Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Cara Warga Bandungan Merawat Toleransi

5 Februari 2020   09:20 Diperbarui: 5 Februari 2020   09:54 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Orang-orang mengenal Kota Bandungan Kabupaten Semarang, mungkin hanya sebatas sebagai tempat wisata. Penuh hotel dan rumah karaoke, dan menjadi kota esek-esek sejak puluhan tahun.

Tapi tahukah anda bahwa keberagaman Masayarakat Bandungan yang hidup dalan berbagai agama patut dijadikan "role model" bagi semangat toleransi yang sedang digalakkan di Indonesia.

Banyak keluarga heterogen, hidup dalam kultur dan budaya multi agama. Kalau hidup dalam masyarakat Bandungan anda akan bisa melihat satu keluarga yang agamanya berbeda-beda. Tentunya termasuk keluarga saya.

Secara umum kelurahan Bandungan terbagi menjadi beberapa dusun

Bandungan, Gamasan, Pendem, junggul, Gintungan, dan Pitoyo.

Kita akan membahas kultur sosial budaya khusus yang ada di Bandungan saja.

Secara umum warga Bandungan bekerja sebagai buruh dan pedagang. Beberapa persen  bekerja sebagai pegawai Negeri Sipil, sopir, dan para pekerja hotel.

Kebhinekaan akan muncul saat warga Bandungan melakukan kerja bakti Merti desa. Semua orang dari seluruh tingkatan strata sosial guyup rukun bersih-bersih desa dan dilanjutkan dengan nyadran, membawa makanan ke makam, mengirim doa kepada para leluhur, dan menikmati makan bersama. Dan biasanya disambung oleh atraksi kesenian reog dari grup Kridha Santosa atau pertunjukkan wayang kulit semalam suntuk .

Yang paling menonjol nilai toleransi akan muncul saat ada orang yang meninggal, seluruh warga akan mengantarkan jenasah siapapun warga Bandungan yang meninggal di situ. Lalu disambung dengan doa selama tujuh malam yang dihadiri oleh seluruh warga.

Bila yang meninggal adalah orang Islam, maka tokoh pemuka agama Islam akan memimpin acara. Pembacaan Yasin, tahlil, dan doa. Sementara yang non muslim pun ikut duduk menyimak acara doa sampai selesai .

Saat orang non muslim yang meninggal dunia, semua yang beragama  Kristen katolik akan mengadakan acara di dalam rumah, melakukan penghiburan dan kebaktian. Sementara yang beragama Islam ada yang ikut berbaur di dalam, atau duduk dengan tenang di luar ikut menyimak sampai acara kebaktian selesai.

Masjid dan gereja berdiri seperti berdampingan dengan jarak yang tak terlalu jauh. Dan mereka saling menghargai satu sama lain.

Sebab sebagaimana pesan almarhum Gus Dur, " Kalau kamu bisa melakukan yang  baik untuk semua orang, orang tidak  tanya apa agamamu"

Nasehat Gus Dur/ sumber IDNtimes
Nasehat Gus Dur/ sumber IDNtimes
Hari ini kita mendengar kabar tentang intoleransi yang berhembus dari pulau seberang. kita berharap semoga masalah ini bisa segera diselesaika dan  tidak ada orang yang memanfaatkan celah untuk berbuat keonaran. Sebab Intoleransi adalah embrio konflik horizontal yang penyelesaiannya sangat tidak mudah, apalagi bila sudah berlarut-larut

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun