Pada dasarnya tidak ada istilah bekas mertua. Meskipun bekas istri itu ada. Dalam hubungan mushohharoh (perkawinan) ada hubungan yang kekal dan ada hubungan yang sementara. Apalagi dalam hubungan perkawinan yang menghasilkan anak keturunan akan ada pertalian selamanya meskipun salah satu pihak suami istri sudah meninggal dunia.
Islam telah mengaturnya dalam sistem nikah di mana terdapat banyak personal yang haram dinikahi karena pertalian hubungan yang disebabkan hubungan perkawinan.
Kita hanya akan membahas salah satu personal dengan sebutan merua.
Mertua adalah ibu/bapak dari suami atau istri kita. Yang merupakan orang tua kandung yang melahirkan dan membesarkan pasangan kita sebagai anak. Dalam bahasa arab dikenal dengan kata umy atau Ummahat utuk jamak mua'ants.
Dikategorikan sebagai salah satu bagian orang yang haram dinikahi karena sebab kita sudah memperistri anak perempuannya. Hubungan ke atas dari ibu ke nenek sampai orang tua nenek adalah haram untuk dinikahi.
Artinya satu lingkaran dalam kategori ibu ini semua terlarang untuk dinikahi. Termasuk bibi dan adik-adik kandung bibi. Untuk memperjelas masalah ini al-qur'an sudah menerangkan secara terperinci termasuk berbagai tafsir yang mengupas tentang hukum-hukum perkawinan.
Kita tidak membahasnya dalam artikel ini agar tema yang dimaksud tidak bergeser terlalu jauh.
Mertua, apakah sama kedudukannya dengan orang tua kandung?
Dalam hal sikap, kita memang harus menyamakan. Karena mertua adalah orang tua pasangan kita. Artinya mereka adalah kakek nenek dari anak-anak kita. Menghormati mereka merupakan hak. Dan kita sebagai menantu punya kewajiban untuk melaksanakannya.
Terkadang kita menghadapi mertua yang sangat bawel. Suka mengatur ini dan itu, dan terkadang anti kritik dangan menantu. Tapi yang perlu diketahui, mertua yang cerewet dan bawel itu sebenarnya ekspresi dari kasih sayang sebagai orang tua yang tak ingin anak dan cucunya terlihat susah dalam menghadapi berbagai persoalan hidup.