Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Nature

Sawah Ladang Kami Dahulu Sangat Luas

22 Januari 2020   12:45 Diperbarui: 22 Januari 2020   12:55 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini adalah jalan Kedongwinong kelurahan Meteseh. Beberapa tahun yang lalu jalan ini rusak berat. Aspal yang terkelupas, membuat para pengendara motor sering terguling. Makin parah bila hujan, kubangan air membuat motor-motor seperti melewati arena balap trail. Beberapa kali tambal sulam, lalu rusak parah lagi.

Tapi itu dulu, sekarang sudah berbeda. Jalan Kedongwinong sekarang sudah mulus. Lapisan aspal hotmic membuat siapa saja merasa nyaman saat melintas. Sejak tahun 2017 Jalan Kedongwinong sudah diasapal hotmic dengan kualitas lebih bagus. Terbukti sampai sekarang jalan itu masih baik-baik saja, bahkan pasca diterjang banjir bandang tidak menunjukkan kerusakan yang berarti.

Dahulu di sepanjang jalan ini adalah sawah yang membentang. Awal tahun 2000 area persawahan dengan pemandangan indah para penggarap terlihat jelas dari jalanan.

Pak Kusnin dengan kedua kerbaunya yang gagah yang sedang membajak sawah  melambaikan tangan saat saya teriaki dari kejauhan.

Sebelah barat jalan raya ini jadi semacam jalur kerbau yang bersifat permanen. Sebab para kerbau milik petani menapaki jalan yang sama setiap kali pulang dan pergi.

Dulu di sawah-sawah ini saya bersama para penghuni perumahan juga beberapa penduduk desa menghabiskan malam dengan mencari belut dan ikan. Membawa obor berupa lampu petromax dan senjata berupa sabit. Satu pukulan tepat di tubuh belut membuat binatang ini lemas. Dan kami taruh di dalam ember bekas cat tembok.

Saat menjelang panen, saya bersama anak-anak sering blusukan ke tengah sawah. Berjalan di antara pematang kecil, menikmati kuningnya padi yang hampir di panen para petani.

Atau terkadang, kami sekeluarga berjalan-jalan di sore hari menikmati kicauan burung di gubug ujung bersawahan bersama penduduk lokal yang sedang asyik memainkan tali yang ujungnya terdapat kaleng untuk mengusir burung.

Itu adalah sekelumit keindahan yang bisa saya ceritakan saat lokasi ini masih berupa lahan persawahan.

Beberapa tahun kemudian, jalan kerbau sudah tidak ada lagi. Pinggir-pinggir jalan Kedongwinong sudah dipenuhi warung dan toko. Bahkan rumah-rumah besar mulai berdiri diantara sawah.

Saat ini suara  kodok yang berbunyi saat malam hari sudah tak terdengar lagi. Berganti suara deru mesin kendaraan yang setiap saat melintas di jalan ini.

Memang, bertambahnya penduduk membuat  tanah garapan para petani berkurang sejengkal demi sejengkal. Perubahan fungsi lahan dengan dalih peningkatan ekonomi menjadi alasan dasar mengapa tanah persawahan mulai berkurang bahkan hilang sama sekali karena beralih fungsi.

Pertumbuhan penduduk memang tidak dapat dicegah. Populasi manusia yang terus meningkat menjadikan lahan persawahan makin menipis.

Sawah yang awal mulanya ditanam padi sedikit demi sedikit berganti bentuk menjadi perumahan dan tempat usaha.

Entah kalau suatu saat nanti lahan persawahan sudah habis, akan di mana lagi para petani menanam padi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun