Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Natal Kami Tak Terlalu Istimewa

24 Desember 2019   16:00 Diperbarui: 24 Desember 2019   16:07 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu acara perayaan Natal di Semarang (dokpri)

Saya dilahirkan dari keluarga besar. Kondisi ekonomi yang serba kekurangan membuat momen berharga seperti Perayaan Natal atau perayaan yang lain biasa saja, tanpa kesan.

Keluarga kami heterogen, beberapa anak menganut agama Kristen protestan dan Yang lain menganut Agama Islam .

Hari raya kedua agama ini tiap tahun kami peringati tanpa acara yang berarti.
Saat natal kami tak pernah punya apa-apa, saat lebaran pun kami tidak punya apa-apa.

Tiap natal beberapa anggota keluarga kami macak klimis, bersiap berangkat ke gereja untuk merayakan kebaktian. Sementara kami yang muslim tetap di rumah dan menungggu  barangkali ada sesuatu yang bisa dibawa saat pulang dari gereja.

Tak ada pohon Cemara dengan hiasan lampu-lampu natal yang indah. Tak ada musik merdu yang menghiasi ruangan keluarga. Semua terasa hampa dan biasa saja. Sebab kondisi ini terjadi karena keadaan keluarga kami yang miskin.

Saat natal tiba, tetangga yang memiliki kerabat jauh, biasanya mereka saling berjumpa dan berkumpul dalam satu rumah anggota keluarga yang  dituakan.Tapi keluarga kami  tidak  ada acara seperti itu, karena keluarga kami yang lain memang tidak ada yang merayakan natal sebagaimana idul Fitri.

Bahkan sampai kami dewasa, perayaan natal yang digemakan secara nasional dan tayang di TV, tetap saja tak membuat keluarga kami memiliki acara tahunan seperti tetangga yang lain.

Tapi meskipun kami tidak pernah ada momentum perayaan natal, bagi kami toleransi itu lebih penting dari segalanya.

Bagaimana kami membenci orang lain yang berbeda agama, sementara semenjak kecil kami sudah dipersatukan dalam perbedaan?
Bagaimana kami bisa truth claim terhadap keyakinan kami, sementara kami dibesarkan dalam nilai Ketuhanan yang mengajarkan kami akan pentingnya cinta kasih sesama manusia ?

Kami tak pernah saling singgung berkenaan dengan masalah keimanan kami.
Lakum dinukum waliyadin. Bagimu agamamu, bagiku agamaku. Dan setiap manusia akan bertanggung jawab di akhirat sesuai amal perbuatannya masing-masing.

Dan, waktu terus berjalan, proses dan perjalanan hidup makin menyadarkan diri bahwa kualitas hidup manusia tak ditentukan oleh apa agamanya, tapi bagaimana perbuatannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun