Berita yang  berkaitan dengan merebaknya virus corona kian memanas saja.  Selain panic buying dengan membeli dan menimbun bahan kebutuhan pangan juga diwarnai dengan kasus kriminal,  berupa penangkapan penimbunan masker.
Barang sepele yang  harganya sangat murah ini tiba-tiba naik  kelas karena stok di pasaran menipis.  Distribusi menjadi tidak lancar karena barang banyak tertahan,  sehingga pasokan ke pengecer barang menjadi terhambat.
Kelangkaan barang ini ternyata dimanfaatkan oleh sebagian orang dengan menimbun barang tersebut untuk kemudian di kirim ke luar negeri dengan harga berlipat.  Atau dilasarkan sendiri lewat jaringan daring tentu  dengan harga lebih tinggi.
Situasi panik dan bingung  menjelma menjadi rasa ketakutan dan kekawatiran yang  akut,  memang sering dimanfaatkan oleh orang-orang tentu untuk mencari keuntungan sesaat sebagai sebuah bisnis dengan memanfaatkan hal yang  sedang  booming.
Saya teringat beberapa tahun yang  lalu saat pemerintah memutuskan untuk menghilangkan minyak  tanah sebagai bahan  bakar dan menggantinya dengan tabung gas.  Kami menggunakan minyak tanah sehari minimal 10 liter untuk memasak dagangan. Waktu itu harganya masih sekitar Rp. 4000/liter.
Menjelang kedatangan tabung  gas LPG yang sedang dipersiapkan,  minyak  tanah mulai tak bisa lagi  ditemukan di warung langganan. Ada yang  menjual,  tapi lokasinya lumayan jauh dan harganya sekitar 8000/liter.  Dan itupun  harus membeli dengan jumlah terbatas. Â
Apa boleh buat,  karena merasa butuh kami terpaksa  membeli meskipun harus merogoh kocek lebih dalam.
Saat tahun 2017, kelangkaan kedelai juga memukul para pengusaha tahun di Semarang.  Saya sebagai pedagang siomay pun harus  merasakan imbasnya. Harga tahun naik tak terkendali,  dan menjadi barang langka meskipun sebenarnya jadi kebutuhan sehari-hari.  Saat itu harga tahu berubah harga lebih  tinggi  meskipun ukurannya lebih kecil dari biasanya.
Tapi sejalan itu banyak orang  ditangkapi.  Penimbun,  penyelundup,  minyak tanah dan kedelai juga ditahan polisi.  Mereka tak punya ijin edar dan kapasitas memadahi.
Tujuan menimbun barang  karena faktor ekonomi,  di balik fenomena kelangkaan barang  yang  sedang  terjadi.
Kita juga pada masa lalu sering  menyaksikan berita di telivisi  bagaimana orang hendak mudik  saat lebaran harus rela membayar tiket lebih mahal,  karena ongkos tiket dimonopoli. Bahkan oleh para calo yang memanfaatkan situasi. Karena terdesak, para penumpang terpakasa membeli walaupun dengan berat hati
Tamak dan serakah adalah sifat manusia yang  menurun dari sifat binatang kalau mereka berebut makanan,  atau lawan jenis.Â
Seperti ayam-ayam saya yang  selalu mematuk ayam yang  lebih  kecil saat diberi pakan. Padahal di depannya tersedia makanan  yang  tidak hanya tersedia dalam satu tempat.
Dalam bisnis juga banyak manusia yang  bermaksud menguasai pasar. Memonopoli distribusi peredaran barang,  sehingga punya kewenangan mempermainkan harga suka-suka.
Manusia sering  lupa,  bahwa di luar dirinya ada orang  lain yang  membutuhkan  barang yang  sama.  Sebagai produk sebuah usaha,  atau juga sebagai pengguna.
Usaha mencari keuntungan sesaat dengan memanfaatkan sebuah momentum adalah sia-sia bila merugikan pihak lain.
Sebab memonopoli distribusi barang yang  sedang sangat dibutuhkan warga adalah tindakan illegal Yang memungkinkan pelakunya terjegal.
Kita tak bisa sera merta menyalahkan para penimbun barang. Karena mereka pintar membaca peluang.  Tapi melihat harga yang  ditawarkan dan ke mana mereka mengirimkan barang,  terlihat sangat jelas bahwa  bisnis  mereka sangat merugikan.
Merugikan orang  yang  sedang membutuhkan,  dan merugikan para pelaku bisnis yang  lain karena tak kebagian barang.
Sudah selayaknya dan sepantasnya bagi kita semua untuk melakukan usaha dengan cara benar  dan penuh kewajaran.  Sebab sebuah bisnis Yang tidak wajar akan menimbulkan kecurigaan dan bila tertangkap harus menanggung resiko  ditahan. Â
Dan selain kehilangan harta benda, para pelaku juga akan dipertontonkan secara publik sebagai  pesakitan. Â
Ia akan terpuruk dan menanggung malu karena ditahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H