Istri saya pulang belanja dengan muka cemberut. Uang belanja yang sedianya ia siapkan untuk membeli beberapa bahan, tak cukup, karena harga cabai yang membubung tinggi.
"Mosok lima ribu cuma dapat 6 biji", kata istri saya sambil menunjukkan sebungkus plastik cabai rawit merah.
Hari ini harga cabai memang sedang melambung. Untuk bumbu siomay saya harus sedikit menghemat cabai agar modal tetap berputar dan semua bahan bisa dibeli.
Setelah bertahan di harga Rp. 20.000/kg hari ini di pasar tradisional hari ini pedagang eceran menjual dengan harga Rp.100.000/kilogram.
Biasanya kalau cabai mahal, dinas terkait memberikan informasi pada khalayak. Bahkan kebaikan harga cabai muncul di tagar-tagar twiiter. Stasiun TV juga melakukan liputan khusus ke daerah-daerah penghasil cabai.
Saya sempat telpon ke simbok mertua di kampung, tanaman cabainya saat ini kondisinya banyak yang terserang penyakit. Bahkan penyakit yang membuat cabai tak bisa berbuah itu sudah terlihat jauh-jauh hari sebelum hujan datang. Banyak upaya sudah dilakukan untuk menanggulangi penyakit cabai. Tapi tidak berhasil.
Apa boleh buat, permintaan tinggi sementara stok sedikit membuat harga cabai di pasaran melambung tinggi.
Biasanya kalau pas panen cabai, simbok mertua dari Magelang sana membawakan kami beberapa puluh kilo untuk persediaan jualan. Tapi karena kali ini gagal panen simbok mertua tak membawakan cabai untuk kami.
Sebenarnya kalau pas harga tinggi dan panen berhasil, uang yang dihasilkan dari cabai cukup lumayan. Meskipun yang lebih banyak untungnya tetap para pedagang dan tengkulak.
Sebelum ini harga cabai di tingkat petani bisa menembus angka Rp. 35.000/kg, padahal sampai ke tangan konsumen bisa tembus Rp. 100.000/kg.
Tapi kata simbok tak apalah harga segitu, sebab ongkos angkutnya untuk bisa samoai ke kota juga mahal, selain tak mungkin juga dijual sendiri di pasar .