Thiwul, Â Dulu Menjadi Makanan Rakyat Jelata Sekarang Tampil Mewah Jadi Hidangan Pejab
Siapa yang belum pernah mengkonsumsi tiwul? Dulu waktu saya masih numpang di rumah mertua hampir tiap hari makan tiwul.
Simbok mertua memiliki simpanan tiwul sangat melimpah. Â Disimpan dalam karung kain bekas tepung terigu dan ditaruh di atas pogo dapur. (Pogo : semacam rak panggung di atas tungku)
Tepung tiwul yang disimpan di atas pogo, Â bisa bertahan 1-2 bulan tanpa berjamur atau dimakan serangga. Â Yang penting gapleknya sudah benar-benar kering.
Simbok mertua biasanya mengambil ketela dengan ukuran sedang,  tidak terlalu kecil atau terlalu besar.  Setelah ketela dikupas dan dicuci bersih terus dibelah tengah tidak sampai putus. Bisa 2 belahan atau 4 belahan  tergantung besar kecilnya ketela.
Lalu ketela yang sudah dibelah dijemur seperti menjemur pakaian.  Berderet panjang  di tali yang  dibentangkan.  Tali untuk menjemur gaplek biasanya bukan tali dari kawat logam,  karena bisa berkarat.  Jadi digunakan semacam tali dari kulit pohon atau tali plastik.
Lama penjemuran bisa 3-4 minggu tergantung cuaca.  Kalau lagi musim hujan,  ketela dibiarkan kering sendiri di sekeliling rumah.  Terkadang orang desa ada yang menyimpannya  dekat tungku perapian.  Jadi jangan heran kalau tepung  tiwul kadang ada yang  berwarna hitam.
Ketela pohon yang  sudah dikeringkan namanya gaplek.  Simbok biasanya menyimpannya dalam karung goni,  dengan lembaran papan sebagai alas,  agar goni tak langsung menyentuh lantai.
Dulu simbok bisa menyimpan gaplek
6 bulan sampai satu tahun. Â Tapi sekarang entah kenapa simpanan gaplek 2-3 bulan saja sudah banyak bubukan.
Saya sering  membantu simbok menumbuk gaplek, dijadikan bulir-bulir kasar untuk bahan tiwul.  Semakin kering,  gaplek  makin mudah hancur saat ditumbuk.  Hasil tumbukan  kasar ini yang  disimpan oleh simbok di atas pogo.