Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Jamu Tradisional Bisnis Moncer Saat Pandemi Covid-19

23 April 2020   12:45 Diperbarui: 23 April 2020   12:48 818
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penjual jamu yang  tak lagi jarikan | dokumen pribadi

Rempah-rempah asal nusantara sudah diyakini masyarakat dunia sebagai bahan obat tradidional  yang  kaya manfaat.  
Bahkan formulasi rempah Indonesia dikolaborasi dengan senyawa obat  buatan pabrik berupa cairan atau bubuk ekstrak menjadi sebuah produk berkasiat,  multi manfaat dan menjadi genre bisnis yang  menjanjikan.

Kita mengenal produsen jamu tradisional  berskala besar Yang sampai saat ini produknya masih berjaya di Indonesia.  Air Mancur,  Jamu Djago, Nyonya Menner, Sido Muncul, adalah merek terkemuka yang namanya masih melekat erat dalam benak masyarakat Indonesia bahkan mancanegara.

Jamu pegel linu, jamu pusing,  jamu sakit perut,  bahkan jamu untuk keperluan persalinan diproduksi  oleh pabrik-pabrik ini.
Juga jamu pembangkit stamina pria yang  bisa dinikmati  oleh pria khusus dewasa.

Konon efek jamu memang lebih lambat menangkal segala macam penyakit.  Tapi karena senyawa jamu yang  tak menggunakan obat kimia, menjadikannya tanpa efek samping dan tak menjadikan peminatnya jadi ketagihan.

Saat virus corona merebak,  para penjual jamu tradisional  seperti mendapatkan berkah khusus.  Orang-orang Yang sebelumnya tak pernah akrab dengan jamu mendadak jatuh cinta menikmati jamu.

Jaman dahulu,  saat saya masih kanak-kanak,  penjual jamu gendong yang  berkeliling kampung menggunakan bakul yang  digendong menggunakan selendang.
Bakul ini berisi botol-botol yang  berisi racikan jamu tradisional seperti;  beras kencur,  temu lawak,  kunir asem,  jamu paitan dari daun kates,  brotowali,  dan terkadang jamu pabrikan yang  diseduh dengan air termos.

Bahkan beberapa mbak jamu menyeddiakan jamu khusus lelaki dengan bungkus gambar seronok yang  membuat penasaran para pelanggannya.

Para penjual jamu ini biasanya menggunakan pakaian berupa balutan jarik dan baju tradisional  jawa.  Dengan tampilan bokong yang mlidit,  dan pelayanan ramah, sudah cukup menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelanggan.  Apalagi kalau  penjual jamunya cantik,  berkulit putih,  sedikit kemayu, menambah pesona jamu makin kinclong.

Di kampung saya Bandungan,  para penjual jamu adalah warga pendatang yang  berasal dari wonogiri.  Mereka mengontrak rumah sederhana secara berombongan.  Dan biasanya mereka pulang kampung pada akhir pekan untuk bertemu keluarga.  

Para penjual jamu gendong di tempat kami ada juga yang  membawa serta keluarga.  Suami bekerja sebagai buruh harian lepas,  dan istri menjadi penjual jamu gendong.

Saat saya tinggal di Semarang,  para penjual jamu tak lagi dengan balutan jarik untuk pakaiannya.  Melainkan memakai rok atau baju kurung lengkap dengan jilbab.  Dan sesuai kemajuan jaman,  mereka tak menggunakan bakul atau tenggok untuk menjajakan jamu,  melainkan menata botol jamu dalam gerobak kecil di atas kendaraan bermotor.

Tak hanya para perempuan,  pedagang  jamu yang  lewat di tempat kami juga para kaum lelaki.  Mereka menggunakan motor dan berkeliling perumahan menjumpai para pelanggan.

Seorang pedagang jamu yang  saya jumpai di Pasar Meteseh menuturkan bahwa Pandemi covid-19 yang  telah menumbangkan banyak sektor ekonomi, membuat dagangannya semakin laris.  Ibu penjual jamu ini mengatakan bahwa di hari biasa ia memjual jamu dari pagi sampai tengah hari saat pasar Meteseh tutup. Setelah itu ia akan melanjutkan berkeliling kampung untuk menghabiskan dagangannya.  

Tapi setelah adanya pandemi ini ia justru merasa diuntungkan.  Memang komoditas dasar sebagai bahan jamu seperti jahe,  kencur,  kunir,  brotowali, cabe puyang,  asem, harganya naik 3X lipat.  Tapi ia bersyukur karena penjualannya naik seiring kebutuhan masayarakat pada jamu yang  dibuatnya.

Penjual jamu yang  tak lagi jarikan | dokumen pribadi
Penjual jamu yang  tak lagi jarikan | dokumen pribadi
Ibu penjual jamu yang  tak mau disebutkan namanya ini mengatakan bahwa bahwa keahlian membuat jamu diturunkan dari nenek ke ibunya,  dan sekarang ia sendiri. Ia mengatakan bahwa jamu yang  dibuatnya menggunakan bahan-bahan asli.  Bukan ekstrak atau bubuk rempah-rempah.

"Saya kawatir mas,  ada produsen yang  mencampurkan pewarna pada bubuk kunyit", paparnya.

Secara sekilas ia juga menerangkan bahwa jamu yang  dibuatnya menggunakan air hangat,  ia memeras sendiri semua bahan setelah memarutnya. Dan saya percaya karena tangan ibu ini berwarna kuning terkena warna alami kunyit.

Di pasar tradisional juga ada penjual jamu tradisional yang  melayani pelanggan secara langsung dengan memeras parutan rempah-rempah jamu,  dan pelanggan menikmatinya menggunakan cangkir dari batok kelapa.  Penjual jamu semacam ini bisa anda jumpai di pasar Ungaran atau pasar Prodjo Ambarawa.

Jamu tradisional juga banyak dijual dalam bentuk paket yang  siap direbus menggunakan kendi dari tanah liat.  Untuk jamu semacam ini anda bisa membelinya di toko-toko jamu tradisional,  kalau di Ambarawa,  Jamu Oenta  di seputaran pasar Gamblok adalah salah satu  produsen yang  terkenal.

Saya sendiri sangat suka dengan produk jamu.  Dan jamu yang  paling saya sukai adalah brotowali,  sebab meskipun rasanya sangat pahit,  bisa dinetralkan dengan minum jamu kunir asem,  dan setelah minum jamu badan saya akan terasa lebih segar,  perut terasa lega,  dan nyamuk-nyamuk enggan menyapa...

Jamu apa yang  paling anda sukai?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun