Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Kisah Wabah Kolera di Kampung Rejosari Meteseh Kota Semarang

16 Maret 2020   22:25 Diperbarui: 16 Maret 2020   22:51 831
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Merebaknya virus corona membuat semua orang prihatin. Tak hanya orang-orang kota tapi keprihatinan juga muncul di kampung-kampung.  Di warung wedangan biasa tempat kami berkumpul.

Orang-orang kampung yang jauh dari alat informasi pun ikut merasa terusik dengan kehadiran virus corona yang  yang terus menerus menghiasi  berita di televisi.

Bahkan salah seorang tetua dari kampung Rejosari bercerita bahwa dahulu di tahun 70-an pernah terjadi pagebluk berupa penyakit kolera.

Orang-orang  kampung yang  terjangkit penyakit ini jarang yang  bisa tertolong. Dua tiga hari sejak terjangkit korban langsung menemui ajal tanpa bisa berbuat lebih banyak.

Tenaga kesehatan,  dokter maupun puskesmas belum banyak.  Satu-satunya perawatan yang ada hanya Rumah Sakit dr.  Kariadi yang  jaraknya puluhan kilometer.

Bahkan untuk menjangkaunya harus dilalui melalui jalan kedungmundu.  Karena di dinilah  jalur colt dengan bak terbuka bisa mengantarkan sampai ke rumah sakit.

Orang-orang yang terjangkit kolera di kampung Rejosari  kebanyakan tidak dapat tertolong.  Selain rumah sakit yang  jauh dan taraf ekonomi yang masih lemah, kepedulian warga tentang pentingnya kesehatan juga belum tumbuh.

Kata Pak Nur Kasan (68) dulu orang kampung Rejosari masih banyak yang buang air sembarangan,  karena tak punya wc.  Mandi Cuci dan buang air sekalian di Kali sekalian ambil air untuk keperluan memasak dan peralatan memasak.  Bahkan warga yang punya sumur masih bisa dihitung dengan jari.

Pak Nur Kasan berkisah bahwa di Kampung Rejosari sangat banyak yang  terjangkit kolera.  Penyakit ini menyebar begitu saja.  Terkadang satu keluarga ada yang terkena lebih dua orang. Muntah-muntah,  buang air darah,  lalu beberapa hari kemudian meregang nyawa.  

Terkadang memang ada tenaga kesehatan yang datang dari kota dengan menunggang kuda,  dan meletakkan serum suntikan dalam termos berisi es. Tapi karena waktu itu belum ada alat komunikasi yang  memadahi,  seringkali pasien terlambat untuk mendapatkan pertolongan.

Pak Nur Kasan juga bercerita,  bahwa beberapa keluarga kaya bisa berobat datang langsung  ke kota dengan mengendarai kuda,  atau delman. Tapi saat itu orang kaya juga tidak banyak.

Satu-satunya jalan adalah menggunakan kursi yang diikat dengan bambu dan dipikul oleh 4 orang untuk sampai ke rumah sakit.  Karena lamanya waktu perjalanan,  maka pada masa itu banyak pasien yang meninggal di jalan.

Bedakan dengan kondisi sekarang.  Semua orang bisa bersiap saat menghadapi virus corona.  Pemerintah memeberikan imbauan melalui peralatan telekomunikasi yang canggih.  Sehingga saat terjadi sebuah pandemi wabah,  semua warga bisa memahami dan mengambil langkah pencegahan.

Seandainya wabah corona terjadi di masa itu,  entah apa yang akan terjadi.

Yang harus kita lakukan sekarang adalah tetap melakukan pencegahan sesuai dengan imbauan para pemerintah dan para ahli dengan tetap diam di rumah,  menjaga kesehatan diri dengan sering memcuci tangan setelah bersentuhan dengan orang lain.  Serta memohon sesuai dengan kegakinan masing-masing agar wabah corona segera berlalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun