Mohon tunggu...
Mas Nawir
Mas Nawir Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta/Penulis lepas

Vlogger Blogger Youtuber

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Mereka Dipanggil Ibu?

22 Desember 2019   15:36 Diperbarui: 22 Desember 2019   15:39 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dari kiri kakak nomor tiga, kakak nomor 5, saya, dan terakhir adik yang bungsu | Dokpri

Tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu Secara Nasional. Sosok penuh kasih dan kelembutan yang melahirkan berbagai generasi dan ras ini ada dalam tiap kehidupan manusia.

Manusia ada karena ada ibu. Sebab ibarat tanaman ayah hanyalah seonggok benih yang takkan bermakna tanpa ada tanah yang merawat dan melindunginya.

Saya dilahirkan dari 11 bersaudara. Yang sejak kecil didera kemiskinan yang dahsyat.
Penghasilan ayah sebagai seorang Sipil militer (Zibang) waktu itu sungguh tak cukup memenuhi keperluan kehidupan kami.

Ada kalanya kami harus makan sehari sekali, atau dalam beberapa hari kami tak menemukan nasi. Dan hanya makan sesuatu dari ibu yang dibawa dari suatu tempat entah di mana itu.

Anak paling sulung menjalani kehidupan yang lebih baik karena dalam asuhan budhe yang kebetulan bersuamikan orang Belanda.

Anak nomor dua tak bisa sekolah karena ketiaadaan biaya. Sedangkan anak nomor 3 meninggal saat usianya masih 4 tahun karena terserang penyakit dan kami tak punya biaya untuk membawanya ke rumah sakit.

Anak nomor 5 hanya tamat SMP, tak lagi bisa melanjutkan karena dipaksa bekerja di luar kota ikut saudara.

Anak nomor 6 juga hanya tamat SMP dan terpaksa menikah dalam usia yang masih sangat muda karena  desakan orang tua dan keinginan dari fihak suami.

Anak nomor 7 meninggal di usia 8 tahun karena terkena penyakit tetanus akibat terjatuh dan virus memasuki tubuhnya tanpa terkendali melalui lukanya .

Anak nomor 8 inilah saya. Berhasil menikah dengan seorang gadis asal Magelang Jawa Tengah dan dikaruniai 3 orang Puteri

Anak nomor 9, diadopsi oleh sebuah keluarga di Manado Sulawesi Utara . Dan entah bagiamana kabarnya sekarang karena hampir 40 tahun saya tak bisa mendengar kabarnya.

Anak nomor 10 meninggal di usia 6 tahun, karena penyakit polio dan menderita disentri akut yang terlambat penanganannya .

Anak nomor 11, tinggal di Magelang telah berkeluarga dan memiliki 4 orang putera.

Ibu meninggal dunia tahun 2004 karena penyakit stroke yang beliau derita. Melahirkan dan merawat 11 anak dalam kondisi yang serba  terbatas membuat ibu kehilangan banyak energi.

Tutup usia  52 Tahun meninggalkan 8 anak dan puluhan cucu, yang menangisi kepergiannya dengan penuh penyesalan dan haru.

Ibu, bagi saya tak hanya sesosok orang tua yang melahirkan dan mewujudkan keberadaan saya di dunia ini.

Ibu adalah teman diskusi saya yang paling kooperatif diantara anggota keluarga yang lain. Ibu yang selalu mengalah saat saya memohon makanan yang hampir masuk ke mulutnya dan malah masuk ke mulut saya karena saya minta.

Senakal apapun saya waktu kecil saya tidak pernah disakiti, ditabok, dicubit, apalagi sampai disakiti dengan benda tumpul.

Bagi saya sosok ibu meskipun dalam keterbatasan ekonomi yang membelit tetap berusaha menampilkan diri seperti tak pernah terjadi apa-apa.  Ayah yang saat berdinas dan pulang tak membawa apa-apa pun tetap dilayani dengan penuh kemesraan.

Ayah saya pada masa itu sering tugas keluar kota karena proyek AMD (ABRI Masuk Desa).
Kesatuan yang terus berkeliling ke seluruh Indonesia dan membawa serta logistik dan peralatan itu yang membuat ayah saya selalu berpindah tempat bertugas dan jarang di rumah .

Maka tak jarang ayah saya selama 12 bulan pulang hanya sekali atau dua kali saja.
Itu yang membuat ibu kewalahan, saat ayah datang ibu sudah melahirkan, saat ayah pergi perut ibu sudah terisi kembali dengan janin baru.

Saat saya sudah berkeluarga, saya mengamati bagaimana istri saya menjaga anak-anak, merawatnya dengan kasih sayang.

Mulai dari ketika melahirkan anak-anak kami, di tengah pedalaman Kalimantan Tengah yang di sana tak ada tenaga medis, lalu saat masih belum genap 2 tahun  usianya, ibunya sudah mengandung anak kami yang ke-2.

Waktu terus berjalan sampai kami pindah ke Semarang dan mendapatkan satu momongan lagi yang kini sudah hampir masuk SMU tahun depan, saya masih belum bisa berfikir bagaimana seorang ibu memiliki double power. Melayani suami dan memelihara anak-anak dengan sepenuh kasih.

Karena kekuatan itulah mereka pantas disebut ibu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun