Rasa kopi yang pahit seakan menjadi menjadi pemecah masalah  yang sedang terjadi. Hingga hayi dan fikiran tetap terbuka setelah menyeruput segelas kopi.
Kami, bapak-bapak di lingkungan hampir semuanya menyukai kopi. Tak peduli kopi robusta atau kopi Arabika, yang penting kopinya masih baru tidak beraroma tengik, dan diseduh diseduh dengan air panas.
Saya memiliki tetangga yang asalnya adalah pegawai sebuah pabrik. Tapi perampingan perusahaan membuatnya harus rela menerima nasib, harus keluar bersama ratusan karyawan yang lain. Kehilangan pekerjaan tak membuatnya putus asa. Dengan mengontrak sebuah tempat dipinggir jalan kota Tembalang ia membuka usaha warung kopi. Â
Saya mengunjunginya beberapa saat yang lalu. Pemilik warung kopi ini memang hanya  menyediakan kopi dan beberapa jenis makanan kecil. Tapi hasilnya ternyata di luar dugaan. Sehari ia bisa menghabiskan gula pasir 10-15 kg. Dengan rasio 1/30 berarti ia menghasilkan 300-450 gelas kopi setiap hari. Kalau segelas kopi hitam harganya Rp.3000/gelas, tinggal mengalikan jumlahnya.Â
Itu baru dari kopi belum hasil dari makanan kecil yang ia sediakan. Makanya tak heran kalau hanya dengan menjual kopi, dirinya bisa membayar kontrak toko kecil Lima belas juta pertahun. Dan membeli motor baru.
Di Semarang Kota, ada penjual kopi keliling. Ia menggiling kopi di tempat. Artinya ia akan menggiling butiran kopi saat ada orang yang memesan. Kalau tidak salah, dulu pedagang seperti ini menjual kopi murni Rp.4000-8000 per ons. Tidak tahu kalau harga sekarang.Â
Saat ini penjual kopi memang menjamur. Apalagi dengan hadirnya kopi berbagai varian rasa, membuat pasaran kopi makin semarak. Â Bahkan di cafe-cafe, segelas kopi bisa dihargai puluhan ribu.
Saat ini para penjual kopi melengkapi warungnya dengan jaringan WiFi gratis. Sehingga makin membuat betah orang-orang yang miskin kuota. Mereka bisa duduk berjam-jam menggunakan internet hanya dengan modal segelas kopi.
Jaman saya kecil di Kota Bandungan, saat belum padat seperti sekarang ini, banyak warga yang menanam kopi. Salah satunya adalah tetangga kami bernama Lek Muji. Kami anak-anak sering bermain di kebunya, menikmati segarnya buah kopi yang telah berwarna hitam dan matang.
"Mangan sing akeh, engko kopine dilepehke neng kene" .
(Makan yang  yang banyak, nanti biji kopinya di lepah di sini), kata Lek Muji sambil menunjuk sebuah tempat untuk menampung kopi.Â
Memang biji kopi yang telah matang mengandung selaput yang rasanya manis. Apalagi kalau buahnya sudah berwarna hitam, rasanya lebih manis.Â