Dalam kehidupan berumah tangga atau berinteraksi sosial, seringkali kita menjumpai situasi yang tidak mengenakkan.
Sedikit salah omong atau tingkah laku sedikit menyinggung menjadi embrio permusuhan berkelanjutan.
Andai saja salah seorang mau menahan diri, mengalahkan ego, demi hubungan baik agar tetsp terjaga, tentu tidak akan ada masalah.
Kita memang diciptakan memiliki emosi, rasa marah, sedih, kecewa dan berbagai perasaan tertekan saat ada orang lain yang menyinggung. Bahkan terkadang kita meluapkan rasa amarah dengan umpatan bahkan dengan aksi emosional.
Tak jarang, apa yang kita lakukan berakibat fatal. Tujuan kita yang sebenarnya hanya meluapkan emosi menjadi sebuah tindakan anarkis yang melanggar hukum.
Banyak peristiwa yang terjadi di sekitar kita, tiba-tiba seseorang memukul bahkan membunuh temannya, karena tak mampu mengendalikan emosinya. Bahkan hanya karena masalah sepele.
Kadang kita juga merasa bahwa kesalahan orang lain tak terampuni. Sehingga memutuskan sebuah tindakan untuk menghakimi sebagai balasan atas perbuatan orang lain.
Masalah akan terus berlanjut bila salah seorang tak mau mengalah. Menganggap dirinya benar, dan perasaan ego nya membubung tinggi sebagai bagian dari ekspresi jiwa.
Orang-orang tua menasehatkan dengan ungkapan "aja didawa-dawa", jangan diperpanjang. Sebab bila diperpanjangakan menjadikan masalah semakin tak bisa diselesaikan.
Saya punya tetangga yang sampai saat ini masih saja bermusuhan. Â Hanya karena masalah sepele yang butuh pengertian. Tapi berlarut-larut menjadi ajang pertengkaran.
Suatu hari pak Karno (bukan nama sebenarnya), kebingungan. Saat ia pulang kerja jalan ke garasinya terhalang. Sebuah  mobil milik anaknya pak Pujo (nama samaran)  parkir melintang memenuhi jalan.