Kata tersinggung berasal dari kata singgung yang  berati tersenggol,  atau terjamah.
Kata ini diadopsi sebagai sebuah  analogi untuk kata atau perbuatan yang  melukai perasaan,  berhubungan dengan harga diri pribadi dan kelompok,  serta lebih  luas lagi menjadi sebuah celah komoditas politik yang  memberikan efek tak berkesudahan.
Seseorang menjadi tersinggung bila mendengar kalimat melecehkan,  menyakiti,  dan merendahkan harkat dan martabat.  Sehingga merasa kehormatannya  terusik.
Tindakan balasan dari rasa tersinggung ini bisa berupa counter balik berupa reaksi emosi dan bisa juga terwujud dalam sebuah tindakan frontal sebagai bentuk perlawanan.
Beberapa kelompok menciptakan sebuah produk  "ketersinggungan"  agar ada  jarak yang  tak terlihat.  Lalu membangkitkan emosi secara kolektif hingga terkadang  menimbulkan gerakan dukungan dan perlawanan secara tergeneralisir.
Tak ada yang  salah  dengan orang yang mudah tersinggung. Sebab perasaan tersinggung  itu bisa menjadi tameng seseorang dalam menjaga harga diri,  mempertahankan idealisme, dan menjadi penghalang bagi orang  lain untuk melakukan penistaan.
Tapi yang perlu  diperhatikan adalah bahwa efek ketersinggungan bisa berakibat fatal,  bila orang  yang tersinggung tak mampu mengendalikan diri.
Emosi yang  memuncak dari efek tersinggung bisa merubah seseorang laksana binatang buas,  mengaum keras lalu bertindak secara agresif melakukan aksi sebagai bentuk perlawanan.
Soal risiko  dipikir belakangan,  yang  penting ia bisa melampiaskan kekesalannya.
Karena tersinggung, Â orang-orang baik bisa berubah jadi temperamental. Â Bahkan mengungkapkan kalimat kasar. Â
Hal semacam ini membuat orang-orang yang  yang punya kepentingan memanfaatkan situasi ini untuk memantik peluang.  Dengan memanfaatkan manusia-manusia yang sensitif dan mudah tersinggung.
Saya pernah mengalami sendiri berjualan di sebuah lapangan sepakbola,  kedua kesebelasan bermain  dengan bersih.  Tapi saat laga usai,  para supporter rusuh. Saling lempar batu dan botol mineral.  Bahkan di luar stadion terjadi  perkelahian masal. Konon peristiwa ini adalah dendam lama antara kedua supporter saat menyaksikan laga di kota lain. Seseorang berhasil memprovokasi dan terjadilah baku hantam tak terkendali. Â
Beberapa waktu  lalu di kota kami  juga terjadi perkelahian antar pelajar.  Hanya dipicu oleh saling ejek,  seseorang sebagai provokator mengkoordinir lewat jaringan percakapan Watshap,  lalu terjadilah perkelahian pelajar.
Dalam cakupan yang  lebih  luas,  para politikus memanfaatkan rasa ketersinggungan untuk meraih simpati massa.  Kita masih ingat bagaimana tahun 2019 adalah tahun di mana demonstrasi marak di Jakarta.
Isu krusial yang mengarah pada pada inkamben gubernur Jakarta dimanfaatkan betul oleh orang-orang yang punya kepentingan.
Tersinggung, Â merasa agamanya dilecehkan dengan ungkapan yang sebenarnya sudah diluruskan dengan mengadili orang yang memotong dan mengedit video aslinya. Â Namun tetap saja, Â rasa ketersinggungan tak pupus begitu saja. Â
Sentimen ras dan agama makin menguat.
Masa berdatangan ke Jakarta mengusung pesan-pesan tersembunyi.
Yang nampak dipermukaan adalah pesan khusus untuk sang penista.
Pada korlap sangat pandai memobilisasi masa hampir dari seluruh Indonesia mengusung  pembelaan agama berdasarkan ketersinggungan.
Sebentar lagi Pilkada serentak akan digelar di Indonesia.
"Total daerah yang akan melaksanakan pemilihan kepala daerah serentak tahun 2020 sebanyak 270 daerah dengan rincian 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota"
Akan ada pergulatan, Â polemik, Â diskusi, Â pertentangan, Â dan tentu saja produk-produk emosional akan dipakai untuk mempengaruhi publik.
Kita akan melihat para konstituen bertikai dengan argumen-argumen panas membela jagoannya. Bahkan kalau perlu memobilisasi massa untuk memuluskan rencana.
Yang sangat perlu diwaspadai adalah munculnya para provokator yang  bisa menciptakan sebuah halusinasi kepada para calon pemilih.  Sebab calon pemilih seperti saya hanyalah tumbal demokrasi yang  suaranya diperebutkan untuk meraih kursi.
Sementara untuk kelanjutannya hanya bisa melihat sisa materi kekuasaan yang  wujud dalam berbagai peraturan yang terkadang tak  berpihak sama sekali.
Satu kata saja terucap di panggung politik, yang  memantik ketersinggungan akan kelompok dan agama tertentu akan berakibat fatal.  Blow up tentang isu yang  terus menerus tersebar di lini masa media sosial akan mempengaruhi banyak fihak tanpa bisa dibendung.
Dan efek terberat dari ketersinggungan dalam politik adalah disintegrasi bangsa.
Anak bangsa akan terkotak-kotak dalam tempurung  pembelaan atas nama demokrasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H