Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Becak yang Makin Tersingkir

27 Desember 2019   23:17 Diperbarui: 27 Desember 2019   23:24 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siapa yang tak mengenal becak ? Kendaraan roda tiga sangat familiar di Indonesia khususnya di kota-kota di Jawa.  Jakarta pada masa lampau juga dipenuhi oleh becak hingga membuat semrawut kota, lalu dihapuskan dan para becak ditenggelamkan ke laut untuk rumpon.

Semarang salah satu kota di Indonesia yang masyarakatnya sangat familiar dengan becak. Mengantar ke tempat dekat, atau agak jauh sedikit, dengan ongkos yang bisa ditawar memang seni menumpang kendaraan tradisional ini.

Becak memang memiliki segudang cerita yang bisa diolah oleh siapapun. Pengemudinya, kendaraannya, bahkan penumpangnya pun bisa jadi bahan cerita.

Sebagai alat angkutan tradisional, becak mengangkut orang tak pandang kasta. Orang kaya, orang miskin, pegawai kantoran, atau pedagang pasar sayur sering menggunakan jasa becak.

Kota Semarang memiliki topografi daerah perbukitan di bagian atas, seperti Banyumanik, Tembalang, Srondol dan Jatingaleh. Tapi kota bawah seperti Sekitar pasar Peterongan, seputar simpang lima, jalan Mataram, Pandanaran, Majapahit, adalah daerah landai yang masih banyak terdapat becak.

Memiliki roda tiga dan dijalankan dengan cara digenjot seperti sepeda, becak  menjadi angkutan alternatif yang bisa mengantar penumpang sampai depan rumah.

Pengemudi becak, biasanya adalah orang urban yang merantau ke kota. Mereka biasanya tidak memiliki skill khusus sehingga kalah bersaing dengan para calon pekerja yang memiliki keahlian. Seperti menjadi tukang, atau pekerjaan lain.

Saat ini tak becak yang beroperasi di Kota Semarang sudah tak sebanyak dulu. Mbah Paring lelaki tua ini menuturkan kisah hidupnya sambil menggenjot pedal becak yang saya naiki. Ia bercerita bahwa dirinya dan istrinya adalah orang Semarang asli. Tinggal di seputaran kampung Lamper Mijen kecamatan Gayamsari. Membina rumah tangga dengan seorang istri yang memberinya 4 orang anak. Dan saat ini ia memiliki 8 orang cucu dari keempat anaknya.

"Saat ini penumpang sepi mas", ia memulai kisahnya. "Dahulu saya memiliki langganan sangat banyak. Biasanya saya ngetem di beberapa tempat", Mbah Paring melanjutkan ceritanya.

Mbah Paring adalah lelaki sederhana. Kondisi ekonominya yang sangat terbatas membuat dirinya tak mampu berbuat banyak.

"Dari dulu sampai sekarang ya jadi tukang becak mas, wong saya tidak punya keahlian apa-apa selain mengayuh becak", ungkapnya disela-sela gerakan kakinya yang terus memancal pedal memutarkan roda becak.

Ia mulai berkeluh," Tapi saat ini penumpang saya sudah saya sudah jarang, mereka sudah beralih ke angkutan yang lebih simple, yang hanya dengan menyentuh gadget penjemput sudah datang".

Diatas becak Mbah Paring
Diatas becak Mbah Paring
Tentu saja berbeda dengan  becak, kita harus mendatangi pangkalan atau paling tidak menunggu becak lewat, baru bisa naik.
Aplikasi online memang memudahkan setiap orang untuk memobilisasi kendaraannya. Dari angkutan orang sampai mengangkut barang. Dan kalau dihitung harganya memang lebih murah menggunakan transportasi online ketimbang naik becak.

Saat ini menurut mbah Paring banyak rekan sekerjanya yang beralih profesi. Rata-rata tukang becak memang berusia lanjut. Mereka sudah tidak memiliki peluang bekerja di sektor formal maupun nonformal.

Jadi banyak diantara mereka yang awalnya tukang becak kini menekuni bidang lain seperti pembuang sampah, pemulung, atau yang memiliki keahlian bekerja sebagai buruh atau tukang batu.

"Yang sudah terlalu tua ya disuruh nganggur di rumah sama anaknya mas", kata Mbah Paring menambahkan.

Hari ini saya memang sengaja naik becak Mbah Paring, diantara hentakan roda yang melindas polisi tidur, saya sempat memikirkan kondisi para tukang becak ini.

Mereka adalah para pahlawan keluarga, menggadaikan nyawa ditengah hiruk pikuk kota ditengah kendaraan bermesin yang jumlahnya makin menggila. Seakan tak memberi ruang pada becak, yang pengemudinya adalah para ayah yang sedang membanting tulang menghidupi keluarga mereka.

Tempat ngetem
Tempat ngetem
Tapi inilah kondisi jaman. Dari kendaraan tradisional yang merakyat, berpindah ke kendaraan berbasis online yang kian hari kian mendesak para becak untuk menyingkir dari percaturan angkutan penumpang.

Suatu hari nanti becak akan menjadi kendaraan langka sebagai  warisan dari nenek moyang. Dan seandainya masih ada, becak hanya akan  menjadi pajangan tempat-tempat wisata atau penghuni museum.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun