Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Orang Jawa Memanggil Anak dengan Nama Alat Kelamin

17 April 2020   09:01 Diperbarui: 14 Juni 2021   11:18 12229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Orang Jawa Memanggil Anak dengan Nama Alat Kelamin. | Ilustrasi pixabay

Orang jawa memandang bahwa hal-hal tabu untuk dilakukan atau diucapkan menggunakan kata saru sebagai ungkapan yang ringkas tapi menunjukkan makna yang luas. Akronim dari kata kesasar dan keliru.

Misalnya, anak perempuan yang duduk mekangkang di depan umum itu saru. Lelaki yang suka memegang-megang alat kelaminya sendiri di muka umum itu saru

Hal  yang  paling umum sebagai sesuatu yang  saru,  dan tidak pantas adalah menyebut alat kelamin. Meskipun semua orang menyadari bahwa dalam jenis kelamin adalah pertanda khusus yang  menunjukkan seseorang dikatakan sebagai laki-laki atau perempuan.

Sejak jaman dahulu orang jawa memanggil anaknya dengan kata yang berkoniotasi pada alat kelamin. 

Ada dua kata yang dipakai, Thole untuk anak laki-laki dan denok untuk anak perempuan.

Baca juga: Mengapa Dulu Nama Jawa Suka Pakai "SU"?

"Thole" panggilan untuk anak laki-laki

Oleh emak,  saya memang dipanggil dengan sebutan le atau thole. Konon thole diadopsi dari kata "konthol" (penis)  dan le yang berarti laki-laki yang punya penis, untuk menggambarkan bahwa saya memang anak laki-lakinya.  Terkadang emak juga memanggil saya dengan sebutan "nang', yang diadopsi dari kata lanang yang berarti laki-laki.

Karakter pendidikan sex jawa menggunakan banyak simbol bahasa sebagai ungkapan untuk menghaluskan penyebutan, yang  dalam ilmu linguistik disebut sebagai kramanisasi seksual.

Sangat menarik apa yang disampaikan oleh Prof. DR.  Damardjati  Soepadjar,  seorang Guru Besar Filsafat Universitas Gajah Mada bahwa pusat peradaban dunia itu  ada pada alat kelamin  sehingga saat sebuah ide berputar-putar, maka akan kembali lagi ke porosnya sebagaimana perputaran planet-planet yang bertebaran di angkasa.

Beliau mencontohkan suatu kali dalam sebuah kuliah umum mengenai filsafat, seorang bocah kecil berusia 2 tahun yang  belum bisa memahami makna penis bagi dirinya akan tertawa terbahak saat kemaluannya disentuh oleh  orang lain.

Baca juga: Apa Ciri Nama Orang Jawa?

Di daerah Jawa bagian kulon atau di jawa barat, anak lelaki dipanggil dengan "nang'. Dari kata lanang, atau "cung" dari kata ngacung, yang  diadopsi dari istilah penis yang ereksi dan mengacung. Atau ujung  penis yang belum disunat yang masih berupa kuncung. Meskipun anak laki-laki  yang  sudah dewasa pun tetap dipanggil dengan nama cung  oleh ayah ibunya.

Saat kita menggendong bayi pun orang akan bertanya, "ini nang apa nok?"

Kita akan menjawab nang bila bayinya laki-laki,  dan menjawab nok  bila bayinya perempuan.

Wuk dan Nok untuk paggilan anak perempuan

Wuk diadopsi dari kata Bawuk atau wawuk untuk istilah jawa Yang berarti vagina. Mengacu pada alat genital yang  tersembunyi dan terselip diantara pangkal paha. 

Disebut wawuk katena menguar aroma tidak sedap sebagai proses hormonal dalam sebuah liang  yang berfungsi sebagai alat reproduksi saat cairan sperma datang dan menyeleksinya untuk dihantar  ke indung telur dan akan bernasib menjadi anak laki-laki atau perempuan.  

Baca juga: Kalau hormon dalam keadaan basa maka akan jadi laki-laki dan bila hormon perempuan dalam keadaan asam akan menjadi perempuan.

Panggilan wuk sangat akrab di telinga orang jawa. Biasanya panggilan ini disematkan bagi anak perempuan yang  masih bocah atau menginjak remaja.  Sedangkan mereka yang  sudah dewasa bisa dipanggil dengan kata jeng dari kata diajeng.

Selain wuk,  orang jawa juga memanggil kata nok,  atau  denok untuk anak perempuan .  Yang berarti sebuah bagian yang  menonjol pada tubuh berupa payudara  sebagai ciri bahwa ia adalah perempuan.

Panggilan le, nang, nok, atau wuk, berlaku secara umum  untuk semua anak laki-laki dan perempuan.  

Sedangkan pada masa lalu saat perbedaan kasta priyayi dan wong cilik masih sangat kental, untuk memanggil anak-anak majikan bisa dengan sebutan den,  dari kata raden. Den bagus untuk anak laki-laki dan den ayu untuk anak perempuan.

Sedangkan untuk majikan dewasa bisa menggunakan kata panggilan ndoro.

Ini adalah khazanah antropologi jawa yang  bila terus dikupas akan melahirkan pemahaman baru akan  budaya adiluhung yang  ada dalam masyarakat jawa.

Meskipun  dari satu  sisi terlihat sebagai hal yang tabu,  saru,  ora ilok, tidak pantas untuk diucapkan secara vulgar,  akan tetapi wujud secara nyata dalam berbagai istilah umum  untuk panggilan bagi anak-anak di jawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun