Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Mantu

24 Desember 2019   14:48 Diperbarui: 25 Desember 2019   12:45 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pengantin yang berbahagia | dokpri


Menikahkan anak adalah kewajiban orang tua. Terlebih memiliki anak perempuan.

Menikah adalah legalitas formal yang harus dibuat oleh warga Indonesia yang kemudian mencatatkan pernikahannya di lembaga pernikahan semisal KUA dan Kantor Catatan Sipil.

Dengan ikatan pernikahan, seseorang menjadi jelas statusnya dan terdaftar dalam buku induk kependudukan sebagai sebuah keluarga baru.

Perubahan status lajang menjadi beristri/bersuami tertulis dalam Kartu Keluarga yang baru, dan data orang sudah menikah akan terhapus otomatis dari KK keluarga induk.

Bagi saya menikahkan anak itu bukan saja menghantar mereka mengarungi kehidupan berumah tangga. Tapi lebih dari itu menikahkan anak adalah sebuah prestasi diri, mengumumkan pada dunia bahwa kita adalah orang tua yang bertanggung jawab.

Saya memiliki seorang putri yang telah Akil baligh dan sudah bekerja. Dalam perjalanannya bertemu dengan lelaki yang mengutarakan maksudnya untuk mempersuntingnya.

Kedatangan rombongan calon besan yang telah direncanakan sebelumnya membuat saya harus bersiap. Awal kedatangan rombongan besan ini pada mulanya hanya ingin meminang putri saya untuk ikatan pertunangan saja.

Tapi saya bersikeras bahwa pertunangan itu bukan akad yang mengikat. Bisa saja dalam perjalanan keduanya mengalami hambatan, lalu terjadi chaos, maka bubarlah hubungan pertunangan dengan menyisakan kerugian terutama bagi pihak perempuan.

Mengingat saat seseorang sudah bertunangan, dia mengira bahwa itu adalah hubungan resmi, sudah sah, dan layak melakukan apapun. Bahkan orang yang sudah bertunangan tak jarang sudah tinggal satu rumah, satu kamar dengan pasangannya.

Saya miris membayangkan hal semacam ini. Karena keluarga saya tidak mengenal hubungan bebas sebagaimana tradisi orang barat yang kini sangat masif diadopsi oleh warga Indonesia.

Akhir dari rembugan keluarga ini akhirnya diputuskan bahwa calon pengantin akan dinikahkan pada tanggal 10 maret 2019, di rumah kami.

Saat datang, calon keluarga besan ada di awal bulan Maret, sehingga persiapan perhelatan pernikahan hanya memiliki waktu 30 hari.

Saat itu kami nyaris tak punya uang, hanya beberapa ratus ribu dari sisa jualan. Tapi saya berpedoman, Allah Maha Kaya, yang akan menolong hambanya saat ada kesulitan. Teman, tetangga, kolega saya hubungi dengan harapan mereka mau membantu kesulitan saya. Tapi tak seorangpun diantara mereka yang Sudi membantu.

Sampai akhirnya, gaji saya dari seorang rekanan di Jakarta terkirim beberapa juta untuk persiapan .

Saya membayangkan betapa reportnya orang tua saya dulu saat saya menikah setelah saya melakoni sendiri peran sebagai orang tua bagi Puteri saya.

Saya bersama istri pun memulai rencana, memesan keperluan untuk pesta sederhana. Setelah sebelumnya membereskan semua dokumen untuk administrasi pernikahan.

Rencana awal, tempat menikah di KUA, tapi rencana itu berubah karena pas hari H, kantor KUA tutup, dan terpaksa prosessi pernikahan harus di rumah.

Karena seorang pedagang makanan, saya memiliki ratusan warung langganan di kota Semarang. Mulai dari toko kelontong, pedagang ikan, sampai pedagang sayur yang tersebar di berbagai pasar di Semarang.

Untuk konsumsi sudah beres, dengan DP beberapa ratus ribu, saya berhasil memesan seluruh keperluan saya.

Tratag, kursi, sound system', panggung pengantin, dekorasi, Alhamdulillah sudah finish berkat bantuan seorang teman yang mau menguruskan. Bahkan untuk solo orgen  ada seorang kawan yang berbaik hati mengurusnya.

Kini tibalah saatnya, 10 Maret 2019, merupakan hari paling bersejarah bagi seluruh hidup saya. Dihadapan petugas KUA dengan disaksikan tamu undangan yang tak terduga sebelumnya. Pernyataan SAH, meloloskan prosesi pernikahan putri saya yang saya lakukan sendiri.

Cium tangan bapak dengan penuh keharuan | dokpri
Cium tangan bapak dengan penuh keharuan | dokpri
Pesta pernikahan putri saya terbilang sederhana, sebab hanya menyajikan beberapa menu yang tak mewah hasil olahan dapur sendiri, dan dukungan para tetangga.

Saat resepsi, saya mendapatkan kejutan luar biasa. Orang nomor satu di Kota Semarang yaitu Walikota Hendrar Prihadi  hadir di tengah hiruk pikuk ribuan tamu undangan. 

Rasa bangga menyeruak dalam dada saya. Saya hanya orang kecil, pedagang siomay yang juga tinggal di rumah yang sangat sederhana bisa kerawuhan Walikota.

Walikota Semarang Hendrar Prihadi | dokpri
Walikota Semarang Hendrar Prihadi | dokpri
Ada lagi yang istimewa. Di tempat besan ada tradisi gelar tapeh, istilah untuk menerima sumbangan seikhlasnya dari para tamu dengan menghamparkan selendang dan para tamu melemparkan uang ke atas selendang, sambil teriring doa untuk pengantin dan ucapan terimakasih dari pihak keluarga.

Gelar tapeh nyangoni pengantin | dokpri
Gelar tapeh nyangoni pengantin | dokpri
Sepuluh bulan sudah berlalu sejak saya mantu. Tapi kenangan manis saat punya gawe itu akan terus terkenang sepanjang hayat.  

Terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kesuksesan hajatan keluarga kami. Teriring doa semoga Allah berikan Rejeki berlipat ganda bagi anda sekeluarga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun