Pada jaman dahulu sebelum alat penukar yang sah, yang mewakili semua  harga  barang dan fleksibel digunakan, para manusia mendistribusikan barang-barang dengan cara barter.
Barter dilakukan karena para manusia tidak dapat memproduksi sendiri barang-barang keperluannya, dan saling tukar menukar dengan barang yang dibutuhkan manusia lain.
Sampai alat penukar yang sah berupa mata uang diketemukan, para manusia mulai melakukan penukaran barang dengan proses jual beli.
Jual beli diyakini sebagai usaha yang legal untuk memperoleh barang-barang yang diinginkan. Sebab dengan jual beli ada kesepakatan antara penjual dan pembeli yang membuat sebuah transaksi sah dan tifak perlu lagi dipermasalahkan setelahnya. Sebab dalam sebuah jual beli sudah ada perjanjian saling menerima, pembeli menerima barang , dan penjual menerima uang sebagai alat penukar yang sah.
Keberadaan uang sebagai alat penukar yang sah, memacu para manusia untuk memburunya dengan cara apapun. Bekerja dengan cara menjual barang dan jasa adalah hal yang lazim dilakukan.
Lembaran-lembaran uang menjadi harapan para manusia untuk mewujudkan keinginannya. Semua dilakukan demi untuk mendapatkan uang.
Para pekerja bangunan rela menahan panas dan hujan demi lembaran uang. Para pegawai dengan sabar menunggu sampai akhir bulan dengan tetap menjalankan pekerjaannya karena pada tanggal muda pasti menerima bayaran sebagai hasil jerih payah selama sebulan.
Konon ujung dari permainan politik adalah kewenangan mengelola anggaran negara yang besar. Partai yang berkuasa melalui tangan para agen yang duduk di kursi pengelola negara baik yang  di badan eksekutif, yudikatif, maupun legislatif adalah para wakil rakyat yang dipercaya mengelola anggaran negara berupa uang.
Terkadang uang menjadikan manusia gelap mata. Â Kebutuhan akan uang yang tak dibarengi dengan kepemilikan usaha yang tetap, mendorong seseorang untuk melakukan kejahatan.
Pencurian, perampokan, penjambretan, penodongan, pencopetan, korupsi, penggelapan, adalah cara-cara yang tidak sah dalam memperoleh uang.