada Sang Hyng Borosngora dan Pangeran Hariang Kantjana (wikipedia)Â
Akhirnya kami sampai di tepian danau. Â Seseorang berteriak nama-nama kota. Â Lalu setelah yang dipanggil masuk perahu salah seorang anggota rombongan segera memungut ongkos ke bukit Panjalau sebesar 15.000 perorang. Â Para pengelola perahu nampaknya tak ingin ada satupun yang kelewat. Â Ia bolak balik melihat tumpukan uang di tangannya dan bergantian menengok para penumpang. Â Ternyata di pojokan perahu ada sepasang embah-embah yang belum bayar, Â rupanya keduanya tuli jadi tidak paham apa yang terjadi.
Orang-orang diperahu pun mengeluh panjang "Ooooo", pantas  perahu nggak segera berangkat.  Ternyata karena ada peserta yang belum bayar.
Saya sendiri  ikut perahu dari rombongan yang berasal dari kota lain.  Dan nggak bayar lagi. Soalnya perahu terakhir dan sepertinya mereka sudah dimintai ongkos saat masih di atas perahu.  Ya sudahlah.. Wkwkwkwk.
Bukit panjalu memancarkan cahaya kelap-kelip lampu, Â posisinya berhapan dengan dermaga. Â Tapi ternyata perahu memutar mengelilingi bukit terlebih dahulu dan baru merapat setelah satu putaran. Dan inilah agenda wisata yang dijual oleh pemda Ciamis. Mungkin biar imbang naik perahunya. Tidak langsung njujug dan bisa menikmati keindahan danau di atas perahu.
Terlihat  dekat di arah timur,  matahari muncul perlahan.  Seperti memamerkan lukisan alam.  Perlahan suasana mulai terang.  Angin sepoi-sepoi menyegarkan hati.  Orang-orang berceloteh tentang keindahan alam yang mereka lihat.  2 menit berlalu, ternyata tujuan sudah di depan mata. Â
Kapal merapat, Â nahkoda melempar tali dan melilitkan ke tambatan perahu. Â Orang-orang turun bergantian. Â Di depan sebuah gapura besar. Â Terpampang 2 Patung Hariamu, Â warna loreng putih dan kuning. Orang setempat menyebutnya Maung Panjalu. Â
Konon Maung Panjalu adalah jelmaan  cucu kembar Prabu Siliwangi. Mereka membuat kesalahan dan  melanggar larangan,  akibatnya dua cucu kembar Prabu Siliwangi  ini berubah menjadi harimau atau maung dalam bahasa Sunda.  Mereka diselamatkan oleh Raja Panjalu,  sehingga mereka berjanji akan melindungi warga Panjalu. Dan diabadikan dalam bentuk patung harimau yang dipasang di pintu gerbang Kerajaan Panjalu. Â
Memasuki gerbang,  terpampang anak  ratusan anak tangga sampai puncak.  Saya menghitung antara naik dan turun tidak sama jumlahnya.  Mungkin lain kali akan saya tandai dengan kapur tulis agar tidak keliru.  Sepanjang jalan menaiki anak tangga terdengar cicitan kalong raksasa yang bertengger di puncak-puncak pohon tinggi.  Mereka terlihat terbalik dengan kepala berada di bawah.  Kata salah seorang pengelola,  kalong-kalong ini memperlihatkan diri kalau di panjalu sedang ada ritual Nyangku.  Dan memang terbukti tahun berikutnya saya berkunjung ke sini tak ada satupun kalong yang nongol.
Kalau saya sih biasa saja karena kalau di kampng tetangga ada yang jadi paranormal yang setiap hari membakar kemenyan dan aromanya menebar ke seluruh kampung.
Saya segera turun bersama rombongan yang lain, Â dan dipesan oleh pengelola setempat tidak boleh lama-lama karena tempatnya mau dipakai ritual Nyangku. Â Kami sepakat. Â Lalu ketua rombongan segera memimpin doa, tak lama, Â karena harus bergantian dengan rombongan lain.
Tak lama setelahnya, Â rombongan kami sudah berada di dermaga. Tak sampai satu menit saat pulang. Â Beberapa kapal hias sudah siap. Â Bahkan banyak terlihat anggota keamanan baik dari TNI/Polri berjaga. Â Mereka ikut mengatur ketertiban para pengunjung.
Saat balik ke terminal ini rute pengunjung akan diatur berputar mengitari pasar rakyat. Â Banyak barang yang dijual. Â Dari camilan souvenir, kaos, Â baju, jas, Â oleh-oleh khas Ciamis atau sarapan pagi. Â Saya juga menyempatkan sarapan pagi dengan lauk ikan goreng dan menyantap sambal lalap sepuasnya. Â
Mendekati penginapan, warga sudah banyak berkumpul. Â Ratusan, Â atau mungkin ribuan orang. Â Saya bergegas menuju ke lokasi Bumi Alit, Â museum tempat menyimpan benda pusaka yang akan diarak menuju situ panjalu. Â
Di situ seperti tidak bisa bergerak. Â Ratusan orang mengarahkan kamera ke dalam pagar di area bumi alit. Â Terlihat beberapa orang mengambil sesuatu dari dalam ruangan, Â lalu menyerahkannya pada orang lain begitu seterusnya sampai beberapa barang yang saya duga adalah pusaka berada di tangan masing-masing petugas. Â
Lalu seperti ada aba-aba, Â rombongan bergerak menyusuri jalan diiringi sholawat dan dan grup rebana. Â Peserta arak-arakan maupun para pengunjung, semua terlihat bergembira. Â Prosesi Nyangku sudah tiba. Â Mereka menunggunya setiap tahun.
Anggota keamanan mengatur lalulintas, Â mereka mencegah agar kendaraan dari arah berlawanan tidak menahan diri untuk tidak bergerak, Â sampai rombongan arak-arakan berbelok ke ke Situ Panjalu. Â
Di dermaga, puluhan perahu sudah menunggu untuk membawa rombongan menuju ke bukit Panjalu. Â
Saya hidmat menyimak rangkaian acara Nyangku dari awal sampai akhir di dermaga dan tak bisa mengikuti rombongan nyangku. Karena saya harus kembali ke rombongan saya, Â meneruskan perjalanan panjang menuju Tasikmalaya.
Ini prosesi nyangku. Bonus buat anda yang penasaran
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H