Masih pukul  5.30 pagi, mentari masih malu-malu menampakkan diri.  Bu Parti bersama suaminya mendorong gerobak berisi 2 panci penuh bubur kacang ijo.  Santan dalam wadah toples  nampak bergoyang mengikuti gerakan roda gerobak yang kempes sebelah.
"Belum sempat mbenerin pak", jawab suami Bu Parti  saat saya tanya kenapa roda gerobaknya belum dibetulin.
Bahkan roda gerobak itu sebelah masih ditali menggunakan potongan ban dalam. Jadi bisa terbayang suasana gempa saat gerobak itu berjalan.
Sebuah jembatan panjang sudah menanti. Beberapa pedagang mainan sudah dulu hadir. Disusul pedagang-pedagang lain yang memenuhi sisi kiri kanan jembatan.
Termasuk Bu Parti pada pedagang itu adalah orang-orang yang selama ini mengais rejeki di pasar tiban desa Banyumeneng.Â
Sudah sejak tiga tahun ini tepatnya tahun 2017 jembatan yang semula sepi menjadi sangat ramai di pagi hari.
Awalnya hanya beberapa orang saja yang membuka lapak di tempat ini. Tapi seiring berjalannya waktu, jembatan ini menjadi konsentrasi warga Banyumeneng dan  kampung sekitarnya. Dan para pedagang kaki lima yang lain ikut serta menyesakki jembatan.
Berbagai jenis makanan tradisional banyak dijual di sini. Dari gendar pecel, nasi jagung, sate ayam, maupun makanan  lainnya.
Seorang pedagang kebab tradisional dengan toping mi kuning nampak dikeroyok anak-anak.Â
Lebar jembatan  4 meter itu sudah penuh para pedagang dia sisi kanan kiri, ditambah pengunjung baik yang berjalan kaki maupun yang menaiki kendaraan bermotor menambah lokasi ini makin sempit.Â
Maka tak jarang  Kemacetan parah terjadi. bahkan nyaris macet total . Sudah tahu kondisinya begitu, pedagang yang baru tetap masuk ke lokasi area jembatan. Padahal area luar jembatan terlihat masih sangat luas baik di sisi utara maupun selatan. Unik kan ?
Tidak ada aparat keamanan atau polisi yang mengatur. Â Semua berjalan secara alami. Terlebih beberapa pengunjung sembarangan memarkir motor di sembarang tempat di mana ia membeli sesuatu, makin ramailah suasana.
Kata pak Kholib yang kebetulan besan saya warga kelurahan Banyumeneng, pasar krempyeng  itu memang dibiarkan seperti itu. Para pedagang dan pengunjung hanya orang-orang yang tinggal di sekitar area jembatan. Jadi tidak perlu ada tukang parkir atau semacam keamanan untuk mengelolanya.Â
Pasar krempyeng Banyumeneng terjadi karena spontanitas warga yang memanfaatkan akhir minggu untuk liburan dengan sekedar jalan-jalan, saat jalan beton dan jembatan baru selesai dibangun. Dan secara tak sengaja konsentrasi warga terpusat di jembatan. Lalu karena banyak orang berkumpul, satu dua orang pedagang datang. Makin lama makin banyak.
Tak dinyana searah perjalanan waktu, pasar krempyeng  Banyumeneng justru menjadi sumber ekonomi bagi warga setempat .
Seperti Bu Parti misalnya, hari-hari  biasa paling banter ia mendapatkan uang 200.000.
Dari satu panci kacang ijonya. Tapi di hari Minggu ia bisa mendapatkan pemasukan tidak kurang Rp.500.000.
Pasar krempyeng Banyumeneng  tak hanya seperti pasar, tapi jadi semacam lokasi wisata lokal bagi masyarakat Banyumeneng dan sekitarnya. Yang juga ikut memutar roda perekonomian warga.Â
Macet mah biasa, semrawut mah sudah sewajarnya, sebab pasar krempyeng Banyumeneng berjalan hanya sesaat. Dari jam 06.00 - 09.00 pagi. Kendaraan yang lewat mungkin sedikit terganggu, dan itu hanya sebentar.
Bahkan warga masyarakat kota yang sedang bergowes ria selalu menantikan hari Minggu untuk lewat jembatan Banyumeneng. Sekedar menikmati keramahan warganya atau mencari sarapan ala orang desa.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI