Sore ini istri saya mengeluh,  ia pergi ke warung sebelah  hendak membeli  gula, tapi sudah tak ada stok.  Minimarket yang  tersebar di daerah kami juga kehabisan persediaan, akibat aksi borong warga yang  mengantisipasi kelangkaan barang akibat issu merebaknya virus corona.
Orang-orang  membicarakan penyebaran virus corona. Di warung-warung makan,  di jalan-jalan bahkan di tempat keramaian.  Termasuk orang-orang kampung yang  mengetahui berita tentang  virus corona di televisi.
Issu virus corona seperti pidato  motivator yang  sangat berapi-api,  membuat para peserta seminar terpengaruh  dan segera mengambil langkah penyesuaian diri.
Bisa saja timbul dari  rasa panik  dan kurang percaya diri bahwa rejeki sudah dibagi-bagi.
Kecepatan informasi memang seperti tak memberi ruang pada siapapun yang  merasa dirinya rentan.  Apalagi kabar tentang virus corona yang terjadi di berbagai negara seakan menjadi sumber ketakutan.
Saya ingat dulu pesan guru ngaji, Â bahwa suatu hari nanti akan ada bencana silih berganti. Â Terdengar kabar orang meninggal setiap hari, Â baik akibat kecelakaan, Â bencana, Â maupun disebabkan penyakit tertentu.
Meskipun manusia terus membangun,  tapi kehancuran dunia tidak bisa dicegah.  Bukan karena ulah manusia, tapi karena umur dunia yang  sudah senja.  Semua fana,  dan mati.
Guru ngaji juga mengingatkan bahwa apapun isi bumi ini akan habis.  Suatu saat nanti sumber daya akan menipis.  Minyak, hasil tambang, bahan-bahan produksi akan menipis,  sesuai dengan kontrak manusia hidup  di bumi,  habis rejekinya habis pula umurnya.
Manusia hidup  berdasar kontrak dari sang pencipta. Bukan karena umurnya,  tapi karena rejekinya. Â
Tau kenapa bayi bisa mati?
Kata guru ngaji itu karena rejekinya sudah ditentukan sejak ia masih dalam kandungan. Makanan,  air,  udara,  yang  telah menjadi jatahnya sudah habis. Bahkan sebelum ia besar dan dewasa.
Kita juga sering  melihat  orang  yang  sudah sangat tua,  tapi tak mati-mati.  Padahal hidupnya sudah sangat tersiksa.  Tak bisa apa-apa,  hanya tergolek di tempat tidur seperti barang tak berguna.  Tapi saat datang makanan ia masih  bisa mengunyah  dan menelannya,  meskipun  akhirnya kotoran memenuhi tempat tidurnya.
Mengapa demikian?
Jawabannya satu,  rejekinya masih ada untuknya.  Kontrak di dunia ini  belum habis. Masih ada jatah makanan dan minuman yang diperuntukkan baginya,  dan harus diselesaikannya.
Bahkan saat terjadi sebuah kecelakaan yang  menewaskan begitu banyak  orang,  kita juga tidak tahu,  apakah malaikat maut telah datang sebelum kecelakaan atau sesudah kecelakaan?
Jangan-jangan malaikat pencabut nyawa telah datang sebelum kecelakaan itu terjadi.
Kata guru ngaji,  malaikat maut mencabut nyawa manusia seperti kita menghadapi sepiring nasi.  Mau dari sisi mana menyendoknya,  mau ambil gumpalan yang berlauk atau yang  berkuah,  atau nasi yang  atasnya sudah banyak hiasan sambal terasi.
Kematian manusia sudah ada ketetapannya. Â Kalau sudah datang waktunya takkan bisa diprediksi, Â apalagi diantisipasi. Â Sebab kematian dengan berbagai sebab tak dapat dipercepat atau ditangguhkan, Â tergantung sang Penguasa Jiwa.
Dengan akal budi manusia bisa melakukan banyak hal, Â upaya penyembuhan dengan berbagai teori pengetahuan. Â Tapi ketahuilah, Â tak ada satupun manusia yang bisa menciptakan nyawa, Â atau menunda kematian.
Coba dengar kata dokter saat gagal melakukan operasi, Â bahkan pasien malah meninggal pasca operasi. Â Dokter akan bilang, Â "Maaf, Â kami sudah berupaya semaksimal mungkin, tapi Tuhan berkehendak lain, Â nyawanya tidak dapat tertolong".
Itu karena dokter menyadari,  bahkan dokter atheis  pun tak dapat menyangkal bahwa jiwa manusia ada yang  menguasai,  mengambil dan memberi.
Keberadaan corona, Â terlepas dari anggapan dari kelompok agama atau jenis pengetahuan apapun, Â bahwa kematian manusia itu sangat mudah. Â Bisa dengan sebab. Bisa juga tanpa sebab.
Kita tak berhak menilai ini sebuah bencana, Â sebab semuanya sudah ada ketentuannya. Tinggal kita meyakini atau tidak. Bahwa segala sesuatu di dunia ini semuanya bersifat fana, Â akan rusak pada akhirnya.
Singapura,  berdasarkan berita yang dirilis oleh CNBC  diprediksi akan mengalami resesi, bila penyebaran virus corona tak segera teratasi,  mengingat Singapura menjadi negara dengan jumlah pasien terinveksi terbesar kedua setelah China,  yaitu  77 orang.
Apakah Indonesia juga akan ikut terpuruk?
Kita tak bisa memprediksi, Â tapi bila perlakuan terhadap warga sebagaimana yang terjadi di China, Â Indonesia pun saya kira akan tumbang juga. Â
Sebab sebuah isolasi akan mengakibatkan apapun jadi terhenti. Tidak ada aktifitas produksi, Â tidak ada perputaran ekonomi, Â dan suatu daerah akan kehabisan sumber makanan bila terisolasi.
Tapi kembali lagi pada umur manusia yang  sudah terbatasi.  Raja-raja hebat yang  telah hidup di masa lalu pun sudah mati.  Mereka hanya meninggalkan sebuah kenangan,  bahwa mereka pernah ada dan menguasai.  Berapa lama pun para raja berkuasa,  pasti akan ada cerita akhir.  Sebab hidup manusia tak ada yang  abadi.
Lalu apa hubungan semua ini dengan merebaknya virus corona?
Kita memang tidak bisa berdiam diri begitu saja.  Harus melakukan tindakan yang  efektif dan tepat guna. Â
Salah satunya adalah dengan menjaga diri sebagai bagian dari usaha.  Adapun bila (misalnya)  kita terkena,  ya pasrah saja sama ahlinya agar bisa segera ditangani dengan sebaik mungkin. Dan tak perlu pula berlebihan dalam menyikapi merebaknya virus corona.  Sebab skenario hidup dan mati tidak berada di tangan manusia.  Tapi absolut  berada dalam genggaman Sang Pencipta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H